Bodyguard-yang-cupu-payah
Seneng banget udah naik kelas dan tetap jadi diri sendiri. Aku nggak pernah tau kalo ternyata secepet ini aku menjalani profesi sebagai pelajar di SMA. Oke, kelas dua belas dan aku bakalan ujian nasional! Semangat! Pasti bisa masuk universitas yang aku impikan. Ya, ITB. Pengen jadi anak yang mandiri dengan hidup di luar kota tanpa ada orang tua. Tapi, itu masih sekitar setahun lagi. Nggak pa-pa, persiapannya mulai sekarang aja.
Aku jalan ke gerbang sekolah dengan tas dan sepatu yang lama. Kata Ibu, aku udah kelas dua belas jadi sayang kalo beli sepatu atau tas baru. Dua hal yang baru, kelas baru dan buku baru. Hore!! Dengan bangga aku jalan ke kelas yang ada di dekat ujung koridor. Kayaknya aku bakalan dapet tempat duduk paling belakang karena kalo tahun ajaran baru gini pasti pada berangkat pagi.
Bener kan. Kelas udah penuh dan tinggal bangku pojok belakang yang kosong. Memang belum beruntung di hari pertama masuk sekolah. Satu lagi yang bikin tambah dongkol, aku dicuekin! Temen-temenku pada sibuk sama temen sebangkunya. Ada yang cerita tentang liburan, pamer punya pacar baru waktu liburan, dan lain sebagainya. Tambah sebel lagi, aku baru sadar kalo siswa di kelas ini ganjil. Tiga puluh sembilan orang. Pasti aku duduk sendirian. Bah!
“Teettt!! Teeeettt!! Teeettt!!” Bel sekolah yang nyempreng—yang aku kangenin juga—itu berbunyi nggak beraturan. Artinya, upacara di hari pertama di kelas dua belas dimulai. Senengnya. Aku ‘nggak sabar’ buat dengerin amanat dari pembina upacara. Penasaran juga siapa yang nanti jadi pembinanya.
Setelah naruh tas di meja dan ngambil topi, aku langsung lari ngikutin yang lain ke lapangan upacara. Upacara kali ini berjalan lambat—atau hanya perasaanku aja. Seperti upacara sebelum-sebelumnya, dimulai dengan MC membacakan pembuka upacara dilanjut pemimpin pleton menyiapkan pletonnya masing-masing. Sejak awal, aku selalu pengen jadi MC. Tapi, karena aku nggak bisa bikin suaraku jadi bulat, aku nggak pernah berani kalo disuruh jadi MC. Sedangkan beberapa temenku lainnya milih buat jadi pengibar bendera dan sebagian besarnya udah pernah.
Kembali ke upacara, aku dapet barisan paling belakang—lagi. Dari belakang, aku bisa liat adik kelas pada berseragam cupu banget pake topi kerucut yang dihias sana-sini. Kaos kaki yang lain antara kaki satu dan kaki lainnya bikin penampilan mereka tambah nggak karuan. Gila, Runi—ketua OSIS—emang pinter banget bikin siswa baru di sekolah ini nyesel sekolah di SMA ini dan ngerasa kalo martabat yang mereka punya serasa dihancurkan. Satu yang jadi pertanyaan, apa mereka nggak dongkol disuruh dandan menyerupai badut gitu? Perasaan waktu MOS angkatanku nggak gini-gini banget.
“Hormat!! Gerak!!” Teriakan pemimpin upacara bikin acara memperhatikan-penampilan-adik-kelas-ku bubar. Lagu Indonesia Raya berkumandang dengan lantang mendampingi Sang Saka berkibar dengan megahnya. Semua siswa hormat dalam khidmatnya upacara pagi ini.
Sejam berlalu, upacara selesai. Keringet, panas, capek jadi satu. Aku kayak orang ilang di lapangan upacara. Aku sampe nggak tau jalan ke kelas saking ributnya keadaan lapangan upacara. Dan...
Brukk!!
Aku jatuh karena nabrak—atau ketabrak—seseorang. Malu banget. Bangetnya dua kali. Mana aku juga nabrak satu orang lagi di belakangku. Untungnya nggak bikin domino manusia.
“Maaf!” Cowok-berkacamata-bingkai-penuh yang tadi nabrak aku ngulurin tangan buat ngebantu aku berdiri.
Aku cuma diem dan nyoba bangun sendiri. Sekali lagi, malu! Aku langsung lari ke kelas sambil nutupin mukaku tanpa memerdulikan cowok-berkacamata-bingkai-penuh tadi. Entah kenapa saat-saat nggak pas gini aku baru bisa inget jalan ke kelas. Jangan sampe ketemu dia lagi. Jangan pokoknya.
Sampe di kelas terakhir, nggak dapet jalan ke tempat duduk karena jalan udah penuh sama anak-anak kelas yang nggak tau pada sibuk ngapain. Aku capek dan pengen minum juga pengen ngelap keringet pake tisu basah biar seger.
“Permisi! Permisi! Permisi!” Aku mencoba buat mencari celah di antara barisan padat manusia di jalanku. Beruntung aku punya badan kecil jadi bisa nyelip-nyelip di antara tubuh-tubuh mereka yang besar.
Tapi, di mejaku—bangku sampingku—ada satu tas yang aku nggak kenal. Tas laki-laki yang jelas. Setauku aku duduk sendiri dan semua udah dapet temen buat diajak duduk di sebelahnya. Apa ada yang pindah? Kayaknya nggak. Semua aman-aman aja sebelum upacara tadi. Tau lah. Sesuai rencana, aku mau minum dan ngelap jidatku pake tisu basah.
Lima menit kemudian, seorang cowok datang. Dia jalan ke arahku dan semakin dia deket, semakin aku sadar kalo dia itu cowok-berkacamata-bingkai-penuh yang tadi aku tabrak. Aku sadar kalo ada tas asing yang nggak kukenal di sampingku. Jangan-jangan, tas ini punya dia? Nggak mungkin! Bisa aja tas anak lain. Tapi nggak mungkin juga. Nggak ada anak yang bawa tas dua kecuali dia memang kurang kerjaan atau mau jualan.
Bener aja. Cowok-berkacamata-bingkai-penuh itu duduk tepat di sampingku. Jujur, aku nggak tau harus bilang apa. Cuma melongo liatin cowok itu dengan tatapan nggak percaya bahwa dia yang tadi aku tabrak. Bener-bener aku tabrak.
“Kamu siapa?” Aku nggak percaya.
“Aras.” Ucapannya datar banget. Bahkan saat ngomong dia sama sekali nggak nengok ke aku. Nggak minta izin atau say ‘halo’ sebentar. Beda banget waktu tadi aku tabrak. Apa dia punya kepribadian ganda? Atau aku yang salah orang? Bingung.
Aku malu untuk kedua kalinya. Dibikin gondok itu sakit. Saat balik buat natap ke depan, aku sadar semua mata tertuju ke bangku pojok belakang. Ini maluku yang ketiga. Sekali lagi dibikin dia malu mungkin aku langsung pindah sekolah. Oh, Tuhan! Apa aku lesehan di depan aja? Ini udah nggak bener! Aku langsung nutup mukaku. Aku nggak yakin beberapa siswa bakalan kuat kalo ngeliat mukaku pas aku malu begini.
Hari pertama di kelas dua belas belum berjalan separuhnya dan udah kaya gini. Kita liat selanjutnya gimana. Apa yang terjadi sama aku?
***
“Saya Aras. Adam Prasetya. Pindahan dari Bandung. Terima kasih.”
Adam Prasetya itu emang beneran dingin atau dia cuma sok cool aja biar cewek-cewek pada naksir dia? Aku jadi ilfeel sama dia. Dari yang aku liat, Aras itu nggak ganteng apalagi keren. Malah keliatan cupu dengan baju yang dikancing sampe atas demi dasi yang sepertinya bikin dia sesak napas dan dia berkacamata. Kesan pertamaku sama dia nggak ada yang menarik. Kecuali kalau dia itu tinggi. Sejauh ini belum ada yang berubah.
Aras duduk dengan muka datar. Saat dia duduk, semua mata cewek-cewek di kelasku nggak bisa lepas dari merhatiin dia. Semua menatap lekat-lekat segala yang dilakukan Aras. Sepertinya anak cowok bakalan kebakaran dan suasana kelas jadi panas.
“Dasar, cupu payah!” Aku sebel.
“Apa?”
“Eh, apa?” Aku pura-pura.
“Oh.”
Ih, dasar! Cupu payah. Galak banget jadi orang. Aku nggak berani ngomong lagi setelah tadi.
Pak Suto—wali kelas baruku—segera memulai kegiatan belajar-mengajar. Pertama, jelas, pemilihan pengurus kelas. Seratus persen aku yakin kalo Aras bakal megang sebuah jabatan di kelas ini dari antusiasme anak-anak cewek yang kayaknya suka banget sama Aras. Mungkin waktu istirahat nanti mereka bakalan membentuk sebuah grup di facebook dengan nama grup Front Penyuka Aras.
Pak Suto memberikan masing-masing satu lembar kertas kecil pada setiap siswa. Setiap siswa diminta untuk menuliskan sebuah nama di kelas ini. Yang terbanyak dipilih akan menjadi ketua kelas, yang kedua terbanyak menjadi wakil ketua, ketiga sekretaris, dan keempat bendahara.
Satu nama yang langsung terlintas di kepalaku adalah Bowo. Mantan ketua kelas di kelas sepuluh. Kinerjanya bagus dan dia berhasil bawa kelas kita liburan ke Lombok saat kenaikan kelas. Jadi, nggak ada salahnya kalo dia mencoba buat jadi ketua kelas lagi.
Nggak lama, semua kertas udah terkumpul di meja guru.
“Ririn, bantu Bapak menghitung hasil voting.” Pak Suto memanggilku dengan lantang.
Selama masa penghitungan, aku menemukan banyak nama Aras di kertas-kertas kecil itu. Seperti dugaanku sebelumnya, Aras akan memegang sebuah jabatan di kelas ini. Hanya satu kertas yang bertuliskan nama Bowo. Sepertinya itu aku yang menulis—sendirian.
Setelah selesai dihitung, Aras menjadi ketua kelas. Koko menjadi bendahara dan Bimo menjadi sekretaris. Wakil ketuanya adalah...AKU!! Kenapa aku nggak nyadar kalo namaku juga banyak disebut? Jadi wakilnya Aras mungkin akan jadi hal terberat bagiku buat sekian bulan ke depan. Aku cuma bisa berharap bahwa Aras dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan nggak dengan sengaja ninggalin panggilan-panggilan penting buat rapat.
Saat aku kembali duduk, beberapa anak cewek melemparkan pandangan sinis terhadapku. Seakan mereka bilang jangan-dekati-Aras atau malah bilang Aras-itu-punyaku.
Baiklah, kita liat sejauh mana ini akan berjalan. Aku pengen liat apa aku bakalan baik-baik aja ke depannya. Aku rasa nggak!!
***
“Teettt!! Teeeetttt!! Teeeeeeetttt!!”
Bunyi bel itu lagi. Masih nggak beraturan dan masih aku kangenin. Istirahat ini aku nggak niat jajan. Lagipula aku juga bawa bekal, roti selai cokelat. Selalu jadi favoritku.
Aku sadar kalo Aras belum beranjak dari tempat duduknya. Di terus membolak-balik buku pelajarannya. Aku nggak tau apa yang dia lakukan tapi itu aneh. Sangat aneh. Untuk seorang cupu-payah, dia juga idiot rupanya. Tapi, aku mulai khawatir kalau dia lapar. Aras nggak akan macem-macem, kan, kalau lapar?
“Mau nggak?” Aku menawarkan bekalku.
“Nggak.” Masih saja tanpa ekspresi. Aku mulai sebal padanya. Sadar nggak sih kalo dia tu terlalu cuek?
“Hei, kamu ada dendam apa sama aku? Kita nggak pernah ketemu sebelumnya. Bahkan aku sama sekali nggak tau siapa kamu. Heran, ya. Bisa nggak kalo biasa aja cueknya?” Aku nyerocos nggak karuan.
Aras diam. Tetap membolak-balik bukunya.
“Oke, aku bisa maklumin cuekmu. Tapi inget. Kita jadi pejabat di kelas ini. Bukan aku mau sama kamu terus tapi kita harus bisa kerja sama biar kelas ini tu nggak hancur. Kalo kamu nggak mau kerja sama, aku bisa bilang Pak Suto buat voting lagi.”
“Nggak usah.”
“Ih, galak banget.” Aku menggigit rotiku dengan sebel.
Tiba-tiba sebuah tangan menjulur ke arah kotak bekalku. Tangan Aras mencoba untuk mengambil rotiku. “Aku mau satu.”
Aku melongo padanya lagi dan dia tetap cuek menggerogoti rotiku yang telah menjadi miliknya. Ternyata cupu-payah ini juga lapar. Kemudian aku sadar kalo aku lagi tersenyum ngeliatin dia. Lucu banget melihat cara dia makan. Kacamatanya naik-turun seirama dengan ia mengunyah. Sudahlah, dia pasti nggak suka diperhatiin.
“Kayanya aku mulai tertarik jadi ketua kelas.” Aras tiba-tiba bicara. Mulutnya yang masih mengunyah menjadi penyumbat kelancarannya bicara.
“Ditelen dulu. Nggak baik makan sambil ngomong.” Aku menegurnya.
Aku langsung mengerti bahwa diamnya tadi adalah memikirkan tentang jabatan ketua kelas yang diembannya. Apa saking memikirkannya dia jadi lapar? Segitu tersiksanya kah dia menjadi ketua kelas?
Cupu-payah! Aku tersenyum.
“Oke. Kalo gitu, jangan coba-coba bilang nggak bisa sebelum nyoba ngejalanin tugas sebagai ketua kelas.” Aku menyemangatinya.
“Hm.”
***
Ah, hari ini jadi hari yang cukup bikin susah. Pertama, aku nggak ikut pelajaran cuma karena disuruh jadi pengawas MOS adik kelas. Kedua, aku nggak tau apakah Aras bisa diandalkan dalam masalah ini atau nggak. Aku rasa, dia bukan orang yang supel dan mungkin adik kelas bakalan protes abis-abisan sama Runi karena Aras—cupu-payah yang galak—jadi pengawas MOS. Dan ketiga, aku lagi nggak mood buat ngurusin adik kelas yang macam ini.
Namanya Dodi. Disamarkan jadi Kubis. Bandel dan nyebelin. Bebal dan nggak bisa diatur. MOS semaunya sendiri tanpa ngerti harus gimana. Sekalipun udah dibilangin sesabar ibunya Malin Kundang juga tetep aja keras kepala. Siswa lainnya pada nurut disuruh push-up, Kubis busuk satu ini nggak mau. Disuruh jongkok aja dia ngomong kasar.
“Hey, mau kamu apa sih!?” Emosiku udah sampe ubun-ubun.
“Aku mau nggak ada MOS!!” Suaranya meninggi.
Aku menghela napas. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam yang ingin sekali aku teriakkan di telinga Kubis ini. Kakiku udah gatel pengen nendangin dia. Di satu sisi, aku dan Aras udah dikasih mandat buat nggak boleh galak sama peserta MOS. Tapi di sisi lain, apa iya aku harus diem aja kalo ada Kubis macam ini yang hobinya membangkang?
Ini lagi Aras cuma diem aja. Apa dia nggak berani sama anak ini? Ih, emang dasar cupu banget si Aras.
“Ras, gimana?”
“Terserah.”
Aku melayangkan pandangan sebel pada Aras. Bikin mood-ku tambah jelek aja.
“Oke, kita gak akan banyak basa-basi. Kamu mau apa?” Aku nyoba buat sabar.
“Nggak ada MOS. Aku nggak mau ada MOS.” Suara si Kubis ini sudah mulai biasa.
“Tapi ini nggak berat. Kamu Cuma diuji aja. Kita nggak akan maksa kalo kamu nggak bisa. Tapi, seenggaknya kamu harus nyoba.”
Kubis diam. Tampaknya ia sedang berpikir mengenai perkataanku. “Tapi jangan paksa aku sedikitpun!! Kalian cuma boleh nyuruh nggak boleh maksa!”
“Iya, Kubis. Kita nggak maksa kok.” Aku berusaha sok manis. Aku membiarkan Kubis itu melakukan tugasnya—push-up—sementara aku kembali menjajari Aras yang bersedekap dan memerhatikanku memarahi Kubis dari tadi.
“Kamu udah bekerja keras.” Suara Aras begitu lirih, tapi masih bisa terdengar.
Aku tersenyum dan kembali memerhatikan Kubis berjuang. Aku seneng, tentang yang aku prediksi hari ini nggak terjadi semuanya. Hanya, aku masih ragu-ragu Aras bisa diandalkan soal Kubis. Ah, Aras pasti bisa.
***
Akhirnya. MOS hari ini selesai juga. Seneng banget Kubis nggak banyak protes sampe MOS selesai. Masih ada besok, hari-hari baru dengan protes-protes baru dari si Kubis busuk. Ah, tapi nggak ada lagi yang boleh bikin kacau acara istirahatku di kelas dengan minum air putih dan makan bekalku. Ini ritual penting setelah seharian jadi pengawas.
Aku duduk di bangku pojok belakang—kayak kemarin. Ngeluarin botol air putih yang tadi masih dingin dan kotak bekal yang isinya nasi goreng buatan Ibu dari tas lamaku yang nyaris butut. Pas dibuka aromanya sedap banget. Apalagi pake lauk yang tiada duanya alias ayam goreng tepung. Salah satu makanan buatan Ibu favoritku. Kalo ayamnya disemur pasti tambah enak. Sayang, nggak cocok sama nasi goreng.
Beruntung. Kelasku dalam keadaan kosong. Jadi aku bisa makan tanpa ada yang ngerecokin. Bukannya pelit, aku laper. Jadi nggak salah kan kalo aku nggak mau bagi-bagi? Ini semua demi kepentingan cacing-cacing yang udah mukulin perutku dari tadi karena mereka butuh nutrisi juga.
Derap langkah kaki kedengeran lagi menuju ke arahku. Cuek, satu-satunya jalan biar aku nggak ketakutan. Tapi nggak bisa dan aku ngebayangin yang nggak-nggak kaya di film horor tentang hantu pembunuh yang muncul kalo ada suara langkah kaki. Maklum, parno banget sama yang namanya hantu-hantu gitu. Keadaan kelas yang kosong ditambah aku duduk di pojokan bikin aku tambah parno dan mungkin sekarang kakiku udah gemeteran meskipun aku nggak tau. Aku nunduk dan tetap fokus sama nasi gorengku. Kenapa acara makanku jadi horor gini? Aku bahkan nggak berani nengok sedikitpun.
Ah, tambah kacau. Suara kaki itu makin keras dan semakin bikin kakiku merinding. Aku jadi inget sama rumor-rumor panas yang beredar yang bilang kalo kelasku—bagian pojok belakang—angker. Cuma aku nggak tau pojok belakan yang mana. Tempatku atau seberang sana. Tambah parno lagi.
Aku udah nggak bisa fokus sama nasi gorengku. Sedetik, aku sadar kalo bentuk nasi gorengku nggak karuan. Udah kayak dikorekin ayam. Ini horor banget. Aku pengen kabur tapi nggak punya kekuatan buat jalan. Berdiripun aku mungkin nggak bisa. Kalo mau ngambil handphone buat minta pertolongan aku nggak berani karena aku nggak berani nengok.
Apapun yang terjadi, lunch must go on! Nggak peduli itu setan kurang kerjaan yang mau iseng nakut-nakutin aku, setan yang dikirim sama dukun buat ngebunuh aku, atau malah setan yang punya dendam sama aku dimasa lalu. Aku nggak peduli. AKU LAPER!
“Sendirian?”
Suaranya bikin nyesek. Jleb banget dan berhasil bikin kakiku lemes. Aku nggak punya tenaga buat megang sendok. Aku nyoba nengok dan ternyata di sebelahku itu cuma ARAS!! Bukan setan!
“Ah, sial.” Aku kecewa karena dia bukan setan.
“Sial?”
“Nggak pa-pa.”
“Oh.” Kata ‘oh’ itu bikin aku nggak nyaman. Singkat tapi ketus. Nyebelin.
Fokusku pada nasi goreng udah kembali. Kakiku juga udah nggak begitu lemes kaya tadi. Jadi, aku bisa makan lagi. Horor hari ini selesai sampe di sini.
“Nggak takut sendirian di kelas?”
Takut! Banget malah! Gara-gara dia juga aku jadi takut. Tapi aku nggak berani bilang karena gengsi. “Biasa aja.”
Aras menghela napas. “Oke. Aku duluan, ya.”
Deg. Aku nggak mau sendirian lagi. mau nggak mau, aku harus memohon sama Aras buat nemenin aku makan. Biarin harga diriku diinjek-injek, yang penting nggak ada makan-siang-horor part dua hari ini!
“Eh, Ras! Jangan pulang dulu, ya? Temenin bentar doang. Ya?”
“Tadi bilang nggak takut.” Dia balik duduk. Suaranya datar. Aku jadi tambah sebel. Bisa nggak dia tu lebih ceria dikit? Ngomong pake nada atau semacamnya gitu? Aras bukan robot kan?
Apapun yang terjadi Aras harus nemenin aku sampe makananku habis.
***
Hari ini nggak kayak kemaren. Nggak penuh dengan celotehan dan protes-protes nggak penting dari Kubis busuk itu. Hari ini dia dengan santai ngikutin apa yang aku sama Aras suruh ke dia. Aku lebih berharap kalo ini suatu pertanda baik bahwa dia emang udah sadar kalo aku itu capek ngadepin tingkah-polah dia kemaren. Bukan suatu keadaan damai sebelum perang besar-besaran antara adik kelas baru sama anak kelas dua belas.
Apapun itu, aku lebih suka Kubis kayak gini. Nggak nyusahin, jadi aku sama Aras bisa dengan tenang jagain dia. Oh, satu lagi. Hari ini aku udah memutuskan bakalan langsung pulang. Makan siang di rumah bareng ibuku tanpa harus berada dalam film horor kayak kemaren. Lagipula, aku ngerasa kalo makan siang di rumah itu lebih seru. Kalo kurang bisa nambah, nggak harus bawa kotak bekal yang terbatas volumenya. Kalo nggak pewe bisa memosisikan badan seenak mungkin tanpa harus malu sama temen atau takut dimarahin sama guru.
Kali ini giliran Aras yang ngasih perintah ke Kubis. Tunggu, aku baru mikirin ini. Kubis lebih milih buat diem karena Aras yang merintah atau karena dua alesan tadi? Jadi, Kubis takut sama Aras? Apa jangan-jangan ada persengkongkolan antara mereka berdua supaya semua berjalan lancar kayak gini? Atau Aras ngancem yang aneh-aneh biar Kubis nurut sama semua perintah dia?
DAN KENAPA AKU SELALU BERPIKIRAN NEGATIF TENTANG MEREKA BERDUA??
Oke, biarin ini jalan kayak gini dulu—kayak yang aku mau. Aku gak boleh peduli tentang apapun yang terjadi antara Aras sama Kubis. Begini lebih baik. Dan lebih baik kalo aku gak tau apa-apa soal itu semua. Pokoknya yang aku tau cuma Kubis itu udah berubah dan jadi orang yang nurut sama yang aku maupun Aras mau.
***
Lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to becoming home again
Lagu dari Jason Mraz dan Colbie Caillat itu asik banget buat didengerin. Apalagi pas suntuk gini. Yah, ternyata aku merasa ada yang ilang setelah seminggu nggak jagain Kubis. Gimanapun, semua kegiatan MOS kemarin itu berkesan banget buat aku. Meskipun Kubis banyak protes dan sempet ada acara makan-siang-horor gara-gara Aras.
Aku nyadar, di pojokan kelas gini tu nggak seru. Lebih sering dikacangin sama temen sendiri. Udah gitu, sejak terpilihnya Aras sebagai ketua kelas dan aku sebagai wakilnya, temen-temenku jadi suka ngelemparin pandangan sinis yang nggak jelas ke arahku. Bahkan, mereka pernah nggak ngerespon apa yang aku omongin. Itu adalah suatu momen yang aku pikir cukup nyesek.
Tapi, aku harus profesional. Sebencinya mereka sama aku, kalo sewaktu-waktu Aras mengundurkan diri dari jabatannya, mereka harus patuh sama aku mau nggak mau.
"Perhatian!!!"
Aku langsung bangun dari kesuntukanku mendengarkan lagu mellow yang kadang-kadang bisa bikin aku jadi tidur. Itu Aras.
"Hari ini, Bu Ratna nggak masuk. Jadi, kita diminta buat ngerjain buku paket halaman 22. Pulang sekolah langsung dikumpulin ke Ririn!" katanya lantang.
Sial! umpatku. Kenapa aku sih? Kenapa nggak dia sendiri? Dan saat itu juga, atau sedetik kemudian, aku nyadar kalo dia sedikit senyum nyebelin ke arahku yang ngasih muka galau. Sedetik lagi, aku tau kalo beberapa anak cewek yang tergabung dalam komunitas FPA—yang beneran ada—ngeliatin aku dengan tatapan menggerutu seperti tatapan-ini-adalah-peringatan-buat-pengganggu-kayak-kamu atau kami-siap-mengenyahkan-wakil-ketua-payah-sepertimu.
Ya Tuhan! Kenapa temenku jadi begini semua? Jadi nyebelin dan galak begini? Jadi jutek gini? Jadi nganggep kalo aku itu kelinci manis yang bakalan jadi santapan seekor serigala berbau pete yang udah tiga bulan nggak makan? Dan, apa aku semanis itu?
Aku balik natap Aras yang lagi jalan ke arahku—ke tempat duduknya. Mau apa dia sekarang?
"Kamu mau apa? Aku bakal mati kalo kamu tetep maksa aku buat ngumpulin tugas itu," kataku, "mereka kayak serigala kelaparan dan siap nerkam aku." Aku memperjelas. Aku berharap kalo Aras bakalan jadi sukarelawan buat ngumpulin tugas itu.
"Aku memang berpikir kalo mereka kelaparan. Jadi, nggak salah kan kalo aku ngasih mereka makan? Aku juga berpikir kalo mereka bakalan seneng kalo disuruh menyantap kelinci manis yang suka makan kayak kamu. Pasti mereka kenyang." Aras mulai kurang ajar.
"Tapi, mereka semua nggak akan kenyang kalo cuma dikasih satu kelinci-manis-yang-suka-makan. Lebih baik kamu ngusir mereka dan nyelametin aku, si kelinci-manis-yang-suka-makan." Aku nggak mau kalah.
Aras diem sambil terus ngerjain tugas fisika.
AKU BENCI ARAS!! DAN AKU PUTUS ASA!!
***
Pulang sekolah ada panggilan buat para pengurus kelas. Panggilan ini katanya penting banget dan semuanya harus dateng. Dan waktunya itu tepat pulang sekolah. Kalian tau? Aku belum makan. Belum jajan dan nggak bawa bekal. Buat seekor kelinci-manis-yang-suka-makan kayak aku, istirahat itu adalah ritual penting buat mengukuhkan gelarku yang baru. Salah banget buat si kelinci-manis-yang-suka-makan nggak memanfaatkan waktu istirahat tadi dengan baik.
Soal tugas tadi, aku harus ngumpulin ke ruang guru. Beruntungnya, Koko, Bimo, dan Aras mau nganterin aku ke ruang guru buat ngumpulin tugas-tugas itu sebelum pergi ke ruang OSIS. Seenggaknya mereka bisa jadi tamengku kalo sewaktu-waktu aku diterkam sama siswa cewek yang memang benci banget sama aku. rencananya, aku mau jadiin Koko sebagai tanganku—bales nonjok kalo ada yang nonjokin aku. Bimo sebagai kaki yang selalu siap buat nendangin orang yang juga nendang aku. Dan Aras sebagai tameng sesungguhnya, dia ada di depanku dan jadi korban kalo ditonjok sama ditendang.
Sekarang, di sini, di ruang OSIS, aku harus nahan laper selama rapat ini berlangsung. Nahan biar perut ini nggak terus bunyi kayak sekarang ini. Aku juga harus nahan biar mukaku nggak merah karena malu. Semua ini demi martabatku sebagai wakil ketua kelas dari seorang ketua kelas yang disegani oleh hampir semua siswa cewek di sekolah ini. Aku nggak bisa konsentrasi dengerin semua perkataan Runi, si ketua OSIS.
Pokonya, AKU HARUS BERTAHAN!! Cuma sampe satu jam ke depan. Ini nggak susah kok. Satu jam bukan waktu yang lama!
Satu jam....
Aku laper banget! Aku nggak bakalan kuat kalo harus jalan dari ruang OSIS ke kantin terus balik ke kelas. Pasti capek banget. Secara, ruang OSIS di ujung timur sedangkan kantin di ujung barat. Aku bisa ngerasain kalo badanku mulai gemeteran. Kelinci ini kayak nggak pernah dikasih makan sama pemiliknya sejak pertama beli. Serigala nggak akan doyan sama kelinci ini.
Tapi, nggak pa-pa. Aku kuat! Kelinci ini bisa cari makan sendiri! Kelinci ini bisa! aku nyemangatin diri sendiri.
"Rin, kamu nggak pa-pa, kan?" Aras memegangi pundakku.
Kalimat itu nggak begitu jelas. Aku juga gak bisa ngeliat muka Aras dengan jelas. Semuanya sepi. Nggak ada suara apapun. Dan, gelap.
***
Rasanya aneh. Pas aku buka mata, semua keliatan terang banget. Yang aku bisa liat cuma putih, lebih keliatan kayak langit-langit. Aku pusing. Aku bisa ngerasain kalo perutku masih keroncongan, artinya kelinci ini belum dikasih makan.
Aku harus bangun dan cari makan. Nggak peduli apapun yang udah terjadi sama aku barusan—karena aku udah sadar apa yang terjadi sama aku, aku pingsan.
"Mau cari makan?" sebuah suara nahan aku buat nggak pergi.
Begitu nengok, ARAS! Duduk manis sambil memperhatikan mukaku yang nggak karuan gini—sepertinya. Jadi, dari tadi aku ditungguin Aras? Ngapain?
"Kamu ngapain di sini?" Aku nggak tau harus bilang apa selain itu. Speechless.
"Menurutmu?" katanya dengan nada galak.
Aku cuma diem. Nggak berani bilang tentang apa yang aku pikirin barusan. Takut dibikin gondok.
"Bangun!" Aras tambah galak.
"Kenapa?"
"Bukannya tadi mau cari 'wortel'"?
Oh, iya. Aku inget. Aku mau makan. Kok dia bisa tau?
Aras buru-buru jalan keluar UKS dan ninggalin aku yang nyadar kalo nggak pake sepatu. "Ras, sepatuku mana?"
"Di sini." Dia nunjuk sebuah pojok yang aku sama sekali nggak inget itu tempat apa.
Sempoyongan, laper, gemeteran, aku nyoba buat dateng ke pojok itu demi ngambil sepasang sepatu abu-abu yang nyaris butut. Oh, aku inget. Itu pojok tempat rak sepatu ditaruh. Kenapa aku jadi bolot gini? Laper? Iya mungkin, ya.
Selesai pake sepatu, aku masih nggak kuat buat jalan. Tapi aku masih punya misi buat mempertahankan gelarku. Demi gelar, aku harus kuat buat jalan. Labil. Cara jalanku, labil.
Tiba-tiba, sebuah tangan melingkar di tangan kiriku. Itu Aras. Orang yang megangin aku, Aras. Wah, nggak bener. Apa yang dia mau? Nggak ada maksud cabul, kan?
"Heh? Apa ini? Ngapain?" Aku panik banget. Lebay? Biarin.
Aku nggak mau kayak kasus-kasus di tv. Digaet gini terus diajak ke tempat sepi terus digituin. Aku nggak mau. Aku masih mau punya masa depan. Aku masih mau lulus UN dan dapet nem bagus terus bisa lolos tes masuk ITB dan keterima buat jadi mahasiswi semester baru di ITB. Aku masih mau nikah dan hidup bahagia sama suamiku. Punya anak yang lucu, manis, penurut, dan pinter.
Atau malah, Aras mau nyulik aku terus nanti mau minta tebusan buat aku tapi aku nggak dikembaliin ke orang tuaku tapi malah dijual ke negara lain terus nanti aku luntang-lantung nggak jelas di luar negeri. Jadi gelandangan dan malah dideportasi ke Indonesia lagi dan ikut acara termewek-mewek biar ketemu sama orang tuaku.
Itu tragis. Aku nggak mau masa depanku hancur cuma gara-gara si cupu-payah-yang-cabul ini. Aku nggak mau!! Tapi aku nggak bisa jalan. Aku nggak punya tenaga. Gimana ini?
“Ras, kamu nggak berpikiran cabul, kan? Kamu nggak mau apa-apain aku, kan?”
“Kamu itu mau jatuh. Dipegangin malah mikir begitu. Seleraku tu bukan semacam kelinci kelaperan gini.” Aras ngomongnya dengan nada yang aku sama sekali nggak suka.
Tapi, aku bersyukur. Dia nggak berpikiran cabul seperti yang aku bayangin. Jadi, nama Aras bukan cupu-payah-yang-cabul. Hanya cupu-payah.
“Ayo!” Dia narik tanganku.
Kayaknya ini ke arah kelas. Yah, aku bersyukur lagi. Aku udah nggak bolot macam tadi. Kesadaranku udah pulih sedikit-sedikit. Aku nggak bisa bayangin kalo gelarku jadi KELINCI-BOLOT-KELAPARAN!! Itu nggak mungkin terjadi! Atau bahkan nggak boleh terjadi!
“Tunggu sini. Aku ambil tas dulu.” Dia kayak nyuruh aku duduk di kursi panjang depan kelas.
Hah!? Aras mau ngambilin tasku!? Nggak salah tuh!?
“Nih!” Aras dateng setelah beberapa saat ngebiarin aku duduk sendirian di koridor kelas yang sepi. Kayaknya udah pada pulang. Emangnya ini jam berapa?
“Ras, jam berapa ini?” Aku tanya sambil nerima tas dari Aras.
Dia liat jam dan kemudian... “Jam 4.”
Itu seperti kilat yang mengamuk di siang bolong. Seperti auman Aslan yang bikin semua musuhnya takut dan tunduk sama dia. Seperti anak kecil yang menjerit pas lagi liat setan. Dan seperti gas elpiji yang meledak tengah malem. Singkatnya, itu bikin aku sadar kalo aku pingsan selama hampir dua jam! Itu artinya, Aras udah nungguin aku selama dua jam juga! Sabarnyaaa.
“Artinya...”
“Iya. Dua jam!” Aras menunjukkan jari tengah dan telunjuknya sebelum aku selesai ngomong. “Awalnya, Bimo sama Koko juga nungguin. Tapi, mereka nggak betah. Akhirnya, pulang.”
“Terus, kok kamu...”
“Yah, ternyata semua yang aku prediksikan bener. Kamu jadi buta arah, berpikiran macem-macem, dan nggak tau apa-apa. Tapi, tentang buta arah nggak sepenuhnya bener. Kamu masih sadar pas aku ajak ke kelas.” Dia tau persis apa yang aku pikirin tadi.
KOK ARAS BISA TAU!?
“Kok...”
“Kamu tetep nggak sadar, ya?”
Apa yang dia omongin sekarang? Sadar tentang apa? Dan, tetep? Maksudnya tetep nggak sadar tu apa? Cupu-payah ini kenapa, sih? Misterius banget.
“Huh, ayo!”
Aras narik tanganku lagi. Kali ini aku nggak dijagain biar nggak jatuh. Jahat. Padahal aku masih sempoyongan.
***
Masuk kelas langsung dapet sambutan nggak pantes gini. Cewek-cewek yang udah dateng pada ngelompok dan sepertinya itu adalah para FPA. Mereka semua langsung ngasih tatapan sinis itu lagi. Aku udah ngerti sekarang apa maksud dari tatapan itu. Mereka nyoba buat bilang apa-yang-udah-kamu-lakukan-sama-Aras-kami?
Saat itu aku sadar kalo mereka tau apa yang terjadi sama aku kemaren dan apa yang Aras lakuin kemarin. Tapi, itu sekadar nungguin aku sampe sadar, bantu aku jalan, dan nemenin aku makan. Nggak lebih. Toh, itu Aras yang mau. Kenapa aku yang diliatin gini?
So what lah.
“Rin, ada apa antara kamu sama Aras!?” Lulu dateng ke tempat dudukku dengan tampang yang nggak santai. Sambil nggebrak meja, sambil teriak.
Tu, kan. Mereka beneran tau apa yang udah terjadi kemarin.
“Enggak.”
“Jujur!!”
“Kurang jujur apa?”
“Oke kalo gitu. Inget, ya! Jangan pernah deketin Aras. Kamu tu nggak selevel sama dia!” Lulu langsung kasih senyum licik dengan tatapan ganas dan langsung balik ke kelompoknya.
Tapi, apapun itu, aku benci direndahin kayak gini. Sejelek itukah aku di mata mereka? Fine, aku emang nggak setenar dan se-oke Lulu. Aku emang nggak cantik dan eksotis kayak dia juga. Bahkan, aku juga nggak sekaya dia. Tapi, dia nggak pantes bilang gitu. Nggak pantes bikin kupingku panas gini. Siapa dia!?
“Hei, Lulu,” Aku jalan ngedeketin kelompoknya Lulu, “kamu juga harus inget satu hal. Siapapun kamu, seberapa tenar kamu, kamu nggak pantes bilang gitu. Aku nggak punya niat, bahkan secuilpun, buat ngedeketin Aras-mu. Sekalipun kamu bungkus dia pake daun kelor dan kamu kirim pake pos ke rumahku, aku sama sekali nggak akan nerima kirimanmu itu. Jadi, silakan kamu ambil kembali kirimanmu itu. Dan makasih, ya. Kamu udah bikin aku sadar betapa lucunya kamu.”
Aku udah nggak tahan lama-lama di kelas. Aku butuh udara seger biar nggak nyesek gini. Kayaknya kantin lebih baik. Biarin deh ke kantin pagi-pagi gini, yang penting nggak di kelas bareng sama Lulu dan para anggota FPA nyebelin itu. Nggak dapet tatapan-tatapan sinis yang saat ini aku dah mulai tau artinya. Nggak jadi santapan para serigala-bau-pete-berdarah-dingin di sana.
Selama dua tahun sekelas sama mereka, aku nggak pernah digituin. Semua berjalan apa adanya dan nggak pernah ada masalah yang sampe bikin aku direndahin gitu. Aku berpikir kalo mereka semua temen yang baik dan bisa saling menghormati satu sama lainnya. Tapi, cuma gara-gara si cupu-payah itu aku jadi gini. Gara-gara Aras yang idiot itu semuanya jadi berbalik seratus delapan puluh derajat.
Sekarang, yang terpenting buat aku adalah menghindar dari anggota FPA yang nggak jelas itu. Dan sekarang, di kantin, aku ngeliat sosok cowok yang aku kenal banget perawakannya meskipun dari samping. Tegak, tinggi, rambutnya lurus, dan pake kacamata. Aku kenal banget. Aras. Tapi, ngapain dia nggak langsung ke kelas malah ke kantin dulu?
Dia nengok ke arahku dan kayaknya nyadar kalo aku lagi ngeliatin dia sambil berdiri tegak nggak bergerak di ujung kantin.
“Aras?” Aku nyoba buat mastiin kalo itu beneran Aras sambil jalan ke arah dia.
“Iya.”
Lega. Artinya nggak salah orang.
Oh, aku harus bikin perhitungan sama dia. Soal Lulu dan FPA yang nyebelin itu.
“Ras, bilangin sama semua fansmu buat biasa aja kalo ngefans sama kamu, ya. Nggak perlu ngerendahin gitu.”
Aras ngasih tampang idiot. “Kamu ngomong apa?”
“Tanya aja sama Lulu dan fansmu yang lain.” Aku duduk di samping Aras.
“Aku nggak punya urusan sama mereka. Aku lebih seneng kalo mereka nggak jadi fans aku. Mereka lebih baik kalo jadi temenku.”
“Aku nggak peduli kamu punya urusan atau nggak sama mereka. Aku juga nggak peduli kamu merasa lebih baik mereka kayak apa. Tapi aku peduli sama sikap mereka yang...”
“Posesif,” katanya cepet, ”memang nyebelin. Aku juga peduli sama sikap mereka yang kayak gitu. Dan aku nggak suka.”
“Kalo gitu, kenapa kamu...”
“Diem. Aku memang diem. Aku nggak pernah punya alasan yang kuat buat bikin mereka nggak posesif gitu. Aku udah nyangka kalo bakal gini jadinya. Mereka bakal jadiin kamu sebagai musuh nomor satu, itu aku udah tau. Jadi, kamu nggak usah khawatir selama ada aku.” Aras lalu minum.
Deg. Kamu nggak usah khawatir selama ada aku. Maksudnya apa? Ini nggak kayak di film-film romantis, kan? Dimana kalo cowok ngomong gitu artinya cowok itu suka sama cewek. Nggak! Nggak mungkin! Atau aku emang nggak perlu khawatir selama Aras masih ada di sekolah ini? Iya. Aku emang nggak perlu khawatir selama Aras masih di sekolah ini. Aku nggak boleh berpikiran yang macem-macem tentang Aras. Aras juga pernah bilang kalo seleranya dia bukan macam aku. Jadi, itu nggak mungkin.
Sedetik, aku sadar kalo aku lagi melongo ngeliatin Aras. Sedetik lagi, aku tau aku harus nengok dari ngeliatin Aras. Sedetiknya lagi, aku ngerti kalo aku nggak bisa berhenti nelen ludah. Ada sesuatu yang nggak beres sama diri aku sendiri. Sesuatu yang aku sendiri nggak ngerti itu apa. Meluap-luap dan aku pengen banget buat neriakin ke telinganya Aras—bukan Kubis. Ah, sialan! Aku kenapa ini?
“Teeettt! Teeeeeeetttt! Teeeeeettttt!” Bel-nyempreng-nggak-beraturan itu bikin aku sadar—beneran sadar. Itu bel masuk yang artinya aku harus segera masuk kelas sebelum kena hajar sama Pak Jono—guru biologi paling killer.
“Ayo!” Aras udah siap berdiri sambil nenteng tas yang belum ditaruh di kelas.
“Ha?” Aku jadi bolot lagi.
“Ayo ke kelas.”
“Oh, oke.”
Aku berdiri, menjejeri Aras. Dan kami pergi dari kantin.
Aku cuma berharap kalo nggak ada anggota FPA yang liat aku sama Aras keluar dari kantin bareng gini. Aku nggak mau ada salah paham yang terjadi. Aku juga nggak mau kalo sewaktu-waktu, pas ada yang liat aku sama Aras keluar dari kantin berdua gini, terus disebarin ke anggota FPA, dan mereka semua bawa bambu runcing dan anjing-anjing polisi ke rumahku dan ngarak aku keliling Indonesia sambil bilang “INI SI WAKIL KETUA KELAS PAYAH YANG HARUS DIBUANG!” Nggak mau!
Ah, apapun itu, aku nggak boleh khawatir. Toh, aku sama Aras nggak ada apa-apa, kan? Jadi, tuduhan apapun yang melayang ke aku, aku bisa jawab tanpa ada beban dan tanpa berbohong. Lagipula, Aras juga bilang kalo aku nggak perlu khawatir selama ada dia.
***
Istirahat ini aku nggak jajan. Aku bawa bekal, brownies cokelat keju yang juga aku suka. Oh, iya. Di kotak bekal ini, nggak cuma cokelat keju, tapi ada cokelat pandan sama cokelat blueberry. Tapi, selera makanku lagi nggak begitu bagus sekarang. Kenapa lagi? Satu-satunya alesan yang paling masuk akal tu cuma karena Lulu dan anggota FPA yang mulai melancarkan tatapan-tatapan yang nyebelin itu lagi.
Aku udah nggak khawatir soal tatapan-tatapan beringas itu semua. Aku cuma sebel. Kenapa sih mereka selalu aja berpikiran negatif soal aku? Mikir yang aneh-aneh buat cari kesalahanku sekalipun aku nggak salah.
“Ras, kalo kamu jadi aku, kamu bakal ngapain? Tentang mereka.”
“Masukin mereka ke kandang.” katanya sambil baca novel.
“Aku butuh jawaban serius.”
“Kamu minta pendapatku, kan? Ya itu.”
Aku mendesah sebel. Iya emang aku minta pendapat. Tapi ya ngasih pendapat yang bermutu kenapa.
“Bukannya aku udah bilang buat nggak usah khawatir?” Aras nutup novelnya.
“Aku nggak khawatir. Aku sebel aja. Segitunya banget mereka merhatiin semua yang kita lakuin. Gerak dikit diliat, ngapain dikit diliat, ngobrol juga diliat. Penting banget, ya.”
“Gini, kita buat kesepakatan. Daripada kamu terus ngoceh karena sebel atau khawatir, kita buat perjanjian.”
“Apa?”
“Sampe hari terakhir UN, aku jadi bodyguard-mu. Setelah itu aku bakalan menghilang. Gimana?”
“Hah!? Nggak! Mereka bakalan tambah mau bunuh aku, Ras! Nggak!”
“Ya, makanya itu aku jadi bodyguard-mu. Gimana?” Aras pasang muka meyakinkan. Tapi aku masih ragu-ragu.
“Ada bayarannya?”
“Jelas. Kasih makan siang, lima kali seminggu.”
“Yah, tekor.”
“Mending tekor apa mati?”
“Huh! Iya iya.” Aku mendengus sebel. Gila aja, lima kali!
“Nah, gitu. Jadi kamu kasih aku nutrisi sebelum aku mati gara-gara Lulu de-ka-ka.”
Ngomong apa dia? Bayangin, ya. Sekali makan itu bisa habis sepuluh ribu. Jadi sebulan aku bisa habis paling banyak dua ratus ribu cuma buat kasih makan si cupu-payah ini. Kalo kelas dua belas itu cuma sembilan bulan, selama kelas dua belas aku ngabisin uang satu juta delapan ratus ribu buat makan siang si bodyguard-cupu-payah ini.
UANG SEGITU BISA BUAT BELI SEPATU BARU TIGA PASANG SAMA TAS BARU DUA!! TAPI, TIGA SEPATU BARUKU SAMA DUA TAS BARUKU DIMAKAN HABIS SAMA ARAS!? MUSTAHIL!
Aras bener-bener nggak punya hati, ya! Tapi, kalo taruhannya nyawa sama aja nggak berarti sih uang segitu. Serba salah.
***
Ini hari pertama Aras jadi bodyguard-ku. Dia dateng pagi banget sebelum aku dateng—padahal biasanya aku duluan yang dateng. Jadi, Aras bener-bener niat ngejagain aku, ya? Atau itu cuma demi makan-siang-satu-juta-delapan-ratus-ribu dari aku? Aku nggak pernah bisa nebak mana yang bener antara dua pertanyaanku tentang Aras.
Di sana, di meja Lulu, seperti biasanya. Para anggota FPA masih berforum yang aku nggak tau apa masalah yang jadi bahasan mereka. Jarak antara mejaku sama mejanya Lulu emang jauh. Meja Lulu itu paling depan. Sedangkan mejaku itu paling belakang. Dan jarak antara meja depan dan paling belakang itu ada enam meja. Tapi, pas mereka natap kalo lagi sebel itu bisa kerasa panasnya sampe belakang.
Satu hal yang paling aku nggak suka selama beberapa hari terakhir ini tu ya lewat di samping mejanya Lulu. Beruntungnya, selama beberapa hari terakhir itu juga aku masih selamat.
“Tumben dateng pagi.” Aku nyoba buat buka pembicaraan sama Aras.
“Lupa sama perjanjian kemaren?”
“Nggak kok.”
Kami saling diem selama beberapa menit. Aku ngerasa kalo aku mau ngomong sesuatu sama Aras. Tapi lupa. Yah, aku bolot lagi.
OH, AKU INGET!
“Ras, kemaren Runi ngomongin apa?”
“Itu. Dia bilang kalo sebentar lagi ada acara ulang tahun sekolah. Tanggal 1 Agustus. Setiap kelas diminta buat ngirim satu sampe tiga wakilnya buat jadi anggota dari pasukan inti upacara. Terus besok mau ada voting buat MC, pengibar bendera, sama pemimpin upacara.”
MC pake voting? Kok tahun-tahun sebelumnya nggak ada, ya?
“MC, ya?” Suaraku kedengeran hopeless banget. Impianku jadi MC...
“Kenapa? Pengen dicalonin?” Pertanyaan yang to the point banget.
“Jujur, pengen banget. Tapi, yah, aku nggak pernah mampu buat jadi MC. Aku itu nggak punya teknik suara yang bagus. Suaraku nggak bisa jadi oke kayak MC upacara biasanya. Lagipula, sekalipun aku dicalonin, siapa juga yang mau milih aku. Kayaknya nggak ada.” Aku senyum kecut. Nyesek banget.
“Oh.”
Singkatnyaaa. Cupu-payah!
“Teeeeettttttt!!! Teeeeeeeeeeetttttttt!!! Teeeeeetttt!!!”
Bel udah bunyi. Artinya pelajaran siap dimulai.
Pelajaran pertama itu matematika. Sedikit cerita soal pelajaran matematika. Dulu, pas aku SMP, guru matematikaku itu mukanya galak banget. Kayak nggak ada tanda-tanda kebahagiaan di muka itu. Aku sama teman-temen sekelas itu nggak pernah punya kesan yang baik tentang guru itu. Guru itu nyebelin lah, galak lah, nggak seru lah, dan lain sebagainya yang sebenernya nggak sesuai sama kenyataannya.
Sampai suatu hari...
Aku sama dua orang temenku lagi mau ke kamar mandi. Biasa, pas SMP kita sukanya kalo ke kamar mandi anter-anteran. Waktu itu, guru matematikaku lagi jalan di koridor atas mau ngajar di kelas delapan. Nama guru itu Pak Wiryo. Temenku yang agak gila langsung nyeplos manggil Pak Wiryo dengan suara lantang tanpa ada rasa malu sedikitpun.
“PAK WIRYOOOO!!!!” sambil melambaikan tangan.
Nah, anehnya, Pak Wiryo bales dengan ramah. Bahkan, Pak Wiryo juga bales melambaikan tangan. Itu aneh. Buat seorang guru yang selama ini dianggep sebagai guru killer, perbuatan ramah kayak gitu tu nggak wajar dilakuin.
Satu lagi hal yang aku nggak bisa lupain. Waktu itu pelajaran matematika berjalan seperti biasa. Tapi, Pak Wiryo keliatan bahagia banget. Pas pergantian pelajaran aku sama temenku mau ke kamar mandi. Nah, pas balik dari kamar mandi, aku denger lagu selamat ulang tahun dari kelas sebelah kelasku.
Ternyata itu lagu selamat ulang tahun yang didedikasikan buat Pak Wiryo yang lagi ulang tahun. Dari yang aku liat, Pak Wiryo langsung nutup muka pas dinyanyiin lagu itu. Jahatnya, kelasku itu nggak ngucapin apa-apa. Bahkan, sekadar tau kalo Pak Wiryo itu lagi ulang tahun aja nggak! Jahat banget.
Sejak saat itu, aku punya kesan lain tentang Pak Wiryo. Kesan yang lebih baik yang nggak akan bisa aku lupain sampe saat ini, setelah tiga tahun berlalu setelah kejadian itu. Dan, rasanya lucu kalo ngebayangin betapa takutnya aku kalo disuruh maju ngerjain soal sama Pak Wiryo yang baiknya nggak ketauan gitu. Sayangnya, aku nggak nemuin guru macam Pak Wiryo lagi.
“Berdoa dimulai!”
Aku plongah-plongoh nggak jelas. Aku langsung tau kalo tadi aku ngelamun tanpa ada yang nyadarin. Baru bangun setelah Aras ngomong begitu tadi dengan lantang. Aku langsung ikut berdoa sebelum mulai pelajaran.
Aku cuma bisa senyum nginget semua yang udah terjadi pas aku SMP. Pak Wiryo. Guru galak yang ternyata baik.
***
“Jadi, udah disepakati kalo kamu kasih aku makan siang setiap hari Senin sampe Jumat. Oke?”
Aku nggak tau harus apa. Aku nggak bisa nolak karena semua demi keselamatanku. Serigala-serigala itu udah pada makin laper dan siap banget mencabik-cabik kelinci ini. Dengan berat hati... “Oke. Tapi paling banyak sepuluh ribu. Aku nggak akan mau bayar kelebihannya kalo sampe lebih dari sepuluh ribu sekalipun itu cuma seratus perak. Dan sepuluh ribu itu udah termasuk minumnya.”
Mulai hari ini, makan-siang-satu-juta-delapan-ratus-ribu udah disepakati. Dan mulai hari ini, makan-siang-satu-juta-delapan-ratus-ribu dimulai. Setelah pulang sekolah, Aras bakalan buru-buru narik aku ke tempat makan sebelah sekolah dan makan dengan budget sepuluh ribu dari aku.
Pulang sekolah...
Bener aja. Belum selesai aku beresin buku-buku di laci, Aras udah main tarik tanganku. Aku nggak peduli para anggota FPA itu ngeliat hal ini atau nggak. Karena sekarang, ada Aras yang selalu siap sedia jadi bodyguard-idola yang ngejagain aku dari fansnya.
“Hei! Ya, sebentar! Buku belum beres ini.”
Aras langsung ngelepas tanganku dan ngebiarin aku beresin buku-buku. Cupu-payah ini laper, ya? Segitunya?
Aku langsung berdiri begitu selesai beres-beres dan Aras langsung narik aku tanpa peduli gimana bentukku waktu dia tarik. Kayak anak kecil yang udah kurus, krempeng, kecil, hidup lagi, terbang dibawa angin pantai yang sepoi-sepoi. Jadi melambai gitu bentuknya. Oke, selama aku ditarik Aras, aku ngeliat keadaan sekitar.
Mau tau gimana cewek-cewek yang jadi anggota FPA? Ada yang biasa—tapi mungkin dalem hati dia marah-marah. Itu pasti nyesek. Ada yang ngeliatinnya nggak santai. Pandangan itu bisa aku artiin sebagai sebuah pertanyaan sebel seperti jangan-macam-macam-atau-kamu-bener-bener-bakalan-mati. Tapi, itu bukan masalahku. Aras yang bakal jadi korban. Bukan aku. Oh, ada yang keluar uapnya dari hidung saking emosinya. Dan ada yang mukanya merah. Satu lagi, ada yang memang saking bencinya, dia sampe ngebejek-bejek temennya. Aku turut sedih soal temennya itu.
Eh, gimanapun, aku bener-bener minta maaf sama semua anggota FPA. Aku pengen bilang biar mereka jangan salah paham soal semuanya. Sumpah, deh! Aku nggak ada apa-apa sama Aras.
By the way, kenapa aku ngomongnya sama aku sendiri, ya?
***
Sabtu sore yang membosankan...
Aku bingung mau ngapain. Rebahan di kasur sambil liatin langit-langit kamar itu bosen. Nggak seru. Oh, aku baru inget. Udah lama banget jadi temen sebangkunya Aras tapi aku belum punya nomer teleponnya. Aku bakalan butuh kalo sewaktu-waktu pas aku mau pergi sendirian dan ada salah satu haters-ku ngikutin dan mau bikin aku mati. Berarti di luar sekolah aku juga butuh perlindungan?
Lupa. Aku punya rencana buat nonton ‘The Avengers’ besok. Berarti aku harus nonton sama Aras gitu? Wah, gila. Kayak pacaran ini. Tapi, nggak pa-pa. Demi kenyamanan bersama, Aras harus ikut.
***
“Ras, please!”
Jadi, ceritanya tu Aras nggak mau aku ajak nonton. Nyebelin banget. Padahal perjanjiannya dia bakal jadi bodyguard-idola sampe hari terakhir UN. Dengan berbagai alasan yang menurutku nggak masuk akal seperti mau ngerjain maling kambing kampung sebelah dan masak ayam tetangga, Aras nyoba buat nolak aku ajak nonton. Emangnya kenapa coba dia nggak mau ikut?
Apa mungkin karena dia bayar sendiri? Atau emang beneran mau masak ayam tetangga? Tapi, itu nggak lucu. Sumpah!
“Ayolah! Kan udah janji, Ras. Ya?”
Di kasus ini, aku nyoba buat ngomong sepelan mungkin buat menghindari kecurigaan para FPA yang semakin memburuk. Kata Aras tadi pagi, hari Sabtu depan semua anggota FPA bakal forum di ruang multimedia sekolah. Aku nggak bisa bayangin gimana jadinya kalo mereka semua tau aku ngajakin Aras nonton. Itu udah di luar akal sehat seorang manusia biasa kayak aku.
Kembali ke Aras. Aras malah diem dan nggak nggubris omonganku. Dan aku mulai bad mood...
“Oke. Tapi, bayarin!”
Petir-siang-bolong itu dateng lagi. Kenapa harus aku bayarin? Apa dia nggak punya uang sampe segitunya? Aku lama-lama bisa bokek kalo semua kebutuhan dia aku yang bayar. Apapun itu, ini semua demi kenyamanan bersama. Fighting!
“Oke. Tapi nggak ada makan siang, ya?”
“Kalo gitu lupain aja.” kata Aras datar, tapi nyelekit.
“Oke oke oke. Aku beliin makan siang sama bayarin tiket. Nggak pake snack, kan?”
“Pake dong. Ririn, apa kamu nggak tau kalo snack itu wajib ada pas nonton? Nonton tanpa snack itu bagaikan sayur tanpa garam, langit tanpa bintang, matahari tanpa cahaya. Nggak lengkap.”
“Ya ya ya.” Males banget dengerin puisinya Aras.
Hening di antara aku sama Aras. Lalu...
“Ngomong-ngomong, kamu mau nonton apa, sih?”
Nonton apa? Masak dia nggak tau? Apa aku belum bilang, ya?
“Aku belum bilang, ya?”
Aras cuma geleng-geleng dengan tampang yang paling aku benci—idiot berkacamata.
“Aku lupa. Aku pengen nonton The Avengers. Tau, kan?”
Aku berharap kalo cupu-payah ini nggak kudet. Aku malah lebih berharap kalo Aras itu tau segalanya tentang film itu jadi aku bisa tanya-tanya. Di kasus ini, justru aku yang kudet. Kasian, ya? Nggak juga, sih.
Aras ngangguk. Kacamatanya agak turun. “Film super hero itu, kan? Yang ada Ironman, Hulk, Thor, dan lain sebagainya. Iya bukan?”
Itu melegakan. Sangat melegakan. “Iya. Kamu tau banyak?”
“Nggak. Cuma sekadar tau kalo itu film macam apa.“
Ini yang nyesek.
***
Di dalem bioskop—sambil megang pop corn—aku duduk di seat yang nggak enak. Pinggir. Maklum, bioskop penuh. Ngantrenya lama juga. Aku belum beruntung hari ini.
Dari sini, aku bisa liat betapa seriusnya Aras nontonin film itu. Dia ngediemin pop corn-nya sementara aku harus megangin pop corn punya dia. Ini tragis. Segitu tertariknya kah dia sama film ini sampe mangap-mangap gitu? Itu lucu.
Ini nih. Bagian yang paling mengharukan. Aku nangis. Meskipun udah ditahan-tahan, tetep aja nangis. Selalu kayak gini. Tiap nonton, tiap ada adegan sedih, aku pasti nangis. Mellow banget. Aduh, mana aku gak bawa tisu lagi. Ini keadaan genting. Aku pasti gila kalo minta ke Aras. Malu-maluin kalo sampe dia tau aku nangis. Ntar dikiranya cengeng.
“Mau?”
Satu sachet tisu tiba-tiba hadir di depanku. Aku nggak nyangka kalo petir itu bakalan dateng saat di bioskop juga. Dengan nggak peduli sama harga diri sendiri, aku ngambil tisu itu.
Ternyata Aras tau aku nangis. Apa Aras tau aku malu? Apa Aras tau kalo aku pengen kabur dari sini? Apa Aras tau kalo aku pengen minggat dari Indonesia ke Italia dengan identitas baru, jadi peneliti menara Pisa yang miring semiring otaknya Aras, menghabiskan hidup bahagiaku di Italia dengan jadi seorang peneliti muda yang handal dan berprestasi, ngelupain semua yang udah terjadi di bioskop saat ini?
Jujur, ya. Udah pernah Aras ngelakuin hal macam gini tiba-tiba. Bener. Pas minta bekalku. Itu mending karena aku yang emang nawarin ke dia. Nah ini, aku nggak minta, aku berusaha nutup-nutupin, taunya ketauan juga. Cupu-payah ini, apa tau semuanya? Atau dia punya indera keenam? Ah, nggak mungkin! Tapi...
“Yah, ternyata semua yang aku prediksikan bener. Kamu jadi buta arah, berpikiran macem-macem, dan nggak tau apa-apa. Tapi, tentang buta arah nggak sepenuhnya bener. Kamu masih sadar pas aku ajak ke kelas.” Aku jadi inget omongan Aras waktu sehabis aku pingsan beberapa hari lalu. Itu bukan berarti Aras punya indera keenam, kan? Ah, nggak! Mungkin cuma tebakan yang beruntung.
Oke. Tebakan yang beruntung. Itu lebih baik daripada indera keenam.
RIRIN! KEMBALI KE FILM! JANGAN MIKIR YANG MACEM-MACEM LAGI!
Beberapa saat kemudian...
Lama-lama aku ngerasa kalo aku laper. Padahal tadi sebelum ke sini aku makan siang dulu. Terus di dalem bioskop aku bawa camilan juga, tapi kenapa masih laper, ya? Oh, aku inget! Aku nggak boleh ngajak cupu-payah ini buat nemenin aku makan sehabis nonton. Nggak papa nyawaku terancam buat sebentar, asal dompetku nggak semakin terancam lagi ketebalannya.
Aku mulai berpikir kalo film ini sebentar lagi hampir selesai. Jelas, pahlawan-pahlawannya udah pada mulai bisa ngalahin tu monster. Mungkin sekitar lima belas menit lagi aku bisa pulang dan cari makan di jalan. Kaki lima cukup buat melebihtipiskan dompetku dan melebihtebalkan perutku. Pokoknya, Aras nggak boleh ikut.
Lima belas menit kemudian...
Filmnya beneran udah selesai. Aku beneran tambah laper. Tapi, apapun itu, filmya keren banget! Animasi sama aktingnya nggak main-main. Total abis. Total. Total banget. Lapernya juga total banget.
“Wah, bagus banget!” Aku sambil ngolet.
“Total banget.” Aras dengan nada datar.
Jleb. Dia ngomongin apa yang lagi aku pikirin. Aku bakalan gila kalo Aras jadi cupu-payah-yang-sok-misterius kayak gini. Dugaanku tentang Aras yang punya indera keenam nggak mungkin bener. Jarang banget ada orang yang punya indera keenam. Oh! Mungkin aja Aras termasuk dalam orang-orang yang jarang itu.
Nggak! Nggak! Nggak! Jarang atau nggak aku nggak peduli. Yang jelas Aras nggak boleh punya indera keenam. Aduh, kenapa aku jadi labil gini?
Tunggu. Kalo Aras punya indera keenam, ada dua hal yang bisa aku ambil: untung dan rugi.
Untung itu penjaga sekolahku. Bukan. Untung itu kalo misalnya pas Aras lagi jadi bodygoard-idola, dia bakalan tau apa yang akan terjadi selanjutnya jadi dia bisa menghindari hal-hal yang bakal bikin aku sama dia celaka, kemudian kita bisa lebih aman. Itu keuntungan pertama. Kedua, aku bisa tau siapa jodohku, aku bisa sekolah di ITB apa nggak, berapa nilaiku, dan kapan Aras bakal cabut dari kehidupanku. Seperti...
“Rin, kita jangan pergi dulu hari ini. Lulu bakalan dateng buat ngiket kamu dan buang kamu di negeri dongeng ajaib.”
“Rin, ini bukan hari yang baik buat kita pergi. Anggota FPA bakalan bakar rumahmu pas kamu pergi dan mereka mau nyulik orang tuamu terus ngirim kereka ke Malaysia buat jadi TKI.”
“Rin, di masa depan, kamu bakalan jadi arsitek sukses, lulusan ITB. Nilai UN kamu tertinggi di sekolah ini. Kamu bakal ketemu jodohmu di Bandung. Aku bakalan pergi dari kehidupanmu setelah lulus SMA.”
ITU MELEGAKAN BANGET!
Rugi. Aku punya hobi baru sekarang. Mikirin yang macem-macem tentang Aras. Mikirin yang macem-macem itu kayak sekarang ini. Mikir kalo dia punya indera keenam. Aku nggak tau gimana reaksi Aras kalo dia aku suruh ngungkapin. Aku bahkan nggak tau betapa nyeseknya dia nahan semua pikiran negatifku ke dia selama ini. Lebih parahnya lagi, aku baru sadar kalo selama ini aku terlalu jahat sama dia. Nuduh macem-macem tanpa dia pernah denger dan itu nggak pasti bener.
“Sakit, Rin. Sakit! Aku udah nggak tahan kalo kamu nuduh aku yang nggak-nggak kayak gini! Kamu nggak tau, ya, gimana nyeseknya jadi aku? Orang yang kamu sebut sebagai cupu-payah.”
“Aku nggak bisa jadi bodyguard-idola lagi. Aku udah capek dipojokin sama semua pikiranmu yang macem-macem tentang aku. Udah cukup, Rin.”
“Rin, tugasku jadi bodyguard-mu udah berhenti sampe di sini. Aku nggak mau jadi kambing hitam terus. Intinya, LO, GUE, END! Maaf, Rin.”
Aku ngebayanginnya kayak di sinetron-sinetron gitu. Aras ngomong berhenti jadi bodyguard pas lagi hujan-hujan terus dia lari ke arah yang nggak jelas dan ninggalin aku sendirian di bawah rinai hujan. Aku nggak berhenti-berhenti manggil Aras sambil nangis, terus pas udah putus asa aku jatuh dan tambah nangis lagi. Tapi, di situ nggak ada cowok lain yang mayungin aku kayak di film romantis gitu. Jadi, kisah khayalanku ini tragis!
“Rin!”
Aku gelagapan. Cupu-payah ini, oh nggak, Aras bangunin aku dari menghayal-tentang-kisah-tragis antara aku sama Aras. Kayaknya, hal lebay macam itu nggak akan terjadi. Dan mulai sekarang, aku berpikir tentang sesuatu yang lebih baik: nggak mikir macem-macem lagi tentang Aras.
Tiba-tiba, Aras narik tanganku sambil lari kayak maling kecoa yang diuber-uber sama warga sekampung. Kita lari ke arah yang aku nggak tau itu ke mana. Mau ngapain lagi dia? Belum puas kah dia nonton selama dua jam lebih? Nggak. Aku nggak boleh ngeluarin pertanyaan-pertanyaan macem itu lagi. Bakalan lebih nyesek lagi Aras.
“Araaaaas!!!”
Siapa yang manggil Aras? Itu kayak suara cewek. Anehnya, meskipun suara itu manggil-manggil Aras, dia tetep lari dan nggak mau berhenti. Apa jangan-jangan, itu anggota FPA yang tau kalo Aras sama aku nonton?
TUHAN! ITU BENER ANGGOTA FPA! RARA! Temen sekelasku juga. Ya, komplotannya Lulu. Apa-apaan dia ngejar-ngejar kita gini? Oh, aku lupa, anggota FPA, kan, tugasnya gini. Tugas yang menurut aku nggak penting: nguber-uber Aras sama cewek yang jalan bareng dia—kalo lagi jalan sama cewek—dan minta penjelasan atas semuanya. Kalo cewek itu udah nggak bareng sama Aras, mereka bakalan ngejar tu cewek sampe dapet dan ngabisin dia di tempat, jadi yang pulang ke rumah cuma namanya doang. Tragis. Jangan sampe hal kayak gitu terjadi sama aku.
Sekarang, yang aku sadari tu cuma aku lagi ditarik Aras buat lari sampe sejauh mungkin dan menghindari Rara. Ini nggak gampang. Udah hampir tiga taun aku sekelas sama Rara, yang aku tau dia punya kemampuan buat lari yang luar biasa. Mungkin aku nggak ada apa-apanya. Tapi, kenyataannya, aku sama Aras nggak bisa dikejar sama dia. Dia jauh di belakang—mungkin sekitar dua puluh sampe tiga puluh meter.
Jujur dari hati yang terdalam, aku ngerasanya nggak kenal sama sekali daerah ini. Aku nggak pernah ke sini. Bahkan, tau ada tempat ini aja nggak. Aku yang kurang gaul apa daerah ini yang emang nggak terkenal? Daerah in yang nggak terkenal.
“Araaaas!!! Ririiiiiin!!! Berhenti!!!”
Rara juga manggil aku. Wah, jangan-jangan aku bakal dibabat habis sama dia? Oh, nggak bener ini.
Tanganku tambah ditarik sama Aras dan dia terkesan mau ngancurin tanganku. Itu sakit. Aku mulai ngerasa kalo tanganku udah mati rasa saking kuatnya dia megangin tanganku. Jahatnya lagi, dia nggak peduli sedikitpun gimana capeknya aku lari-lari gini. Aku butuh istirahat sama butuh minum juga. Aku bukan unta yang bisa berhari-hari jalan di padang pasir tanpa butuh minum. Aku juga bukan semut yang nggak pernah nyerah buat kembali ke sarangnya sejauh apapun dia nyasar dari sarangnya.
Aku nggak tau udah berapa ratus meter aku sama Aras lari. Di belakang, Rara masih belum nyerah buat ngejar aku sama Aras seakan dia itu macan yang beneran kelaparan dan lagi ngincer dua ekor kancil yang lagi nyuri timun.
“Ras, apa kita buronan?” aku nyeplos sebisanya aku napas. Nyesek.
“Kenapa?”
“Capek. Istirahat dulu, yuk?”
Aras tetep lari seolah dia nggak denger apa yang aku minta barusan—kurang ajar. Tiba-tiba dia belok dan nyaris bikin aku jatuh karena kesandung. Aku seneng karena dia belok ke minimarket. Aku bisa beli minum dan nggak harus jadi unta. Aku bisa istirahat dan nggak harus jadi semut. Bener-bener melegakan.
Aku sama Aras langsung duduk di kursi deket mesin kasir. Kita kayak cacing kepanasan. Kayak manusia yang nyasar dari negeri antah berantah dan nggak tau jalan pulang. AC di dalem supermarket ini nggak berguna kalo nggak ditaruh di depan mukaku pas. Di sini, harga diri, rasa malu, semua nggak penting. Minum paling penting. Masa bodoh orang-orang itu mau ngeliatin aku sama Aras dengan pandangan aneh sampe jijik sekalipun, silakan. Aku ke sini cuma mau beli minum.
“Maaf, mbak, mas. Bisa dibantu?” Seorang pegawai dateng dengan tampang nggak sopan-nahan ketawa. Maksudnya apa?
“Mas, minum dong!” Aras langsung nyaut.
“Minum apa?”
“Apa aja. Dua botol, ya. Yang dingin!”
Wah, pas banget ini. Panas, capek, keringet, bau, sakit, jadi satu. Badanku bisa ancur lebur ini besok.
Dua botol air mineral ukuran reguler dateng dan siap dihabisin. Mereka bener-bener keliatan cocok banget buat dijadiin sebagai penghilang haus. Air dingin yang keluar dari botol dan ngalir dengan lancar jaya itu bikin tenggorokanku makin kering. Aku nggak peduli Rara bakalan nemuin aku sama Aras di sini dan ngabisin aku. Toh, nanti yang habis duluan si Aras, kan? Puas!
***
Sejak insiden kejar-kejaran sehabis nonton kemaren, aku nggak berani pergi ke luar lagi belakangan ini, sekalipun itu sama Aras. Selain tanganku yang nggak perlu kesakitan buat kedua kalinya, aku juga nggak mau nyawaku terancam lagi. Mereka semua keliatan semakin ganas dan semakin pengen buat ngancurin hidupku.
Sedikit cerita soal anggota FPA, mereka semua semakin benci sama aku. Mungkin Rara udah ngasih pengumuman dan semua anggota FPA tau. Aku berasa nggak punya temen lagi di sekolah ini. Aku berasa jadi enemy of the year. Bahkan anak cowok juga banyak yang benci aku. Satu alasan terkuat yang bikin mereka benci aku yaitu cewek-cewek mereka jadi lupa sama cowok mereka dan sibuk ngurusin rencana gerilya di rumahku.
Beberapa hari lalu, ada sms masuk. Isinya bilang kalo karena aku, ceweknya jadi suka ngelampiasin kemarahannya ke cowoknya. Itu tragis dan aku nggak nyangka bakal sejauh itu. Cowok yang sms aku juga bilang kalo karena Aras, ceweknya jadi minta putus. Cuma cowoknya nggak mau. Masalahnya di sini, yang disalahin Aras kenapa smsnya ke aku? Lucu. Banget.
Oh, satu lagi. satu sms masuk lagi ke hp-ku. Itu dari seorang cewek kelas sebelas, namanya Muti. Dia bilang kalo dia punya pacar anak cowok kelas dua belas. Cowoknya itu suka aku. Terus karena cowoknya pacaran sama dia tanpa berlandaskan suka sama suka—karena cowoknya suka aku—jadilah tu cowok dengan gampang mutusin Muti karena aku. Kalo ini wajar karena ini aku penyebabnya. Tapi, pertanyaannya, kok ada anak kelas sebelas berani kayak gitu sama anak kelas dua belas? Cinta emang buta.
Soal tanganku, sampe sekarang belum sembuh. Masih diperban, masih sakit. Aku baru nyadar setelah sehari kemudian. Pas aku mau nulis, tiba-tiba tangaku rasanya kayak diremukin. Sakit banget. Kata dokter, tulang pergelangannya geser dan sedikit retak. Jadi, aku harus dioperasi terus pake perban kayak sekarang. Aku juga harus terbiasa buat nulis pake tangan kiri. Tulisanku yang sekarang jadi keliatan seperti...bukan ceker ayam, tapi seperti...lintah yang mulai mengkerut kalo dikasih garam. Jelek.
Tanganku sakit karena Aras. Aku harus dioperasi juga karena Aras. Aku harus nulis pake tangan kiri karena Aras. Tulisanku jelek juga karena Aras. Singkatnya, Aras tu masalah dari kehidupanku. Nyesel banget ngajakin Aras nonton. Aku tau kalo Aras nyoba buat ngelindungi aku, tapi nggak harus ngancurin tanganku juga.
Sekarang, aku udah mulai terbiasa sama tatapan maut mereka—itu bukan tatapan ngancem lagi. Aku juga udah nggak merasa takut atau terganggu lagi. Udah seperti sarapan, itu kegiatan sehari-hariku. Diliatin kayak gitu malah bikin aku ngerasa aku ini orang yang paling diperhatiin. Senangnya.
Begitu terbiasanya, aku malah sering nggak sadar kalo mereka mau nerkam aku. Aras yang sukanya ngingetin aku buat waspada sama mereka juga jadi lupa sama tugasnya. Mereka bukan keliatan sebagai ancaman lagi saat ini. Aku menikmati itu semua. Aras bilang kalo kita jangan terlalu mikirin apa yang mereka lakukan saat ini. Mereka mau ngeliatin, mau nerkam, mau ngapain aja—kecuali mau ngebunuh aku dan orang tuaku—aku nggak boleh peduli.
Kembali ke dunia nyata, aku masih nyoba buat ngebiasain diri nulis pake tangan kiri. Susah. Tapi aku harus nyoba biar nggak ketinggalan pelajaran. Apalagi aku udah kelas dua belas. Nggak merhatiin guru sama aja cari mati. Sama aja masuk ke dalam forum anggota FPA dan ngejekin mereka—yang artinya cari mati juga.
Oh, Tuhan! Pak Suto cepet banget sih diktenya? Nggak tau, ya, di sini ada yang nggak bisa nulis?
Nggak nyangka, Aras megang tanganku. Bikin aku berhenti nulis di saat genting kayak gini. Mau apa dia? Mau bikin aku nggak lulus? Mau bikin aku mati? Apa mau bikin orang tuaku nyuruh aku minggat dan nggak ngakuin aku sebagai anaknya karena aku nggak lulus? Aku lebay? So what?
“Hei! Apa-apaan? Aku perlu nyatet ini.”
“Nggak usah. Aku yang nyatet buat kamu. Biarin aku jadi tanganmu sampe kamu sembuh.”
Dia ngomong gitu lagi. Hal yang paling bikin aku speechless. Jujur, ya, aku mau banget dicatetin gitu. Cuma, apa aku nggak tambah dibenci sama anggota FPA? Mungkin nggak kalo aku jadi enemy of the world? Kayak monster dari planet lain yang berusaha buat ngancurin bumi jadi harus dibasmi sama pahlawan-pahlawan super macam The Avengers.
Apapun itu, aku harus nyoba sendiri. Kalo nggak, aku nggak akan bisa dan harus ngandelin orang lain buat ngelakuin sesuatu yang aku pengen lakuin.
“Tapi...”
“Berhenti nulis.” Suara Aras lirih, tapi masih kedengeran.
“Nggak. Aku mau nyoba sendiri.”
“Berhenti aku bilang.”
“Aku nggak bisa berhenti.” Kayak kereta api.
“Aku bilang berhenti!” Aras kedengeran marah.
“Aku nggak akan bisa kalo aku nggak nyoba sendiri.” Aku tetep nggak mau dibantu.
“Ririn, berhenti!” Suara Aras masih lirih tapi tegas.
“Nggak.”
“Kamu masih mau ngelanjutin tulisanmu yang jelek itu?”
Sialan. Maksudnya apa coba ngehina gitu? Toh, tulisan tangan kiriku lebih bagus dari tulisan tangan kanannya Aras
“Iya! Kenapa!?”
“Jangan.”
“Kenapa?” Aku mulai sebel sama cupu-payah ini.
Oh, soal indera keenam itu, aku dapet fakta kalo Aras nggak punya. Aku tanya dia dan dia bilang nggak punya. Aku bersyukur banget karena semua yang aku bayangin soal berhenti jadi bodyguard-idola dan nangis ditengah hujan nggak terjadi. Satu hal yang bikin sedih, aku nggak bisa tau masa depanku gimana.
Cupu-payah ini masih bandel megangin tanganku.
“Aku bilang jangan. Kamu boleh ngelakuin hal yang kamu mau kalo aku nggak ada.”
“Aras, please deh. Ini tu nggak sesakit yang kamu bayangin. Lagian yang sakit itu tangan kananku. Bukan tangan kiri. Jadi nggak usah berlebihan gini.”
“Berhenti nulis!” Cupu-payah-keras-kepala.
“Nggak!” Aku berani teriak.
“Hei! Ririn, Aras! Ada apa?”
Suara Pak Suto bikin kaget. Sedetik, aku sadar kalo anak-anak cewek lagi ngeliatin aku sama Aras. aku harus cari alasan biar nggak dipermalukan. Tapi, sedetik lagi aku sadar kalo Aras megangin tanganku. Aku buru-buru ngelepas dan nyembunyiin tanganku di bawah meja.
“Eh, tadi Aras nyenggol tangan saya terus saya kaget terus teriak, Pak. Maaf, Pak.”
Sebisa mungkin aku bikin alesan nyang masuk akal sekalipun itu masuk akal buat aku tapi nggak masuk akal buat Pak Suto.
“Memangnya tangan kamu kenapa?”
Bener-bener! Perasaan aku udah pernah bilang kalo tanganku sakit tapi nggak diperhatiin. Kurang jahat apa coba guruku yangg satu ini?
Aku buru-buru ngangkat tangan kananku dan nunjukin ke Pak Suto sementara Aras diem aja. Ngebiarin aku perlahan-lahan masuk ke kandang macan tutul. Ini seperti dihakimi sendiri.
Dari ekspresinya, Pak Suto kayaknya sadar kalo ada sesuatu yang salah. Bener banget. Tadi diktenya kecepetan dan beliau lupa kalo aku pernah ngomong ke dia soal tanganku ini. Pak Suto pasti tau aku nggak bisa nulis cepet.
“Baik. Kalau begitu, catatan kita berhenti sampai disitu dulu. Kita lanjutkan lain kali. Sekarang, keluarkan buku paket kalian dan buka halaman delapan puluh sembilan.”
Aku beruntung. Terima kasih Pak Suto yang baik hati.
***
Tanganku masih belum sembuh. Aku udah terbiasa nulis pake tangan kiri sekarang. Ya, meskipun masih jelek, aku bisa pokoknya. Aras juga ngerti apa mauku: nggak dibantu buat ngelakuin hal-hal yang aku pengen lakuin. Selama aku masih bisa, Aras nggak perlu ngebantu. Dia cukup ngawasin aku aja. Di rumah juga ada orang tuaku yang selalu siap jagain aku.
Masalah FPA, makin hari kayaknya mereka makin nggak santai ngeliatinnya. Itu menandakan kalo artinya mereka makin benci sama aku. Aku masih heran. Kenapa yang dibenci cuma aku, ya? Kenapa mereka nggak benci sama Aras? Oke, aku tau mereka emang fansnya Aras. Tapi, ada lah pasti, satu saat dimana si idola bikin kesalahan dan fans-nya berubah seratus delapan puluh derajat jadi haters. Aku nggak menemukan itu di kasus ini. Justru di masalah ini malah aku yang lebih disalahin dan jadi kambing hitam sendiri. Nggak adil.
Seandainya mereka tau yang sebenernya, tau kalo yang minta jadi bodyguard itu Aras, pasti mereka bencinya bakalan ke Aras, bukan aku. Meskipun itu nggak adil buat Aras, tapi karena dia yang mulai itu jadi adil, kan?
Sampe detik ini, aku penasaran soal something-important yang bikin mereka semua ngejar-ngejar Aras. Keren nggak, ganteng nggak, pinter nggak tau, cupu-payah lagi. Toh, kalo misalnya Aras mau sama mereka, mereka nggak bisa ngerebutin satu orang. Aras juga nggak bisa macarin mereka semua sekaligus. Kalo mau dipacarin satu-satu, suatu saat pas satu putus terus ganti yang lain, nanti malah perang saudara. Apa mau aras dibagi-bagi macem daging kurban? Itu nggak akan berhasil.
Kalo diitung-itung, anggota FPA itu bisa lebih dari enam ratus orang. Mari dilihat. Jumlah siswa kelas sepuluh ada sekitar 280 orang. Dari segitu, ceweknya sekitar 180-190. Nah, kalo semuanya jadi anggota FPA, aku udah dapet hampir 200.
Terus kelas sebelas. Ada sekitar 300 orang. Ceweknya mungkin 190-200. Kalo dijumlahin, aku dapet hampir 400 orang.
Terakhir, kelas dua belas. Siswanya lebih banyak dibandingin sama kelas sepuluh sebelas. Ada mungkin sekitar 320. Kalo ceweknya yang aku tau ada 210 orang. Kalo semua suka Aras, jadi totalnya berkisar sampe di angka 610. Itu belum kalo ada cowok nggak waras yang suka sesama jenis. Terus belum kalo ada guru perawan yang lagi mencari cinta dan jatuh cinta sama Aras. Mungkin sekitar 609 kalo dikurangi aku.
Itu angka yang fantastis. Bayangin kalo Aras diperebutkan sama 609 orang, nggak logis!
“Rin!”
Aku gelagapan—lagi. Aku melamun, ya?
“Ya?”
“Ngelamunin apa, sih?”
Iya, aku melamun. “Nggak kok.”
Soal FPA yang super banyak itu, aku harus tanya Aras. Siapa tau dia pernah ngecek jumlah anggota FPA.
“Eh, Ras, aku mau tanya. Nggak penting, sih. Cuma mau tanya soal anggota FPA. Ada berapa mereka semua?”
“Jadi kamu ngelamunin itu dari tadi?”
“Nggak kok,” beberapa saat kemudian, “eh, iya.” Aku jadi labil.
Aras senyum ke arahku. “Aku udah bilang, aku nggak punya urusan sama mereka. Mau sebanyak apapun mereka, aku nggak peduli.”
Jawaban yang bijak menurutku. Tapi, nggak terlalu jahat kah si Aras?
“Mungkin kedengeran jahat. Aku sadar. Tetep aja aku nggak akan peduli. Kalo gini caranya, kalo mereka jadi fans aku, malah mereka yang jahat. Di kasus ini, mereka bikin aku dalam bahaya. Mereka bukannya ngelindungi aku sebagai idola, mereka malah bikin aku terancam sama keberadaan mereka. Aku jadi serba salah buat ngelakuin apa yang aku mau kalo aku peduliin mereka. Maka dari itu, aku dengan berani jadi bodyguard-mu karena aku nggak peduli sama mereka.”
Aku cuma bisa angguk-angguk. Jadi, di sini aku yang terlalu mempermasalahkan semuanya? Aku yang terlalu lebay dan alay? Tapi, kalo Aras nggak peduli, ngapain kemaren dia ngajakin aku lari sampe segitunya? Sampe ngeremukin tanganku pula.
“Kalo kamu nggak peduli, kenapa kemaren kamu ngajakin aku lari dari Rara? Kan, kita bisa ngejelasin ke Rara baik-baik.”
“Aku tau kamu bakal tanya ini. Soal itu, Rara pasti bakalan tanya yang macem-macem. Aku berpikir kalo dia itu mata-matanya FPA sekarang. Dia nggak akan biarin kita tidur dengan tenang kalo kita belum jawab semua pertanyaannya. Soal tanganmu, aku nggak nyangka kalo sampe kayak gitu. Aku bener-bener nggak sadar. Aku cuma mau ngelindungi kamu. Maaf, ya.”
Akhirnya! Setelah sekian lama nunggu! Cupu-payah ini minta maaf! Kenapa nggak dari kemaren-kemaren? Kenapa harus nunggu momen serius kayak gini? Idiot!
“Awalnya, aku nggak bisa terima semua ini. Aku jadi nyalahin kamu tentang semua yang terjadi. Aku nggak bisa nulis karena kamu, tulisanku jelek karena kamu, aku nggak bisa ngelakuin semuanya dengan bebas karena kamu, aku diuber-uber kayak maling ayam karena kamu, aku berpikir semuanya karena kamu. Ya, emang karena kamu. Tapi, nggak berguna juga. Udah terjadi dan nggak bisa kembali. Makasih, ya. Karena udah bikin aku ngerasa terlindungi.” Aku senyum.
“Iya.” Aras bales senyum.
Senangnya bisa saling terbuka kayak gini. Sekarang, saatnya kembali ke pelajaran karena bel udah bunyi.
***
Hari Minggu yang menyenangkan. Sampai tiba-tiba...
“Ririn, hari ini kamu bisa ke dokter sendiri, kan? Ibu sama Ayah mau ke rumah Eyang dulu. Nenek sakit. Bisa, kan?”
Petir-siang-bolong lagi!? Aku nggak berani keluar rumah kalo nggak ada yang nemenin. FPA lagi gerilya ini.
“Ibu! Kenapa nggak bilang dari tadi malem?”
“Ayah sama Ibu baru dikabarin tadi pagi. Jangan manja, ah.”
“Ke dokternya kalo Ayah sama Ibu dah pulang aja.”
“Ayah sama Ibu nginep. Pulangnya besok malem.”
Aku merengut. “Ah, Mas Ardi mana?”
“Ada tugas kuliah. Apa kamu minta temenin Aras?”
Kenapa Ibu pake nyebut-nyebut nama Aras? Ya, emang Ibu tau kalo Aras jadi bodyguard-ku. Tapi, apa Ibu sama Ayah lupa kalo mereka hampir kehilangan aku karena Rara? Jangan-jangan mereka emang mau aku dihabisin sama anggota FPA yang lagaknya udah kayak preman pasar itu?
“Ibu, Ibu sama Ayah lupa, ya, gimana keadaanku terakhir kali aku pergi sama Aras?”
Ibu cuma mangap sambil ngangguk-angguk tanpa ngasih solusi. Itu jahat. “Tapi, di rumah sakit banyak satpam, kan? Kamu bisa minta perlindungan sama satpamnya.”
SATPAM APA, BU!?
“Udah, ya. Kamu telepon Aras aja. Ayah sama Ibu pergi dulu. Oh, uangnya ada di lemari belakang. Ambil sesuai kebutuhan aja. Kalo mau pergi pamit Mas Ardi dan kalo pas Mas Ardi nggak di rumah, jangan lupa matiin lampu sama kunci pintu.”
Ini lagi, Ayah juga nggak ngebantu malah ceramah. Aku udah tau apa yang aku harus lakuin kalo Ayah, Ibu, sama Mas Ardi lagi nggak di rumah. Udah sejak aku kelas lima, yang artinya udah hampir delapan taun aku ngelakuin kebiasaan itu—kunci rumah dan matiin lampu kalo mau pergi dan pas nggak ada orang di rumah.
“Iya, Ayaaah! Hati-hati!”
Segeralah aku sendirian di rumah. Tunggu! Kenapa aku nggak tanya Mas Ardi pulang jam berapa? Kan, bisa minta dianterin. Ah, Ririn. Kamu kok jadi ketularan idiotnya Aras?
Yah, nggak aktif lagi nomernya Mas Ardi. Ini maksudnya apa? Aku ditelantarin gitu sampe besok malem? Aku harus jagain rumah, sendirian di rumah? Kalo ada maling gimana? Aku nggak berani ngadepin tu maling. Aku nggak pinter bela diri. Tuhan, aku harus gimana? Nggak mungkin aku telepon Aras. Aku nggak mau ketemu salah satu anggota FPA dan dicabik-cabik pake pisau operasi di rumah sakit. Aku nggak mau.
Tapi...
Hp-ku bunyi. Itu telepon dari Aras—aku udah punya nomernya Aras sekarang. Mau apa dia? Telepon di saat aku lagi ngomongin dia.
“Halo.”
”Rin, ayo!”
“Ayo? Kemana?”
“Katanya mau ke dokter?”
Kok dia bisa tau, sih? Apa Ibu telepon Aras? Dari mana Ibu tau nomer Aras?
“Kok kamu bisa tau?”
“Kemaren kamu bilang, kan? Ayo! Aku udah di depan rumahmu.”
Sejak kapan!? Aku bingung! Aku langsung lari ke luar. Bener aja. Aras udah standby di depan rumahku dengan motor bebek yang masih kinclong. Kalo misalnya kemaren aku bilang hari ini mau ke dokter, aku nggak mungkin bilang aku mau dianter dia, kan?
“Aku nggak bilang aku minta kamu anter, kan?”
Aras ngangguk-angguk. Syukurlah. “Ayo!”
“Tunggu bentar. Aku ganti baju dulu!”
Nggak sampe lima menit—mungkin—aku udah ganti baju. Pake celana jeans belel yang belum aku cuci sekitar satu bulan dan pake kaos abu-abu sama kardigan biru muda. Pake sendal jepit jelas nggak pas—nggak lucu juga. Pake sepatu-nyaris-butut baru pas. Oh, aku juga udah matiin lampu sama ngunci pintu sesuai perintah Ayah dan ngambil semua uang yang Ayah taruh di lemari belakang. Jumlahnya nggak akan terduga kalo aku nggak bilang.
Di rumah sakit, aku langsung daftar dan dapet urutan ke-99. Sekarang yang lagi masuk urutan ke-80, karena aku belum makan siang, aku ngajakin Aras makan siang di kantin. Seperti perjanjian sebelumnya, aku yang bayarin Aras makan siang. Seperti perjanjian juga, aku cuma bayarin sepuluh ribu. Selebihnya ditanggung sendiri.
“Drrrrttt...drrrrttt...drrrrttt...” hp-ku geter. Itu telepon dari Mas Ardi. Kemana aja dia?
“Halo.”
“Halo. Ada apa, Dek?”
“Mas, kemana aja? Kok nggak aktif tadi?”
“Maaf. Tadi hp Mas mati. Baru bisa nge-charge sekarang. Ada apa?”
“Oh. Aku cuma mau tanya Mas pulang jam berapa?” Aku nengok ke arah Aras. Dia ngeliatin aku lekat-lekat. Apa-apaan cupu-payah ini? “Apa?” Aku ngomong ke Aras tanpa suara.
Aras cuma geleng-geleng dengan tampang idiot.
“Mas pulang besok siang, Dek. Lagi ngerjain tugas kuliah di rumah temen. Gimana? Nggak pa-pa, kan?”
Tu kan. Bener apa yang aku prediksi. Aku bakal di rumah sendiri. Jagain rumah dari maling-maling kurang ajar yang mau nyuri barang-barang di rumahku. Apa perlu aku nggak perlu tidur semaleman buat jaga rumah? Tapi, paginya aku upacara. Nggak lucu banget kalo pas upacara aku jatuh tertidur. Beneran, nggak lucu.
“Mas, Mas nggak tau, ya, Ibu sama Ayah pergi ke rumah Eyang. Pulangnya baru malem. Aku nggak berani di rumah sendiri sampe besok. Kalo ada maling gimana? Nggak bisa berantem juga aku.” Aku mencari belas kasihan disini. Miris.
Mas Ardi diem bentar. Dan ngomong sesuatu sama temennya. “Ya, udah. Ntar malem jam sebelas Mas pulang tapi temen Mas mau nginep. Kamu lagi dimana?”
Huh, akhirnya. “Di rumah sakit.”
“Rumah sakit!? Kamu kenapa, Dek!?” ini Mas Ardi nggak santai. Langsung teriak, suaranya kayak lagi ngomong pake pengeras suara di sekolahku.
”Cuma kontrol doang, Mas. Santai aja.”
“Oh, kukira. Kamu sendiri?”
“Enggak. Sama Aras.”
“Kalo gitu, Aras mana?”
“Mau apa, Mas?”
“Kasih hp-mu ke Aras. Mas mau bicara sama dia.”
Sesuai permintaan, hp-ku langsung aku sodorin ke Aras. Aku nggak berharap Mas Ardi mau marah-marahin Aras karena udah bikin tanganku dioperasi dan bikin aku nyaris mati.
“Apa ini?”
“Mas Ardi mau ngomong.”
Aras ngambil hp-ku dan langsung berubah seratus delapan puluh derajat jadi super sopan. Takut atau hormat?
Aku penasaran sama apa yang mereka omongin. Dari awal telepon Aras cuma bisa bilang ‘ya’ sambil ngangguk-angguk. Sekali doang aku denger dia ngomong yang agak panjang. Kayak ngomong ‘aku usahain’. Apa jangan-jangan Mas Ardi lagi marahin dia? Apa Mas Ardi ngomong kalo jangan bawa aku ke dalam bahaya terus suruh jagain baik-baik jadi dia ngomong gitu? Ah, kok Aras dimarahin Mas Ardi, sih? Aku jadi nggak enak ini.
Cukup lama mereka ngomong. Ada sekitar lima menit. Apa yang Mas Ardi omongin sama Aras? Tapi, semakin lama ekspresi Aras makin berubah. Jadi keliatan kayak ekspresi dia sehari-hari—datar. Bukan ekspresi takut karena dimarahin Mas Ardi.
Setelah telepon itu diputus, Aras langsung balikin hp-ku.
“Kalian tadi ngomongin apa? Nggak dimarahin Mas Ardi, kan?”
“Nggak. Mas Ardi nyuruh aku nemenin kamu sampe malem. Katanya, Mas Ardi lagi di rumahku. Ngerjain tugas kuliah sama Mas Aris. Terus karena Mas Aris mau nginep di rumahmu, aku juga boleh ikut. Sekalian ngejagain kamu gitu. Katanya lagi, aku harus bikin kamu terhindar dari anggota FPA kalo kamu ngajak main ke luar sehabis dari rumah sakit. Singkatnya itu.”
Jadi, Mas Aris, temennya Mas Ardi, itu kakaknya Aras? Ini nggak seperti dunia itu luas ternyata. Tapi, Aras mau nginep rumahku!? Nggak bener!
“Ha!? Kamu mau nginep di rumahku!? Yang bener aja. Kalo cewek sama cowok yang belum nikah tinggal dalam satu rumah yang sama, pasti tetangga bakal mikir yang aneh-aneh. Nggak! Nggak boleh!”
“Hei, apa ada yang mau kayak gitu? Bukannya ada Mas Ardi sama Mas Aris? Aku tadi bilang kalo karena Masku, Mas Aris, nginep di rumahmu, aku jadi boleh nginep di rumahmu, Nona Ririn. Makanya dengerin baik-baik. Paham?”
Oh, bener. Tadi Aras bilang gitu. “Aku yang salah kalo gitu.”
“Huh. Ya, udah. Balik, yuk. Sapa tau kamu bentar lagi masuk.”
Kayaknya ngabisin seharian sama Aras bakal ngebosenin. Yang aku harapkan cuma nggak ada satupun anggota FPA yang aku temui. Itu aja.
Pas sampe di depan ruang dokter pas banget aku dipanggil. Jadi nggak harus duduk-dalam-diam bareng Aras. Tapi, Aras malah ikut masuk ke dalem. Mau apa dia?
“Eh, Ririn. Gimana? Masih susah nulis pake tangan kiri?”
Dokternya sampe hafal aku saking seringnya aku dateng ke sini. “Nggak kok, Dok. Udah lumayan terbiasa.”
“Baguslah. Coba sini saya cek.”
Aku langsung nyodorin tanganku ke Dokter. Dibuka perbannya dan dipencet-pencet. Aku lebih berkeinginan kalo tanganku udah sembuh sekarang. Sembuh total biar aku bisa ngerasain gimana enaknya nulis pake tangan kanan dan bisa ngeliat tulisanku yang dulu. Termasuk bisa ngelakuin segala sesuatunya dengan tangan kanan. Aku kangen tangan kananku!
“Gimana, Dok? Udah sembuh?”
“Oh. Perban kamu sebenernya udah bisa dilepas meskipun belum sembuh total. Cuma buat menghindari hal-hal yang nggak diharapkan, kamu masih harus diperban sampe beberapa hari ke depan. Mungkin seminggu. Ya, itu tergantung kamunya. Kamu bisa nggak pake perban kalo kamu bisa jagain tangan kamu dengan baik. Apa keputusanmu?”
Di satu sisi, aku pengen banget bisa latian nulis pake tangan kanan dan tanpa ada ganjelan. Tapi, aku khawatir kalo suatu saat, para anggota FPA itu tau apa yang terjadi sama tanganku dan berusaha buat ngancurin tangan kananku. Oke, ini keputusanku. Sebijak mungkin aku harus bisa milih!
“Diperban aja, Dok. Tapi, perbannya nggak tebel-tebel, kan?”
“Nggak kok. Cuma buat ngamanin aja jadi nggak tebel. Jadi, diperban?”
“Iya, Dok.”
Dokter Budi langsung bilang ke suster buat ngambil perban baru dan setelah perbannya dateng tanganku langsung dibalut. Kenceng banget.
“Sebenernya, tangan kamu kenapa kok bisa jadi gini? Sejak awal saya nangani kamu, saya belum pernah denger alesan kamu sakit gini. Kenapa, sih?”
Aduh, kenapa tanyanya pas momen nggak bagus gini? Pas ada Aras. Ngarang, satu-satunya jalan biar Aras nggak ngerasa semakin bersalah.
“Jadi...”
“Jadi,” Aras nyerobot, “waktu itu saya lagi sama Ririn. Tiba-tiba kami dikejar sama orang. Saya mau sembunyi, tapi saya nggak mungkin ninggalin Ririn sendirian. Terus, saya tarik Ririn dan saya ajak lari bareng saya. Saya nggak tau kalo sampe begini jadinya, Dok. Ini kesalahan saya.”
Ekspresi Dokter Budi keliatan kaget. “Kamu, kuat banget, ya. Sampe bikin tangannya Ririn nyaris hancur begini.” kata Dokter Budi sambil bercanda.
“Maaf, Dok.”
Aku langsung nengok ke Aras. Kacamatanya berkilat kena cahaya matahari sore dari jendela rumah sakit. Aku nggak bisa baca ekspresi Aras kalo aku nggak bisa liat matanya. Ah, sial! Karena pertanyaan itu aku jadi nggak enak sama Aras. Harusnya tadi Aras nggak ikut masuk ke dalem. Harusnya Dokter Budi nggak usah tau aku jadi begini kenapa. Kurang kerjaan banget tanya-tanya gitu.
Dokter selesai sama tugasnya—bungkus pergelangan tanganku. Dia ngasih resep dan bilang kalo aku harus kembali ke sini seminggu lagi.
Aku sama Aras keluar dari ruang dokter dan diem aja selama perjalanan ke tempat pengambilan obat. Apa yang terjadi sama Aras sekarang? Aku tau, banyak yang Aras pikirin selama ini. Keselamatanku, tanganku, dan aku yang nggak bisa nulis pake tangan kanan. Mungkin Aras juga ngerasa bersalah, aku tau banget. Karena Aras selalu nyoba buat ngebantu aku untuk ngelakuin sesuatu sekecil apapun itu. Meskipun dia nggak pernah keliatan peduli sama FPA, secara nggak langsung, dengan Aras jadi bodyguard-ku, itu udah nunjukin kalo dia punya urusan dan peduli sama yang anggota FPA lakuin. Aras terlalu khawatir, jadi dia peduli.
Dia udah berkerja keras selama lebih dari lima bulan belakangan ini. Bukannya udah banyak banget yang terjadi selama lima bulan lebih itu? Aku pikir dia cukup tertekan sama semuanya. Seenggakpedulinya dia sama perbuatan FPA, dia masih aja nyoba buat ngajak aku menghindar dari mereka. Aras selalu aja nyari alesan setiap aku sama dia harus sembunyi kalo ada anggota FPA yang dateng. Seharusnya, kalo dia nggak peduli, dia bisa jelasin ke mereka tentang apa semua ini. Aras nggak bisa bohong sama aku tentang itu semua.
Tapi, kalo Aras nggak mau jujur, it’s okay. Aku nggak bisa ganggu privasi dia. Aku juga nggak bisa ngerusak zona nyaman dia dengan tanya-tanya soal dia peduli apa nggak sama anggota FPA. Pentingnya, sekarang aku udah bisa nebak apa yang Aras rasain.
Tunggu! Kok aku peduli, ya, sama Aras? Idiot!
***
Habis dari rumah sakit, aku nggak mau pulang ke rumah. Aku memutuskan buat ngajak Aras ke supermarket soalnya tadi aku dapet sms dari Mas Ardi buat belanja dan masak buat dia dan temennya—Mas Aris yang juga kakaknya Aras. Aras juga milih buat nginep di rumahku, jadi aku juga harus masak buat dia.
Sampe di supermarket udah jam setengah tujuh. Aku cuma punya waktu belanja sampe jam delapan atau setengah sembilan. Sekarang, aku nggak tau mau masak apa. Setauku, Mas Ardi suka banget kalo aku masakin sop seafood. Oke, dapet satu menu. Aku, aku suka banget makan bakso seafood. Ya, emang aku sama Mas Ardi suka makanan yang berbau seafood. Anehnya, Ayah sama Ibu malah nggak begitu suka. Dapet satu menu lagi. Menu ketiga dan keempat aku tinggal tanya Aras.
“Ras, kamu sama Mas Aris suka makanan apa?”
“Mmm...kalo aku suka makan apa aja, sih. Mas Aris sukanya nasi goreng. Nasi goreng rasa apa aja.”
“Kalo seafood?”
“Boleh. Nasi gorengnya juga seafood juga boleh.”
Wah, gampang ini. Nanti aku tinggal masak bakso sama sopnya yang lebih banyak dari porsi asliku sama Mas Ardi. Biar Aras juga kebagian. Tapi, kalo Aras suruh makan tiga-tiganya, apa dia nggak teler?
“Kamu mau bakso seafood, sop seafood, apa nasi goreng seafood?”
“Sama aja. Terserah kamu aja.”
“Nggak bisa! Pilih satu!”
“Apa, ya? Sop aja.”
“Oke. Kalo gitu, ayo kita ke tempat ikan! Terus ke sayur-sayuran sama buah-buahan. Oh, ke tempat minuman juga. Ayo!”
Aku main dorong-dorongan trolley. Tapi, Aras nggak ikut. Demi jaga image, dia rela banget nggak ikut aku mainan. Dia nggak bisa ngerasain betapa serunya mainan di supermarket kayak gini. Maklum, bawaan kecil. Dari pertama kali aku diajak Ibu ke supermarket, aku udah jatuh cinta sama trolley. Selalu aja aku yang naik kalo misalnya pergi belanja ke supermarket bareng Ibu, Ayah, sama Mas Ardi.
Sayangnya, itu udah dulu banget. Aku udah nggak bisa menikmati lagi gimana serunya naik trolley yang kadang-kadang didorong sama Mas Ardi. Ini lebih baik. Dorong trolley dan ngerasain gimana rasanya jadi Mas Ardi yang dengan suka rela dorongin trolley yang isinya aku dan sayuran segala macem. Itu pasti berat banget.
“Ras, ayo mainan!”
Aras cuma geleng-geleng dan senyum.
“Hu!”
Akhirnya, sampe di tempat seafood. Aku langsung tertarik sama udang galah yang gede-gede itu. Wah, sosis kepitingnya juga seger banget. Itu! Cumi-cumi sama guritanya! Aku bingung antara cumi-cumi atau gurita. Dan, di sana! Kerang juga ikan seger. Itu juga! Berbagai macem bakso dari daging hewan laut ada di sana! Waaah! Aku pengen beli semuanya!
“Aras! Di sana! Kamu ambil udang galah delapan ekor. Pilih yang gede dan seger. Terus di sebelahnya ada sosis kepiting. Kamu ambil dua puluh biji. Oh, bantu aku milih. Mana yang lebih baik? Gurita apa cumi-cumi?”
“Aku lebih suka gurita.” Aras sambil ngangkat bahu.
“Oke. Terus aku mau tanya lagi. Enak pake kerang apa nggak? Terus ikannya ikan apa?”
“Bukannya kamu yang mau masak, ya? Kenapa masih bingung?”
“Aku nggak bisa nurutin selera individual. Aku harus nurutin apa mau tamuku. Cepetan jawab!” Aku narik-narik lengan kemeja panjang Aras.
“Mari kita lihat. Kalo sop seafood yang pernah aku makan, isinya itu nggak ada kerang. Ikannya pake ikan gurame. Sejauh itu aku ngerasa kalo itu enak. Gimana kalo kerangnya dibikin asem manis aja?”
Wah, gila! Aras ternyata punya selera makan yang bagus. Sangat membantu. “Baiklah. Berarti, kita harus beli bawang bombay sama saos. Kebetulan di rumahku saosnya lagi habis.”
“Boleh.”
“Ya, udah sana! Cepetan ambil udang sama sosis kepitingnya. Aku ambil ikan, kerang, gurita sama bakso-baksonya. Cepetaaan!” Aku nggak sabar dan dorong Aras ke arah yang aku mau.
Lima belas menit, aku sama Aras selesai di bagian bahan pokok. Sekarang ke bagian sayuran. Aku mau ambil kentang, kubis, sama brokoli, atau bunga kol? Mana yang lebih enak? Nanti, deh. Selain itu, aku mau ambil bawang bombay, bawang merah, bawang putih, daun bawang, garam, lada hitam, sama saos. Ini sangat menyenangkan!
“Aras, satu pertanyaan lagi. Brokoli apa bunga kol?”
“Brokoli boleh.”
Aku langsung lari ke tempat di mana ada brokoli, kentang, sama kubis dan ninggalin trolley bersama Aras.
Selesai belanja, trolley nyaris penuh. Aku nggak begitu yakin soal ini semua. Motor Aras, apa mungkin cukup buat bawa semua belanjaan ini? Ini ada sekitar lima kantong kresek gede. Gimana bawanya coba? Nggak lucu juga kalo harus bolak-balik dari sini ke rumahku. Ini udah delapan seperempat juga.
“Ras, kita bisa bawa ini trolley nggak?”
“Aku nggak berpikir begitu.”
Dengan susah payah aku sama Aras nyoba buat ngatur tempat biar muat kalo sekali bawa. Alhasil, di depan ada dua kantong plastik dan aku bawa tiga sisanya. Semangat. Cuma itu yang bisa aku lakuin. Jarak dari supermarket ini ke rumahku nggak begitu jauh. Mungkin sekitar tiga kilometer. Bisa ditempuh selama lima belas menit kalo Aras naik motornya lebih dari 40 km/jam.
Motor udah jalan. Aku bisa ngerasain kalo motor ini jalannya lambat banget. Jelas, kendaraan lain itu dengan gampang ngelewatin kita gitu aja. Bahkan, seorang cowok yang naik sepeda aja bisa nyalip kita dengan gampang. Maksudnya apa?
“Aras, kecepatannya berapa?”
“Sepuluh.”
Sepuluh!? Serius!? Kalo kayak gini kapan kita mau sampe rumah?
“Ras, cepetan! Empat puluh kenapa?”
“Nggak mau!”
“Kenapa? Tanganku keburu sakit ini!”
“Ha!? Oke!”
Langsung aja Aras ngebut. Ish, labil banget. Tadi bilang nggak mau, sekarang langsung oke. Aneh.
***
Rumahku gelap banget dari luar. Kayak di film-film horor, rumah kontrakan yang baru mau dipake. Orang yang nyewa rumah itu datengnya pas malem-malem, terus tiba-tiba pas lagi liat-liat suka ada sekelebat bayangan yang nggak jelas. Kadang putih kadang item malah kadang abu-abu. Itu salah satu hal yang bikin aku parno tinggal di rumah sendirian. Itu juga yang bikin aku nyesel kenapa dulu aku nonton film horor.
Aku langsung turun dari motor dan buka gerbang buat Aras terus nyari kunci di kantong. Buka pintu langsung nyalain lampu ruang depan, teras sama lampu samping. Nungguin Aras selesai sama urusannya sambil ngilangin keparnoanku sama rumah sendiri. Aku nggak berani masuk ke dalem sendiri, jadi nunggu Aras selesai markir motor itu pilihan yang bener-bener tepat.
“Kok nggak masuk?”
“Takut.” Aku nggak punya harga diri.
“Ya, udah. Cepetan masuk sekarang. Aku udah di sini.”
Aku buru-buru masuk dan nyalain semua lampu. Heran, ya. Kenapa Ayah tu suka banget nyuruh aku buat matiin lampu kalo mau pergi? Kan, kalo pas pulang malem gelap banget jadinya. Udah tau aku parno sama yang gituan, tetep aja nyuruh. Ayah tu emang nggak ngerti banget.
Belum ganti baju, ke dapur dan langsung bongkar belanjaan. Nggak baik kalo nanti-nanti, soalnya ntar seafoodnya keburu busuk. Dipisah-pisah. Mana yang pakenya sebentar lagi, mana yang pakenya masih nanti. Yang sekarang taruh di meja, yang nanti masukin kulkas.
Aku baru inget satu hal. Kalo Aras nginep sini, besok gimana dia sekolahnya? Terus ganti bajunya?
“Ras, kamu nggak bawa baju ganti?”
“Gampang. Mas Aris yang bawain.”
“Oh. Soal Mas Aris, yang aku tau Mas Aris itu udah di sini sejak pertama kali kuliah. Dia temen baik Mas Ardi. Kenapa kalian tinggalnya beda?”
“Dulu, lulus SMA Mas Aris pengen kuliah di sini. Terus aku disuruh nyusul Mas Aris kalo udah naik kelas dua belas dan suruh kuliah di sini juga.”
“Gitu, ya.”
Masak-masak akhirnya dimulai. Aku harus masak nasi dulu pertama. Buat bahan baku nasi goreng kesukaan Mas Aris. Aras yang aku suruh nyuci beras terus dimasak sama dia dia juga. Aku sibuk ngebersihin seafoodnya sama sayurnya. Apalagi kentang, paling susah deh ngupasnya. Oh, aku misahin mana yang buat sop dan mana yang buat nasi goreng. Tahap kedua aku manasin air buat bikin sop sama baksonya, satu lagi buat ngerebus kerang. Aku manasin tiga panci air jadinya.
Aras yang aku suruh buat nyuci kerang. Kerang ini bakal aku rebus pake dikit air terus dikasih bawang putih sama garam airnya. Kata Ibu, biar kerangnya itu gurih. Nah, ini nih. Bersihin gurita itu nggak gampang. Dia masih aja hidup meskipun kakinya udah dipotong semua. Sebelnya masak gurita tu gini. Nggak pa-pa, demi tamu.
Semua seafood udah selesai dibersihin dan dipotong. Sayuran juga udah nyemplung semua ke panci. Oh, soal udang galah, aku berubah rencana. Buat sopnya aku pake dua dan sisanya aku panggang. Pasti bakalan enak banget kalo dipanggang. Dan juga bakso-baksonya udah masuk ke panci bareng bumbu-bumbu yang Aras uleg tadi. Aras masih nyoba buat ngebantu aku. Padahal tangan kananku udah lumayan bisa dipake buat nguleg. Disuruh berhenti dia juga nggak mau. Alesannya gampang, sebagai tamu dia harus bantu tuan rumah.
Jujur, aku nggak nyaman dengan itu semua. Aku baik-baik aja, nggak ada yang harus dipermasalahkan soal tangaku. Udah lumayan sembuh dan ini nggak kayak aku lagi patah tulang serius. Kalo kayak gini, aku malah ngerasa lemah. Apa yang seharusnya aku bisa lakuin, Aras malah nganggepnya aku itu nggak bisa. Hal apapun itu. Aku juga jadi ngerasa bersalah kalo Aras terus-terusan gini. Toh, Aras juga udah minta maaf dan aku udah maafin dia juga. Dia nggak perlu terus-terusan ngerasa nggak enak gini sama aku. Apa ini semua karena pertanyaan di rumah sakit tadi? Mungkin.
Aku juga masih penasaran soal ekspresi dia kayak apa di rumah sakit tadi. Aku nggak bisa liat dengan jelas karena kacamatanya berkilat gitu. Padahal aku bisa baca ekspresi Aras cuma dari matanya. Soalnya, Aras itu nggak bisa bohong kalo aku liatin matanya. Kali ini aku nggak bisa nebak dia itu bohong apa nggak soal rasa nyesel dia. Aku berharapnya dia nggak nyesel, sih.
Kembali masak. Aku ngaduk-aduk bakso sama sopnya. Baunya bikin aku tambah laper. Entah gimana perutnya si Aras. Dia lagi nirisin rebusan seafood yang nanti bakal dipake buat masak nasi goreng. Masalah Aras bisa ngelakuin apa nggak, aku nggak peduli. Yang terpenting dia harus becus kalo cuma disuruh begitu doang.
Aku baru inget. Ini udah jam sepuluh. Aku kira nasinya udah mateng dari tadi.
“Ras, nasinya diliat dong. Udah mateng apa belum?”
Aras langsung ngecek dan buka tutupnya, pas itu juga asapnya langsung ngelibas mukanya. Seberapa panas asap itu, aku nggak tau. Pastinya itu panas banget, diliat dari ekspresi Aras yang nggak nguatin. Sebenernya, aku pengen ketawa. Tapi, aku tau kalo itu jahat banget.
“Ras, nggak pa-pa, kan?”
Aras langsung nutup alat buat masak nasi dan nutup muka. “Panas.”
Kali ini aku nggak bisa nahan ketawa lagi. ”Cuci muka sana.”
Jam sebelas kurang semuanya udah selesai. Aku seneng ngeliat makanan udah tertata rapi di atas meja makan. Aku sengaja nggak naruh minuman di meja makan karena aku nggak begitu tau seberapa banyak mereka—Aras dan Mas Aris—bakalan ngambil minum. Jadi, aku sediain gelas aja. Kalo mau ngambil minum bisa langsung buka kulkas dan ambil sebanyak mungkin.
Aku denger gerbang rumah di buka dan ada suara motor yang kedengeran kayak suara motor cowok yang tangki bensinnya di depan. Aku rasa itu motor Mas Aris. Secara, Mas Ardi itu motornya matic. Kalo gitu, berarti senjang banget antara Aras sama Mas Aris. Adeknya motor bebek, kakaknya motor cowok yang suaranya ganas gitu. Aku sama Mas Ardi juga senjang banget. Kakaknya punya motor, adeknya nggak punya. Tragis.
Begitu aku denger pintu dibuka, “Dek, Mas pulang.”
“Langsung ruang makan, Mas.”
Itu dia. Wah, ternyata Mas Ardi belum ganti baju sejak tadi pagi. Jorok. Dan di sana. Mas Aris. Tinggi menjulang tanpa kacamata dan pake kaos warna hijau. Beda banget sama Aras yang kayaknya sama-sekali nggak ngerti soal tren baju masa kini. Mas Aris itu kalo pake baju apa aja keren, pas, cocok. Aras? Cupu banget kalo pake baju tu. Apalagi pake kacamata. Tambah cupu lagi. Satu lagi bedanya mereka, Aras itu nggak terlalu banyak ngomong aku rasa. Cuma, kalo sekali ngomong bisa langsung tuntas. Dan selama aku kenal Mas Aris, dia itu orangnya bawel dan pasti menang kalo diajak debat. Pokoknya, Mas Aris sama Aras itu bedanya seratus delapan puluh derajat alias beda banget. Satu hal yang sama, mereka tinggi.
“Mas laper, kan? Ayo makan!”
“Iya. Ras, ayo dimakan.” Mas Ardi duduk di depanku.
“Jadi, aku nggak ditawarin?” Mas Aris nyela seenaknya terus duduk di depannya Aras. “Oh, Ras, bajumu, tasmu, sepatumu, sama buku-bukunya ada di kamarnya Ardi. Ntar kalo mau ambil, ambil aja langsung.”
“Mmm.”
Keliatan, kan? Di sini, aku dapet fakta kalo nggak selamanya kakak sama adek itu punya kepribadian yang mirip. Di sini, aku juga berpikir tentang ada-nggaknya yang salah sama kepribadian dari salah satu di antara Mas Aris sama Aras. Bisa aja Aras itu orangnya hebohan kayak Mas Aris. Tapi karena satu dan lain hal, Aras berubah jadi pendiem. Atau jangan-jangan, Mas Aris itu orangnya pendiem. Terus karena something wrong sama otaknya dia jadi hebohan gini. Cuma, kalo otaknya error, pasti nggak akan nyambung kalo diajak ngomong. Nah, ini nyambung terus.
Kami berempat makan malam sambil ngobrol-ngobrol nggak jelas. Aras jarang banget nanggepin kalo aku, Mas Ardi apa Mas Aris ngomong. Paling cuma ikut ketawa, lebih sering senyum doang. Dia lebih sibuk sama makan malemnya ketimbang ikut ngobrol bareng. Apa dia nggak bosen diem terus gitu? Kan, nggak seru. Tapi, tiba-tiba, pas aku lagi minum...
“Rin, itu minumku!”
Dengan suara lantang, Aras jujur sama aku. Kaget dan langsung batuk-batuk. Nyebelinnya, Mas Ardi sama Mas Aris cuma ketawa, nggak ngasih bantuan atau nepuk-nepuk punggungku. Ngebiarin aku sengsara sendirian, itu kejam. Emang, ya. Nasib seorang cewek di antara tiga cowok tu gini. Jadi pusat ledekan dan jadi bahan ejekan, kasian banget.
Aku buat perjanjian. Karena aku sama Aras udah masak, sekarang gantian Mas Ardi sama Mas Aris yang nyuci panci, wajan, mangkok, piring, gelas, dan sebagainya. Sedangkan Aras sama aku enak-enakan nonton tv—tanpa ngemil.
“Wah, kenyang banget.”
“Banget?”
“Sialan.”
Aras ndengus.
“Ras, kalo misalnya besok kamu keberatan bawa barang-barangmu ke sekolah, kamu bisa taruh di sini dulu. Besok pulang sekolah bisa diambil.”
“Rencanaku juga gitu.”
Ah, ternyata dia nggak sopan.
Satu masalah, kalo besok aku berangkat sekolah bareng dia, bakalan jadi berita besar dan anggota FPA tambah benci sama aku. Kemungkinan terburuknya, aku bakal dilaporin ke polisi dengan tuduhan perbuatan yang sangat tidak menyenangkan, masuk penjara terus nggak ikut UN, nggak bisa lulus dan nggak bisa masuk ITB. Hancurlah masa depanku cuma gara-gara gosip nggak penting yang nggak kebukti bener-salahnya.
Apapun itu, aku harus menghindarinya sebelum aku bener-bener nggak punya masa depan.
“Ras, kita besok nggak berangkat bareng, kan?”
“Kenapa?” Aras masih fokus sama tv.
“Enggak. Aku cuma nggak mau nimbulin masalah lagi aja.”
“Masalah apa? Nggak akan ada masalah.”
“Jelas...”
“Apa yang jelas? Kamu khawatir lagi? Aku udah berulang-kali bilang kamu nggak perlu khawatir.”
“Ya, tapi...”
“Udah lah. Nggak usah terlalu dipikir.”
Aras bener juga. Tapi tetep aja aku nggak tenang soal masa depanku.
***
Pagi ini, aku minta diturunin Aras jauh dari sekolah buat menghindari anggota FPA. Tapi Aras nolak dan malah nurunin aku di parkiran sekolah. Anggota FPA yang lagi pada berangkat ngeliatin aku sambil masang tampang nggak percaya dan mangap-mangap. Nggak tau apa yang mereka omongin satu sama lain. Aku nggak peduli. Aku tutup muka dan ngelewatin mereka gitu aja pake motornya Aras.
Sampe di parkiran, Aras malah ngelarang aku buat jalan duluan. Dia megangin aku sambil ngunci helmnya sama helmku. Nggak disangka, dia ngelepas jaket dan nelungkupin jaketnya ke kepalaku sambil ngelingkarin tangannya di leherku. Bayangan kalian kayak apa terserah, yang jelas malu-maluin.
“Aku nggak berpikir kalo mereka kenal sama kamu.” Aras langsung geret kepalaku kayak kambing. Aras sialan!
Selama jalan ke kelas, aku denger berbagai macam tanggapan. Ada yang tanya itu siapa terus di jawab kalo itu aku. Ada yang teriak histeris, ada yang ngomong kasar, ada yang ketawa dan lain sebagainya. Aku paling benci sama dia yang ketawa. Siapapun itu, aku pengen banget bilang kalo ini bukan lelucon yang pantes diketawain. Aku juga lagi nggak main teater komedi jadi jangan ketawa.
Entah Aras sekarang ekspresinya gimana aku nggak tau. Mungkin dia seneng karena udah bikin aku malu, mungkin dia seneng karena aku keliatan konyol karena kayak gini. Atau mungkin dia itu malu juga karena diketawain, malu karena dia berbuat hal yang konyol kayak gini. Aku nggak peduli, ah. Aku cuma peduli sama harga diriku dan namaku yang bakalan semakin buruk di mata mereka. Aras jahat banget, ya.
Aku rasa ini udah di kelas. Aras langsung jatuhin aku ke tempat duduk—bangku pojok belakang—dan ngebuka identitasku. Sebentar aku ngasih pandangan sebel ke Aras. Pengen banget aku bejek-bejek rambutnya, aku pukulin mukanya, terus aku patahin kacamatanya biar dia nggak bisa liat. Sebentar lagi, aku sadar Aras ngasih sinyal kalo anak-anak kelasku pada ngeliatin ke arahku sama Aras. Tatapan kali ini, itu lebih ganas. Mereka ngeliatnya kayak kami-bakalan-bener-bener-bikin-kamu-nggak-selamat-hari-ini. Aku takut kalo yang sekarang. Sumpah!
Aku langsung balik badan dan nutup mukaku di meja. Aku malu, takut, dan bingung tentang apa yang harus aku lakuin kalo mereka bakal bener-bener ngelaporin aku ke polisi. Nggak lucu banget kalo aku harus kehilangan masa depanku saat ini. Sekarang, aku pasti bakal jadi manusia terbuang di sekolah ini. Dibuang sama temen sendiri, dibuang sama anggota FPA. Aku jadi nggak punya temen. Sendirian.
Memang ada Aras. Tapi, nggak seru banget kalo tiap hari aku mainnya sama Aras. Pasti garing dan ngebosenin. Dan lagi, kalo aku main sama Aras terus, aku bakal tambah dibuang dan tambah tersingkirkan lagi. Apa iya aku harus jauh-jauh dari Aras sementara aku butuh perlindungan dari dia?
“Teeeettttt!!! Teeeetttt!!! Teeeeettt!!!” Bel masuk udah bunyi. Aku harus ke lapangan upacara artinya. Tapi, aku nggak boleh jalan lebih dulu dari anggota FPA. Aku bisa ditusuk dari belakang kalo gitu caranya.
Upacara sekarang berjalan kayak sebelum-sebelumnya. Ngomong-ngomong, ini upacara terakhir di semester satu. Maklum lah, minggu depan udah ujian akhir semester satu. Aku pengen di ujian nanti aku nggak keganggu sama semua pikiranku tentang FPA yang makin beringas atau FPA yang mau jatuhin aku. Aku pengen fokus soal ujian dan bisa bikin Ibu sama Ayah bangga sama hasil ujianku.
Aku sama Aras lebih milih buat baris dibarisan paling belakang. Terserah, badanku emang kecil dan aku nggak bisa liat depan. Tapi sekali lagi, aku nggak mau ditusuk dari belakang kayak yang tadi aku pikirin. Aku masih mau ujian.
Sehabis upacara, lagi-lagi aku sama Aras milih buat balik ke kelas paling akhir. Selain menghindari keruwetan lalu-lintas pasca-upacara aku juga nggak mau dengan sengaja didorong terus jatuh kayak hari pertama di kelas dua belas. Kalo itu terjadi aku pasti bakal jadi bahan tertawaan satu sekolah dan anggota FPA bakalan puas banget.
Di kelas, aku nggak tau apa yang udah terjadi. Anak cowok nggak pada masuk kelas, sedangkan yang cewek lagi pada forum—kayaknya. Apa mungkin mereka lagi nyusun strategi buat ngehancurin aku? Dengan cuek, Aras narik aku buat cepet-cepet duduk. Maksudnya apa ini?
“Ras, aku nggak mau.”
Tiba-tiba Aras berhenti tepat di depan forum anak-anak cewek dan nengok ke aku. Dia jalan ke arahku sambil ngeliatin aku dari balik kacamata cupunya. Terus dia senyum dan narik aku lagi ke tempat duduk. Mau apa dia? Mau aku celaka? Dia bukannya ngelindungin aku malah bikin aku makin terancam. Bukannya dia udah minta maaf karena malah dia yang jadi ancaman buat aku? lucu banget dia mau jadi ancaman buat aku. Apa dia udah mulai besekongkol sama FPA buat ngebunuh aku?
Anak-anak cewek langsung ngasih tatapan beringas itu lagi. Aku mulai nggak nyaman lagi sama situasi ini. Aku ngerasa kalo Aras itu udah keterlaluan.
“Ras, tentang apa ini semua?”
“Aku bilang aku nggak peduli. Jadi, aku cuek aja mau aku ngapain sama kamu. Iya, kan?”
“Tapi, nggak gini juga! Seenggakpedulinya kamu, kamu nggak harus gini.”
“Ada yang salah?”
“Ini keterlaluan, Ras. Aku nggak mau tambah dibenci mereka.”
“Nggak akan ada yang benci kamu.”
“Ras, biar aku jelasin, ya. Yang aku maksud kamu nggak peduli itu bukan nggak peduli macam tadi. Maksudnya tu kamu nggak perlu kabur atau sembunyi kalo ketemu mereka waktu kita lagi pergi berdua. Bukan ini. Aku nggak mau nambah musuh lagi, Ras. Aku nggak mau ngebuat anggota FPA yang awalnya nganggep aku bukan ancaman serius jadi nganggep aku serius. Mereka makin benci sama aku, Ras. Aku nggak nyaman.”
“Kamu terlalu khawatir.”
“Ras...”
“Santai aja. Ini nggak seburuk yang kamu pikirin.”
Aras udah nggak bisa dibilangin. Dia ini aneh atau emang idiot dan keras kepala jadi kalo dibilangin nggak ngerti?
“Aku capek, Ras. Aku ngerasa kalo aku itu masalah bagi semua orang. Aku tu nggak berguna. Aku bahkan nggak punya temen di sekolah. Semua orang benci aku, aku kayak sampah. Aku dibuang sama temenku sendiri. Kamu ngerti, kan, gimana rasanya jadi aku? Jadi orang yang paling dibenci. Sekalipun aku nggak peduli, sejak kejadian sehabis nonton itu, aku mikir lagi. Aku bikin kamu susah, aku bikin Lulu dan yang lainnya jadi benci sama aku, bahkan aku bikin orang tuaku susah juga dengan harus ngebiayain aku operasi. Kamu juga, demi ngebuat aku nggak ngerasa bersalah, kamu rela bohong sama aku soal apa yang kamu rasain.”
Aku butuh ngambil napas. Udah lama aku pengen ngungkapin ini semua. Rasanya jadi orang yang paling dibenci sama seluruh penjuru sekolah. Itu nyakitin.
“Denger, ya. Aku tu nggak pernah kayak gini sebelumnya. Dianggep sebagai musuh besar itu nggak enak, Ras. Aku yang awalnya seorang temen baik di mata mereka, tiba-tiba aku berubah seratus delapan puluh derajat jadi musuh yang harus disingkirkan. Aku nggak suka sama semua ini, Ras. Kamu harusnya ngerti kalo aku nggak harus begini. Kamu juga sebaiknya jujur tentang semua yang kamu pikirin. Aku jadi tambah bersalah sama kamu dan mereka.”
Aras Cuma diem. Nggak ada tanggapan selama beberapa detik.
“Aku seneng kamu ngejagain aku dengan baik. Aku seneng banget. Aku jadi ngerasa aman, tapi bukan kayak gini. Ini udah berlebihan, kamu juga udah ngeganggu zona nyamanku. Mulai sekarang, aku berharap kamu nggak ngulangi hal-hal macem ini lagi. aku juga berharap kalo kamu biasa aja ngejagainnya.”
Dan kita nggak bicara apa-apa lagi sampe pulang sekolah. Hari ini, Aras langsung ngeloyor pergi padahal aku belum ngasih dia makan siang. Jadi deh aku pulang dijemput sama Mas Ardi. Beberapa cewek ngeliatin aku waktu dijemput Mas Ardi. Aku nggak yakin kalo mereka nggak akan salah paham. Gosip sekecil apapun itu, pasti mereka bakal sebarin. Nyebelin.
Senengnya Mas Aras ngajakin makan siang dulu. Kebetulan aku juga lagi laper banget ini.
“Dek, kamu berantem, ya, sama Aras?”
“Kenapa, Mas?”
“Aneh aja kamu nggak pulang bareng dia. Padahal, tadi pagi berangkat bareng.”
Aku cuma senyum terus nyedot es jerukku.
“Oh, tadi waktu Mas lagi siap-siap buat jemput kamu, Aras dateng buat ambil barang-barangnya. Sempet ngobrol bentar tapi pas Mas tanya kenapa nggak bareng kamu dia nggak jawab. Kalian beneran berantem, ya?”
“Tau, Mas.” Aku nggak peduli.
“Kenapa, sih?”
Aku tarik napas. “Aku cuma nggak suka aja sama cara dia ngejagain aku. Terlalu berlebihan dan malah bikin aku terancam gara-gara dia, bukan anggota FPA. Aku juga nggak ngerti gimana cara dia berpikir soal dia peduli apa nggak sama semua perbuatan FPA.”
“Emang gimana?”
“Dia bilang sama aku kalo dia nggak peduli. Bukannya kalo nggak peduli dia nggak perlu ngajak aku sembunyi atau kabur kalo ketemu sama anggota FPA? Nah, ini. dia tu nyari alesan terus kalo ngajak aku sembunyi. Setelah aku bilangin, tadi dia malah bertindak yang bener-bener nggak peduli. Narik tanganku di depan anggota FPA. Aku sebel banget, Mas. Ini tu malah kayak dia sengaja jatuhin aku ke lubang buaya dengan sengaja.”
“Dia cuma khawatir, Dek.”
“Khawatir apa? Ini nggak keliatan kayak aku itu manusia yang tulangnya terbuat dari kaca jadi harus dijagain tiap waktu, kan? Aras tu over protective, Mas. Aku nggak suka.”
“Mungkin, semacam trauma. Entah.”
Trauma apa lagi coba? Kurang kerjaan banget nebak-nebak punya trauma segala.
***
“Ada titipan buat kamu. Nih!” Mas Ardi ngasih amplop tipis banget. Kayak nggak ada isinya.
“Apa ini, Mas?”
“Nggak tau. Dari Mas Aris. Buat kamu katanya.”
Mas Aris? Ngapain coba pake ngirim surat segala? Naksir sama aku, ya? Ngarang.
“Apaan, sih?”
“Buka aja, Dek.”
Pas aku buka dan aku baca isinya.
Ririn, aku bikin e-mail buat kamu. Kamu pernah bilang kalo kamu nggak punya, jadi aku bikinin. User-nya ririnmaulida@yahoo.co.id, password-nya ririnmaulida. Dipake sebaik-baiknya, ya:D Soal yang aku narik tanganmu, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud bikin kamu tambah dibenci. Maaf, Rin.
-Aras-
Apa-apaan ini? Dia minta maaf dengan bikinin e-mail? Lucu.
“Isinya apa?” Mas Ardi yang lagi sibuk nonton tv sambil ngemil ngagetin aku yang lagi sebel-sebelnya sama Aras.
Dari hari Senin, sejak Aras aku marahin, aku sama Aras jadi jarang banget ngomong. Kalo aku kasih Aras makan siang pun kita jarang ngomong. Kita cuma sibuk sama makanan masing-masing. Kalo udah selesai, aku yang bayar ditemenin Aras tanpa ada sepatah kata pun, terus kita pulang dengan kendaraan masing-masing. Aras naik motornya, aku naik bus.
Aku agak ngerasa aneh kalo gitu caranya. Suasanya anatar aku sama Aras emang lagi nggak begitu baik, tapi Aras nggak harus segitunya juga, kan?
“Woy! Ditanyain malah diem. Isinya apa?”
Sial. Mas Ardi bikin kaget. “Ini, Aras bikinin aku e-mail sekalian minta maaf. Aneh, ya?”
“Tuhan! Segitu prihatinnya kah dia sama kamu karena kamu nggak punya e-mail!?” Mas Ardi ngeledeknya nggak bener.
“Ya, bukan gitu juga, Mas. Tolong bukain dong, Mas.”
Mas Ardi ketawa nggak jelas saking puasnya aku dihina sama sepucuk surat kecil gini. Aras ini mau apa, sih? Kalo nggak nyusahin pasti bikin aku malu.
“Bentar. Mas ambil laptop dulu.” Sambil ketawa, Mas Ardi jalan ke kamar.
Nggak lama, Mas Ardi udah balik lagi sambil bawa laptop yang selalu dia posisikan standby.
“Sini liat.”
Aras! Liat aja besok! Aku bakal ngebejek-bejek dia!
***
Ujian akhir semester dah selesai. Aku sama Aras juga udah mulai membaik. Aku jadi suka buka e-mail bareng Aras. Ngobrolin tentang apa aja kalo lagi bosen. Ternyata, kalo di dunia maya Aras bakal berubah seratus delapan puluh derajat jadi orang yang suka ngomong sama lebih ekspresif. Beda banget sama kesehariannya.
Untungnya, tugas kuliah Mas Ardi udah selesai jadi aku bisa pake laptopnya sampe puas buat ngobrol sama Aras lewat e-mail. Selama aku punya e-mail, aku cuma punya satu temen doang—Aras. Maklum, baru belajar. Aku belum berani nambah banyak temen. Kalo jadiin Mas Ardi sebagai temen ngobrol di dunia maya, itu nggak akan berhasil. Secara, Mas Ardi udah sering banget aku ajak ngobrol di rumah. Dan kalo jadiin Mas Aris sebagai temen ngobrol, itu juga nggak berhasil. Mas Aris itu suka main ke rumahku dan kita juga lumayan sering ngobrol bertiga—aku, Mas Aris, sama Mas Ardi. Apalagi kalo jadiin temen-temen kelas jadi temen ngobrol di dunia nyata. Mereka bakalan tambah berani nge-bully aku. Nggak mau!
Hari ini nggak ada kegiatan apa-apa di sekolah. Aku jadi bisa santai di rumah. Ngobrol sama Aras lewat e-mail. Aku nggak sendiri, ada Ibu yang sekarang lagi nonton tv di ruang tamu depan. Mas Ardi juga ada di kamarnya. Hari ini dia nggak kuliah. Kata Aras, Mas Aris mau main ke rumah jam sebelas sambil ngerjain beberapa tugas kuliah—lagi. Maklum aja, mereka udah semester terakhir. Aku sekarang punya pertanyaan, kenapa Aras nggak ikut ke rumahku aja, ya? Aku sama Aras jadi nggak perlu ngobrol lewat e-mail yang aku masih belum ngerti sepenuhnya kayak gini.
Tapi, jangan! Ibu bakalan tanya yang macem-macem kalo caranya gitu. Aras bakalan capek sama pertanyaan-pertanyaan Ibu yang kadang-kadang ngawur dan nggak nyambung. Jangan pokoknya.
Tiba-tiba Aras ngirim sebuah kalimat yang nggak aku sangka.
Aku ikut ke rumahmu sama Mas Aris, ya?
Apa ini? Aku baru aja mikirin itu dan tiba-tiba dia ngomongin itu. Aku harus buru-buru ngelarang dia sebelum dia bener-bener capek sama Ibu. Tapi, tiba-tiba offline!? Apa coba!?
Ah, bener! Sms Aras! Tapi Aras itu nggak peka sama sms. Jarang dibales juga kalo sms. Apa telepon? Bener! Telepon!
Nggak diangkat coba!? Ini maunya apa!? Dan ini udah jam sebelas! Bentar lagi Mas Aris dateng. Ayo kita liat, Aras dateng apa nggak. Aku berharapnya nggak. Aku yakin banget kalo Ibu pasti bakalan godain aku terus tanya-tanya Aras yang macem-macem dan nggak masuk akal.
Jadi gini, dulu waktu kelas sebelas, aku punya temen deket cowok. Ceritanya, dia itu lagi pedekate sama aku. Terus dia pernah dateng ke rumahku sekali buat main. Waktu itu, Ibu lagi di rumah dan aku biasa aja karena aku nggak tau kalo Ibu bakalan tanya yang macem-macem. Aku sama tu cowok biasa aja pertamanya. Ngobrol-ngobrol di depan rumah sambil ngemil gitu. Tiba-tiba Ibu dateng dan nyuruh ngobrol di dalem. Terus kita mindahin minum sama camilannya ke dalem. Beberapa saat sehabis mindahin, Ibu dateng. Ibu ikut ngobrol coba!?
Awalnya biasa aja waktu Ibu ikut ngobrol. Aku malah seneng soalnya Ibu kayak setuju gitu jadi aku berpikir kalo hubunganku sama tu cowok makin lancar kayak di jalan tol. Dan setelah sepuluh menit bicara, Ibu makin nanya yang macem-macem. Nanyain nama orang tuanya, dulu sekolah di mana, makanan kesukaannya apa, pokoknya udah kayak calon mertua. Ibu juga malah cerita soal kehidupanku sebelumnya. Ibu juga malah ngebocorin rahasia gelapku yang emang bener-bener gelap: pernah dandan mirip badut ancol dan minta Ibu pamerin aku ke semua warga kampung naik becak. Itu waktu aku masih kecil, jadi aku nggak malu. Nah, ini aku udah gede. Aku punya harga diri sekarang.
Setelah selesai ngobrol, rencananya tu cowok mau ngajakin aku jalan-jalan sama nonton film. Tapi, tiba-tiba semuanya batal dengan alasan yang nggak jelas. Dia bilang kalo pembantunya pulang ke kampung halaman terus dia disuruh nyuci karpet sama beli beras di warung sebelah rumahnya. Apapun itu, aku tau kalo dia kapok dan nyoba buat ngehindari ketemu sama Ibu lagi. dan sejak itu, aku nggak pernah ada komunikasi sedikitpun sama dia. Nomernya ganti, dia pindah rumah, dan pindah sekolah. Separah itu, ya?
Maka dari itu, aku pengen Aras nggak punya nasib sama kayak tu cowok. Nggak lucu banget kalo Aras pindah sekolah padahal baru satu semester dia pindah sekolah. Juga nggak lucu kalo dia non-aktif-in e-mail-nya, ganti nomer, ganti identitas, pindah rumah dan jauh dari Mas Aris, cuci otak biar lupa sama semua pertanyaan Ibu. Ah, aku gila. Aku bakal mati kalo gini caranya.
Suara motor cowok—punya Mas Aris—udah kedengeran dari dalem kamarku. Mas Ardi yang kamarnya di sebelah kamarku kayaknya juga denger. Dia langsung buka pintu kamar dan lari ke luar. Aku cuma nunggu apa yang bakalan terjadi nanti pas Mas Ardi udah masuk lagi sambil bawa tamu. Apakah itu dua orang atau cuma Mas Aris yang dateng. Tuhan! Bantu aku ngelewatin situasi ini! aku bisa habis kalo Ibu bertingkah kayak dulu lagi. Apa yang harus aku lakukan? God, help me!
Sekarang, yang kedengeran cuma suara laki-laki yang berat. Aku sama sekali nggak denger ada suara Aras di sana. Oh, aku baru inget! Ibu lagi nonton tv di ruang depan dan itu dilewatin sama Mas Ardi. Aku harus gimana ini!? Apa jangan nggak kedengeran suara Aras karena Ibu nahan dia di ruang depan buat ditanya-tanyain? Nggak mungkin terjadi dan nggak boleh terjadi! Gimana!?
Oke, aku harus ambil tindakan! Aku harus narik Aras masuk ke kamarnya Mas Ardi dan nyelametin dia dari siksaan yang berkelanjutan. Harus!
Aku buru-buru buka pintu dan...
Brukk!!
Aku nabrak seseorang yang berhenti di depan pintu kamarku. Aku jatuh dan kepalaku kepentok tembok. Pas aku nengok ke atas, aku liat Aras lagi berdiri sambil nyoba buat ngebantu aku berdiri. Aku jadi inget sebuah kejadian yang malu-maluin waktu upacara hari pertama. Yap! Insiden tabrakan sama seorang cowok-berkacamata-bingkai-penuh alias Aras. Kejadian ini sama persis.
Aku langsung nyambut tangannya Aras buat berdiri. Sementara di sisi lain ada Mas Ardi sama Mas Aris yang lagi ketawa dengan puas karena ngeliat aku sengsara—lagi.
“Malu-maluin.” Aku ngomong sendiri sambil bersihin pantatku.
“Kamu nggak pa-pa, kan?”
“Nggak.”
“Makanya, Dek, kalo kamu buka pintu pelan-pelan. Jangan asal gitu. Kan, kalo nabrak orang malu-maluin.” Mas Ardi ngeledek lagi dan ketawa lagi terus masuk kamar bareng Mas Aris. Nyebelin banget mereka berdua.
“Ini yang kedua kalinya.” Aras tiba-tiba ngomong nggak jelas.
“Apa?”
“Bukan apa-apa.”
Kita diem selama beberapa detik di depan pintu. Sampai...
“Kamu mau minum apa? Tunggu di situ, ya.” Aku nunjuk ruang ke ruang keluarga yang persis di depan kamarku sama kamarnya Mas Ardi.
“Oke.”
“Ya, udah. Aku ambil minum dulu, ya.”
“Eh, nggak usah.” Aras narik tanganku sampe di telapak tangan.
Ada yang nggak beres. Sesuatu yang meluap-luap itu dateng lagi. Tapi, kali ini aku nggak pengen neriakin ke telinganya Aras. Aku malah lebih pengen buat ngebales pegangan tangannya Aras seerat mungkin dan nggak pengen ngelepas lagi. Cuma buat apa? Nggak ada gunanya.
Aku langsung liatin Aras dan berharap dia mau ngelepas tanganku. Begitu dia sadar, dia ngelepas tanganku sambil salah tingkah. Apa ini? aku lagi dalem situasi macem apa? Cupu-payah ini, ada apa sama dia?
“Maaf.”
Aku sama Aras langsung jalan ke ruang keluarga dan nyalain tv. Kita Cuma diem selama beberapa menit. Aku nggak nyaman sama situasi kayak gini. Aku nggak suka diem. Tapi, kalo mau ngomong kok nggak tau apa yang mau diomongin. Serba salah jadinya.
Oh, iya! Aku harus tanya kenapa Aras ke sini!
“Kamu ngapain ke sini?”
“Nggak suka?”
“Yah, gitu banget. Kan cuma tanya, Ras.”
“Kan tadi aku bilang aku mau ikut Mas Aris. Lagian kalo di rumah doang itu nggak seru. Apalagi sendirian, nggak ada temen. Aku juga bosen banget cuma ngobrol sama kamu. Itu aja ngobrolnya nggak langsung.”
“Nyebelin. Emang kamu nggak pernah ngobrol sama Mas Aris?”
“Jarang. Kita sama-sama cowok. Punya kesukaannya masing-masing dan itu beda, jadi kalo diajak ngobrol nggak nyambung satu sama lain. Mungkin kalo ngobrol Cuma sekadar tanya mau ke mana, pulang jam berapa, udah makan belum. Ngobrol panjang itu kalo kita lagi sama-sama liat bola. Kita debat soal tim yang kita jagoin. Aku pasti kalah kalo debat sama Mas Aris.”
Gila! Ternyata komunikasi antara Aras sama Mas Aris nggak begitu lancar. Pantes aja Mas Aris lebih suka dateng ke sini dibanding ngobrol sama adeknya sendiri. Ini tu beda banget kalo aku lagi ngobrol sama Mas Ardi. Kita bisa ngobrolin apa aja sekalipun itu nggak logis tapi tetep nyambung. Kalo soal debat, aku yang lebih sering menang ketimbang Mas Ardi.
“Tapi, pernah ada salah paham nggak antara kalian?”
“Ya, pasti pernah. Tapi, itu udah jadi kebiasaan. Jadi setiap ada masalah, kita nggak langsung nuduh macem-macem. Selain itu karena kita tinggalnya cuma berdua dan jauh dari orang tua, aku sama Mas Aris harus ngerti gimana percaya satu sama lain jadi nggak akan ada kesalahpahaman lagi. Cuma itu.”
Wah, ini keren! Aku mulai tertarik sama kisahnya Aras. “Terus?”
“Terus apa?”
“Terus kamu gimana rasanya cuma tinggal berdua sama Mas Aris?”
“Biasa aja. Cuma, waktu pertama pindah ke sini aku agak canggung. Udah dua tahun nggak ketemu Mas Aris tiba-tiba harus tinggal berdua selama setahun. Yah, tapi itu semua teratasi dengan baik kok pada akhirnya.”
Aku ngangguk-ngangguk.
“Oh, aku boleh liat-liat kamarmu nggak?”
“Jangan. Nggak sopan tau ada anak cowok masuk kamar cewek.”
“Yah, padahal pengen liat.” Aras agak kecewa.
Aku inget satu kotak di kamarku yang harus aku tunjukin ke Aras. Seenggaknya dia harus tau gimana kehidupanku juga. “Ras, tunggu bentar.”
Aku ngeloyor masuk kamar dan nyari-nyari kotak bersejarah itu. Aku simpen di lemari baju. Ukurannya nggak terlalu gede. Cuma sebesar kotak sepatu. Udah butut dan warnanya putih kusam. Tapi, aku punya banyak cerita berharga soal kotak itu.
Aku balik ke ruang keluarga dan duduk di samping Aras. “Ini. kotak ini tu spesial banget buat aku. Masa-masa putih-biru aku simpen semuanya di kotak ini.”
Aras ngebuka kotak itu dan dia ngeluarin slayer warna oren. “Ini apa?”
“Waktu aku kelas tujuh, angkatanku jalan-jalan ke Bali. Kita harus pake itu buat ngenalin satu sama lain dan biar nggak ilang. Sampe sekarang aku nggak bisa lupa sama semua ceritaku di Bali. Aku juga sering kangen masa-masa SMP.”
Ara ngeluarin kotak kecil. Kotak kado. Dia buka kotak itu. “Kalo ini?”
“Ini kotak kado dari temen-temenku waktu kelas delapan. Aku sama sekali nggak nyangka kalo aku bakal dikasih kado. Apa aku yang ggak peka? Pokoknya, waktu itu udah lewat lama dari hari ulang tahunku. Tapi, aku nggak bisa nggambarin gimana senengnya aku.”
“Ceritain!”
“Jadi, pulang sekolah aku langsung main ke kelas sebelah. Nah, tapi sama temenku dari kelas sebelah malah diajak buat masuk kelasku lagi. Saat itu keadaan kelas udah sepi. Aku nggak tau kok tiba-tiba mereka mau main di kelasku. Dan nggak lama, ada lagu selamat ulang tahun. Pas aku nengok, ternyata itu temenku yang nyanyi sambil bawa kotak ini. Isinya tu dompet yang sampe sekarang masih aku pake.”
“Yang ini?” Aras nunjukin gelang warna merah-cokelat sama hijau-pink-cokelat.
“Gelang itu punya arti meskipun cuma gelang. Gelang itu, kembar sama temenku yang dari kelas sebelah. Aku emang nggak pernah pake lagi. Tapi, dengan aku nyimpen itu, aku masih pengen nunjukin kalo aku itu nggak bisa ngelupain kenangan selama SMP. Kalo name tag, itu aku pake waktu pentas musik kelas sembilan. Lembar musiknya juga ada di dalem. Yang ditekuk itu.”
“Dan yang ini?” Aras ngeluarin tempat pensil warna emas-hitam benrbentuk sarung tinju.
“Itu kado ulang tahunku waktu aku kelas sembilan. Aku seneng banget waktu dikasih. Sama anak kelas malah dipake buat main tinju-tinjuan. Aku juga sering mainan pake itu, sih.”
“Wah, kayaknya seru banget, ya. Kalo jadi kamu, mungkin aku juga nggak bisa lupa sama yang udah terjadi.”
“Ya, begitulah.”
Aras balikin kotak itu ke aku dan diem. Kayaknya dia mikir sesuatu.
“Apa yang harus aku kasih ke kamu buat kamu masukin ke kotak itu?”
“Apa?”
“Kamu mau aku ngasih apa buat kenang-kenangan?”
“Apa, ya? Besok-besok aja kalo udah hampir lulus. Lagian kamu udah bikinin aku e-mail. Itu kenang-kenangan juga meskipun nggak dalam wujud yang nyata.”
Aras diem dan kembali fokus sama tv.
***
Hari pertama di semester dua dimulai sama upacara. Aku berharap aku nggak jatuh lagi pas habis upacara kayak dulu. Tiga bulan di semester dua dan aku harus ngadepin ujian nasional. Rasanya cepet banget. Padahal kayaknya baru kemarin jadi siswa baru yang cupu dan kudet yang hobinya disiksa sama kakak kelas. Tapi, sekarang, aku udah mau UN. Nggak nyangka.
Setelah UN aku akan bebas kemana-mana. Terserah mau di rumah, mau di luar negeri, nggak papa. Aku bakalan bebas! Wah, merdekanya!
“Ras, kita bakalan merdeka setelah UN! Hore!!”
Aras diem aja. Nggak ngasih tanggepan apapun dan mukanya nyebelin. Idiot.
“Ras, kamu kok nggak seneng?”
“Oh, seneng. Cuma, aku mikirin UN-nya kayak gimana.”
“Udah, bawa santai aja. Tapi jangan nyepele-in juga. Rileks aja.”
“Oke.”
Aku nggak sabar pengen cepet-cepet UN. Pengen bebas terus pengen ngobrol sama Aras lewat e-mail terus ngobrol-ngobrol sama Aras, masak banyak makanan buat Mas Ardi sama Mas Aris yang hampir skripsi, tapi sebelumnya belanja dulu di supermarket. Oh, nggak udah ke rumah sakit. Aku udah sembuh.
Satu hal yang aku senengin kalo aku udah nggak UN, aku bakal dengan bebas ngehindari anggota FPA yang nyebelinnya makin nggak karuan. Ah, senangnya!
Tunggu! Tapi, hari terakhir UN-kan hari terakhirnya Aras jadi bodyguard-ku. Wah, nggak bener ini. Cuma, Aras kan bisa jadi temenku. Bukan bodyguard yang selalu ngejagain aku dengan perlindungan kelas kakap. Itu lebih menyenangkan.
***
“Ras, udah siap buat besok Senin?”
Di telepon, Aras kedengeran ngambil napas. “Nggak tau, Rin. Kamu gimana?”
“Lumayan. Aku cuma butuh belajar dan tenang.”
“Kamu mau belajar?”
“Rencananya gitu. Kenapa? Mau belajar bareng?”
“Nggak kok. Aku tutup teleponnya, ya? Aku nggak mau ganggu kamu belajar buat UN. Sampai jumpa Senin.”
Langsung putus. Aku heran sama apa yang udah terjadi sama Aras belakangan ini. Akhir-akhir ini dia lebih jarang ngomong. Kalo aku ajak ketawa dia cuma senyum. Nggak pernah ketawa lagi. aku takut sesuatu yang buruk terjadi sama dia dan dia jadi pemurung gitu. Kalo aku tanyain dia kenapa, dia pasti jawab nggak pa-pa atau aku nggak perlu khawatir. Aku takut banget kalo Aras terlalu mikirin sesuatu sampe bikin dia nggak fokus sama UN yang tinggal besok.
Pernah aku tanya Mas Aris, tapi Mas Aris bilang kalo Aras baik-baik aja. Di rumah dia kayak biasanya, jarang ngomong dan kalo ada pertandingan bola dia debat sama Mas Aris. Nggak ada yang terjadi sama Aras. Tapi aku nggak puas sama jawaban itu. Sekalipun aku ngecek gimana Aras, aku tetep nggak bisa nemuin masalah yang terjadi sama Aras sampe bikin dia kayak gitu. Dia juga jadi nggak mau terbuka sama aku belakangan ini. Aras kenapa?
Oh, di telepon tadi, Aras juga kedengeran lemes dan nggak semangat aku tambah khawatir. Aku takut kalo besok Aras nggak konsen ngerjain UN.
Ah! Kok aku jadi mikir yang nggak-nggak gini? Aras pasti bisa! aku yakin!
***
Soal UN hari ini udah bisa aku lalui dengan baik. Aku masih penasaran gimana Aras. Apa dia bisa? Hari ini dia keliatan lebih nggak bersemangat dari kemaren. Aku bener-bener khawatir soal dia sekarang. Waktu aku datengin dan ajak makan siang juga dia nggak banyak bicara. Ya, emang Aras tu nggak banyak bicara, bedanya sekarang tu dia lebih suka ngelamun jadi aku lebih sering ngomong buat nyadarin dia. Dia juga jarang ngasih tanggepan waktu aku tanya. Mungkin cuma senyum atau ngangguk-angguk. Ini sama persis kayak waktu kita marahan beberapa bulan lalu.
Jangan-jangan, aku bikin kesalahan lagi jadi dia marah sama aku? Mungkin aku bikin tu kesalahan secara nggak sengaja jadi aku nggak sadar. Tapi apa? Aku nggak bisa nebak. Nginget semuanya yang aku lakuin bareng Aras, kayaknya nggak ada yang salah deh. Apa coba? Aku nggak bisa nemu kesalahanku itu. Apa sebaiknya aku tanya Aras aja? Bener! Tanya Aras!
“Halo!” suaranya Aras kedengeran males banget.
“Halo, Ras. Ini Ririn.”
“Oh, ada apa?”
“Aku mau tanya. Ini soal kamu. Aku perhatiin, kamu makin berubah akhir-akhir ini. Ada apa sebenernya sama kamu?”
“Aku udah bilang aku nggak pa-pa. Aku nggak berubah dan aku masih kayak dulu. Ada yang aneh?”
Jelas-jelas ada yang aneh masih tanya. Apa coba? “Ada. Banyak banget.”
“Apa aja?”
“Pertama, kamu tu jadi jarang banget ketawa kalo aku bikin lelucon. Terus kamu jadi lebih sering ngelamun ketimbang nanggepin omonganku. Kamu jadi lebih diem lagi dan tambah nggak banyak omong. Kamu jadi tertutup dan susah banget kalo diajak sharing. Kamu lebih keliatan nggak bersemangat kalo lagi jagain aku. Terakhir, kamu susah banget kalo disuruh fokus. Aku sebenernya bingung. Di sini tu kamu begitu karena kamu emang berubah apa karena aku ngelakuin kesalahan. Kamu jujur, deh?”
“Ririn, biar aku jelasin. Di sini aku nggak bisa nyalahin siapapun. Aku juga bingung kenapa aku jadi kayak gini. Mungkin karena suasana hatiku lagi buruk atau semacamnya aku nggak tau. Tapi, kamu nggak usah khawatir. Ada Mas Aris yang ngawasin aku dari deket.”
Itu nggak bisa muasin apa yang pengen aku tau. Okelah, dia ngomong kayak gitu. Aku cuma nggak yakin aja dia itu jujur apa nggak. Aku nggak bisa nebak kalo cuma lewat telepon. Tapi, nggak bisa nyalahin siapapun, maksudnya apa?
“Tunggu. Kamu nggak bisa nyalahin siapapun. Maksudnya apa? Berarti aku punya salah gitu?”
“Enggak. Bukan kayak gitu maksudnya. Kamu nggak akan ngerti sekalipun aku jelasin.”
Susah, ya, kalo gini situasinya. Aku dapet ide. Buat ngilangin suasana hari Aras yang buruk, hari terakhir UN aku bakal ngajak dia main sampe malem sekalian ngerayain kebebasannya karena udah selesai jadi bodyguard-ku.
“Ras, aku punya semacam ide atau usul yang wajib kamu terima dan nggak boleh nolak. Hari terakhir UN, kita main sampe malem. Aku pengen ngilangin suasana hatimu yang buruk sambil ngerayain kebebasanmu dari tugas sebagai bodyguard-ku. Pulang sekolah, kamu harus langsung ke parkiran bareng aku. Jangan lupa isi bensin sampe penuh. Awas kalo nggak! Aku tutup teleponnya. Jumpa besok!”
Aku harus langsung nutup tu telepon biar Aras nggak nolak dengan alesan yang macem-macem dan nggak masuk akal lagi kayak waktu pertama kali aku ajak nonton.
Soal nonton, aku inget sesuatu. Tiketnya. Aku pengen nyimpen tu tiket buat kenang-kenangan dari Aras. Yah, semacam nonton bareng Aras pertama kali. Mungkin, itu juga bakal jadi saksi sejarah gimana semangatnya aku sama Aras buat kabur dari Rara. Mungkin juga, itu bisa jadi saksi gimana Aras ngerusak tanganku.
Sekarang, aku harus belajar. Masih ada beberapa hari lagi tersisa buat ngejalanin UN. Fighting!
***
Oke, the last day! Seneng banget udah hari terakhir. Hari ini rencanaku nggak boleh gagal buat ngajak Aras jalan-jalan dan ngerayain kebebasannya.
Selesai UN, aku langsung narik Aras ke parkiran. Masa bodoh sama semua FPA yang nggak suka. Kali ini aku mau bener-bener ngelepas semua beban pikiranku sama mereka. Mau refreshing dan nggak ada satupun anggota FPA yang boleh ganggu.
Tujuan pertama ke bioskop. Aku nggak tau mau nonton apa. Aku serahin semuanya sama Aras tapi aku yang bayarin. Lagi banyak duit tu gini. Makanan juga aku yang bayarin. Di bioskop, aku nggak ketemu sama anggota FPA kayak dulu. Mereka bakal bener-bener nyusahin kalo ngejar-ngejar aku kayak dulu. Juga, aku nggak mau lagi tanganku remuk karena harus kabur dari mereka terus nggak punya harga diri karena sambil ngos-ngosan masuk ke minimarket terus minta minum dan setelah minumnya habis baru bayar. Itu nggak akan terulang lagi.
Tujuan kedua ke mall. Aku pengen beliin Aras baju yang agak keren biar dia nggak keliatan cupu lagi. aku juga mau sekalian beli baju buat ganti karena nggak enak kalo pake seragam tapi keluyuran. Nanti dikira bolos. Tapi, bukannya kalo UN gini nggak ada anak kelas sepuluh sama sebelas yang masuk, ya? Bodo amat. Aku mau ganti baju pokoknya.
Mikirin yang satu ini, aku nggak tau harus milihin Aras baju kayak apa. Aku nggak mungkin biarin Aras milih sendiri karena aku takut dia bakalan milih baju yang cupu lagi. akhirnya, aku milih kardigan cowok warna abu-abu sama kaos warna putih biar pas, sama celana jeans yang bener-bener bikin aku jatuh cinta.
Awalnya, aku mikir kalo sebaiknya Aras yang milihin baju buat aku. ternyata setelah Aras milih, modelnya cupu banget, kayak seleranya. Tapi, aku tolak dan aku milih sendiri. Aku dapet kemeja kotak-kotak warna hijau yang modelnya kayak buat cowok terus sama rok warna abu-abu. Aku pikir, baju sama rok yang aku pilih bakal cocok. Beruntungnya, waktu aku sama Aras beli, itu lagi ada diskon gede-gedean. Nggak lupa, Aras sama aku ganti baju di mall itu sambil makan siang.
Tujuan ketiga ke taman rekreasi yang buka dari jam sepuluh pagi sampe tengah malem. Aku yakin bakal jadi hal yang menyenangkan kalo aku ngajak Aras main segala macem permainan anak-anak yang ada di sana. Aku cuma pengen bikin suasanan hati Aras membaik setelah semua tekanan yang udah terjadi sama dia. Bukannya selama ini dia udah bekerja keras buat ngelindungi aku dari anggota FPA? Aku rasa, makan siang bukan imbalan yang cukup.
Habis beli tiket masuk, aku sama Aras pake gelang yang wajib dipake sebagai tanda kalo udah bayar. Lucu banget liat Aras pake gelang itu. Jadi inget sama masa-masa dulu waktu masih bayi. Pake gelang yang ada nama kita sama nama orang tua kita.
Permainan pertama yang bakal aku datengin sama Aras yaitu komedi putar! Aku udah lama banget nggak naik ini permainan. Sekitar sepuluh tahun lalu. Aras agak malu waktu aku ajak naik komedi putar. Dia ogah-ogahan dan sempet nggak mau naik karena jaga image. Image apa coba yang harus dia jaga? Dia harusnya ngebenerin jadi yang lebih baik. Apa dia nggak nyadar kalo dia itu punya image yang cupu? Aneh.
Permainan kedua haunted house! Aku bener-bener takut sumpah. Tapi cupu-payah ini, nggak sama sekali. Dengan cuek dia narik aku buat masuk ke dalem tu rumah hantu dan dengan cuek juga dia jalan dan nggak merhatiin aku yang nahan pipis saking takutnya. Dia, kan, tau kalo aku paling parno sama hantu. Kenapa dia ngajak aku ke sini coba!? Mau bikin aku mati!?
“Eh, gila! Aku nggak mau, ya, kamu ajak ke situ lagi!”
“Aku pengen banget ketawa. Liat kamu yang nyaris nangis di dalem tu lucu. Sayangnya aku masih belum punya suasana hati yang baik.”
Ha!? Masih belum!? Terus tadi, dengan nyiksa aku, dia nggak puas!? Oke. Liat aja!
“Ras, naik roller coaster, yuk?”
“Roller coaster!?”
“Udah, ah. Ayo ikut!”
Dendamku terbalaskan! Aras teriak-teriak nggak karuan selama naik roller coaster dan setelahnya, dia lemes banget. Cupu-payah yang ini, ternyata punya ketakutan yang berlebihan sama permainan kayak gini. Oke, aku bakal bikin dia mabuk sampe nggak bisa tidur tujuh hari tujuh malem sekalipun dia udah dateng dari dukun ilmu hitam sampe dukun beranak. Aku nggak akan ngebiarin Aras main dengan tenang karena Aras udah bikin aku masuk ke haunted house.
Permainan setelahnya itu naik Tornado ukuran mini yang muat buat sepuluh orang aja. Aku nggak boleh naik sama petugasnya karena aku pake rok. Jadi, yang naik cuma Aras. Demi Tuhan, Aras kayaknya bener-bener takut sama permainan kayak gini! Diliat dari ekspesinya sebelum dapet giliran naik, aku bisa tau kalo dia pengen buang air besar dan muntah-muntah. Aku bahagia banget liat Aras tersiksa gitu. Dan setelah naik ini, aku bakal ngajak dia ke teater empat dimensi dan nyari fil yang bikin dia tambah pengen buang air besar, kalo perlu sampe bikin dia diare tujuh turunan.
“Empat dimensi? Kayaknya seru. Ayo!”
Cupu-payah ini lagi lengah. Dia nggak tau kalo aku bakal nyiksa dia lewat empat dimensi. Ini peringatan buat kamu, Ras!
Kursi ini goyang terus nggak karuan. Aras teriak-teriak nggak jelas lagi. Aku rasa ini udah cukup buat bikin dia diare dan nggak bisa tidur. Setelah ini, rasanya aku pengen beli minum karena haus karena teriak-teriak terus dari tadi. Aduh, aku juga kena.
“Gila! Aku nggak mau main ke sini lagi. Bisa keluar semua isi perutku.” Aras udah ceria lagi. Tapi, menurutku masih ada sesuatu yang ngganjel yang bikin dia nggak sepenuhnya ceria. Aku tau dari matanya.
“Ya, maaf. Habisnya kamu pake ngajakin aku masuk ke rumah hantu. Nyebelin!”
“Nggak harus tiga juga, kan, balas dendamnya?”
Aku cuma bisa meringis sambil liat ekspresi Aras. Dia emang belum ceria sepenuhnya. Ah, aku lupa sama rencanaku mau beli minum.
“Ras, mau beli minum?”
“Boleh.”
Aku sama Aras jalan ke sebuah kedai minuman yang nggak jauh dari teater empat dimensi. Aku pesen jus apel dan Aras pesen es jeruk. Bener-bener senjang. Aku kayak orang kaya yang punya perusahaan berlian di mana-mana sedangkan Aras jadi supir yang tiap hari kerjanya cuma nganter aku buat bolak-balik dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lainnya. Tragis banget nasibnya Aras. Maaf, Ras.
Oh, iya. Ini tanggal berapa, sih? Kalo ini tanggal dua puluh satu berarti besok aku ulang tahun. Aras tau nggak, ya?
“Ras, ini tanggal dua-satu bukan?” Aku nyoba buat mancing Aras.
“Iya. Kenapa?”
Cupu-payah ini nggak tau jadi? Apa aku belum pernah bilang kalo aku ulang taun tanggal dua puluh dua? Kayaknya udah pernah. Lagipula, kalo Aras nggak tau ulang taunku kapan, nggak mungkin dia bisa bikinin aku e-mail. Tapi, masa dia nggak nyadar kalo aku nyoba buat bikin dia inget kalo aku besok ulang taun?
“Kamu nggak inget besok ada apa?”
“Apa, ya? Aku nggak jadi bodyguard-mu lagi mungkin.”
“Araaas! Besok aku ulang taun!”
“Oh, iya? Aku lupa. Terus kamu mau aku beliin apa?” Nadanya datar. Nyebelin. Nggak bersikap excited atau ikut seneng gitu.
Tapi nggak pa-pa. Dia bilang lupa, berarti dia pernah tau sebelumnya.
Aku langsung liat sekitar buat nyari sesuatu yang aku pengen Aras beli buat aku. tapi aku nggak liat ada sesuatu yang menarik yang aku pengen Aras beliin buat aku. Kalo boneka aku nggak suka. Ya, suka. Tapi, udah terlalu banyak boneka di kamarku. Jadi aku bosen. Liat, liat, liat, dan aku nemu sesuatu yang oke banget. Photobox!
Aku pengen banget foto sebanyak-banyaknya dengan berbagai gaya. Mulai dari yang kalem sampe yang bikin Ibu muak dan ngusir aku dari rumah atu malah nggak nganggep aku sebagai anaknya lagi. Tapi, itu semua harus Aras yang bayar.
“Aku tau! Ayo kita foto-foto sebanyak mungkin. Kamu yang bayar! Di sana!” Aku nunjuk sebuah kotak kecil yang macem-macem gambarnya. Itu photobox.
“Itu?”
“Iya!” Aku nganggung-angguk penuh semangat.
“Kalo itu, gimana, ya? Aku bukan tipe orang yang suka di foto, Rin.”
Hopeless! Aras nggak mau artinya?
“Artinya, kamu nggak mau?” Aku pasang muka sedih. Biar sewaktu-waktu Aras berubah pikiran dan berubah jadi orang yang super-narsis.
“Mmm, karena kamu ulang taun, aku bakal berubah jadi orang yang narsis. Tapi, kali ini aja!”
“Oke! Ayo!” Aku narik Aras sambil lari.
Aku yang mutusin berapa foto yang bakalan diambil. Dan pada akhirnya, aku minta dua puluh dua lembar—sesuai tanggal ulang taunku. Oh, aku juga minta sama petugasnya buat cetak fotonya dua kali lipat buat aku sama Aras.
Selama hampir dua puluh menit aku sama Aras foto-foto nggak jelas. Pas udah selesai, aku sama Aras liat foto-foto yang udah jadi. Sumpah! Aku ketawa terus sama Aras waktu liat-liat foto itu. Mau tau kayak apa?
Ada satu foto yang kalem banget. Aku sama Aras cuma senyum dan difoto kayak anak SD mau ambil foto buat ijazah mereka. Itu foto pertama kita. Dimulai dari hal yang paling sederhana. Ada satu foto lagi yang tangan Aras ngelingkarin leherku. Mau sok akrab tapi itu seru. Satu foto dengan pose kita yang sama. Satu foto yang nunjukin kalo Aras berlagak jadi kakak cowokku. Satu foto yang paling aku benci. Yap! Muka jelek. Mukaku jelek banget. Aras juga tambah cupu di foto itu.
Satu foto yang aku paling suka. Aras sama aku bikin angka dua pake tangan kami masing-masing. Kalo digabungin, itu jadi angka dua puluh dua—tanggal lahirku. Satu foto lagi yang aku paling suka, Aras lagi ngacak-acak rambutku dan itu lucu. Ternyata, Aras keliatan lebih keren kalo pake kardigan abu-abu itu. Tapi, aku makin keliatan kayak anak kecil kalo pake baju sama rok ini. Kasiannya aku.
“Wah, makasih ,ya, Ras.” Aku ngasih senyum termanisku.
“Iya. Disimpen baik-baik, ya.”
“Siap!”
“Pinter! Makan, yuk? Terus aku anter kamu pulang. Udah malem.”
“Oke. Eh, kenapa kamu nggak makan di rumahku? Ibu...”
“Nggak usah. Aku nggak enak.”
“Oh.”
Aku, kan, belum selesai ngomong. Aras udah main potong-potong aja.
Kita makan di pinggir jalan di deket taman rekreasi tadi. Kata Aras, makanan di warung ini tu enak banget. Aku kayaknya belum pernah nyoba. Tapi, dari baunya kayaknya emang enak. Mari dicoba! Aku pesen burung puyuh bakar sama terong goreng, Aras pesen pecel lele sama tempe goreng. Setelah pesenannya dateng, aku ngerasain sesuatu bergejolak. Perutku. Aku laper.
“Ras, mau?” Aku nawarin terong goreng.
Aras ambil satu tanpa ngomong ‘boleh’ atau ‘makasih’ kayak biasanya. Ini perasaanku aja atau emang Aras bener-bener berubah dalam waktu sekejap? Tadi waktu habis dari taman dia masih oke-oke aja. Sekarang dia langsung nyeremin gini. Apa mungkin karena lagi makan jadi dia nggak ngomong? Tapi, waktu di rumahku dia masih sempet ngomong walaupun cuma sepatah dua patah kata. Cupu-payah ini punya dua kepribadian, ya?
Aku sama Aras makan sambil diem-dieman. Aku nggak suka kalo aku nggak punya temen ngobrol gini. Ini bikin aku nggak nyaman. Serius, deh.
“Eh, kamu nggak pa-pa, kan?”
“Kenapa?”
“Aneh aja. Tadi kamu keliatan seneng banget, tiba-tiba berubah drasti jadi nyeremin gini. Kamu bukan orang yang berkepribadian ganda, kan?”
“Nggak. Tenang aja.”
“Oke.”
Di jalan, kita juga cuma diem-dieman. Aku nggak berani ngajak Aras ngomong. Aku taku kalo tiba-tiba dia marah terus nurunin aku di jalan. Jelas-jelas aku nggak berani kalo disuruh pulang sendiri malem-malem gini, jalan pula. Ntar kalo aku dirampok gimana? Aku masih butuh uang-uang itu buat beli keperluan buat kuliah nanti.
Sampe di rumah, keadaan udah sepi. Maklum aja, ini udah jam sembilan malem. Tetangga pasti udah pada tidur nyenyak bersama bantal-bantal mereka yang empuk dan wangi. Nggak kayak bantalku yang apek dan nggak enak buat dipeluk. Bukan bantal yang penting sekarang.
“Buat hari ini, makasih. Besok aku traktir kamu makan, ya.”
Aras cuma senyum. Itu senyum kecut.
“Aku masuk dulu. Jumpa besok.”
Aku jalan dan baru satu langkah tiba-tiba tanganku ditarik. Aku langsung ngerasa kalo aku dipeluk, sama Aras. beberapa detik aku nyadar kalo pelukan ini nyaman. Sesuatu yang meluap-luap itu sekarang udah meledak jadi rasa yang aku nggak kenal. Aku cuma tau kalo aku nggak pengen ngelepas pelukan ini. Aku bener-bener bahagia.
Jujur, aku belum pernah ngerasain kayak gini. Dipeluk udah pernah tapi sama Ayah, Ibu, sama Mas Ardi dan rasanya nggak gini. Biasa aja dan nggak ada sesuatu yang meluap-luap macam ini. Beda dan aku lebih nyaman sama yang sekarang. Aku nggak tau pelukan ini buat apa, tapi aku belum mau ngelepas ini semua.
“Untuk yang hari ini, aku juga mau bilang makasih. Untuk besok, selamat ulang taun, Ririn.”
Aku bisa denger detak jantung Aras yang nggak karuan sekarang. Dia juga ngerasain sesuatu yang meluap-luap itu juga. Bedanya, aku nggak tau sesuatu itu udah meledak apa belum.
Aras pelan-pelan ngelepas aku dari pelukannya dia. Aku nggak mau. Aku masih mau ngerasain kenyamanan kayak tadi. Aku masih mau ngerasain detak jantung Aras. tapi, nggak wajar rasanya kalo aku bilang ke Aras buat nggak ngelepas.
Aras senyum. “Selamat malam. Mimpi indah.” Dan dia cium jidatku!!
Apa ini? Aku nggak bisa gerak dan rasanya kaku. Aku cuma bisa ngerasain kalo aku itu senyum dan nelen ludah beberapa kali. Ada yang berontak dan pengen bilang ke Aras buat jangan pergi dulu. Tuhan! Ini bukan mimpi, kan? Kalo ini mimpi, jangan bangunin aku dulu! Aku belum mau bangun! Aku masih mau ngerasain kebahagiaan ini! aku masih belum mau banguuuun!
“Aku pulang dulu.”
Dan motor Aras berlalu.
***
Ini hari ulang taunku!
Seneng deh udah tambah umur jadi delapan belas. Makin tua tapi nggak gede-gede badannya.
Orang yang pertama ngucapin tu Mas Ardi. Belum ada jam empat pagi, Mas Ardi udah langsung buka pintu kamar dan bangunin aku kayak orang gila. Ibu sama Ayah lagi lagi tidur di lantai atas langsung geger denger Mas Ardi teriak-teriak nggak jelas. Aku aja kaget. Aku kira ada kebakaran pertamanya, ternyata cuma mau ngucapin selamat ulang taun doang. Tapi, makasih.
Orang kedua dan ketiga yang ngucapin, ya, Ibu sama Ayah. Kayak biasanya, aku cipika-cipiki dan didoain yang amat banyak. Aku bilang amin dan setelah selesai, aku ngecek hp.
Nggak ada sms dari Aras. Adanya dari Mas Aris yang sampe jam empat lebih dua belas.
Aku jalan ke gerbang sekolah dengan tas dan sepatu yang lama. Kata Ibu, aku udah kelas dua belas jadi sayang kalo beli sepatu atau tas baru. Dua hal yang baru, kelas baru dan buku baru. Hore!! Dengan bangga aku jalan ke kelas yang ada di dekat ujung koridor. Kayaknya aku bakalan dapet tempat duduk paling belakang karena kalo tahun ajaran baru gini pasti pada berangkat pagi.
Bener kan. Kelas udah penuh dan tinggal bangku pojok belakang yang kosong. Memang belum beruntung di hari pertama masuk sekolah. Satu lagi yang bikin tambah dongkol, aku dicuekin! Temen-temenku pada sibuk sama temen sebangkunya. Ada yang cerita tentang liburan, pamer punya pacar baru waktu liburan, dan lain sebagainya. Tambah sebel lagi, aku baru sadar kalo siswa di kelas ini ganjil. Tiga puluh sembilan orang. Pasti aku duduk sendirian. Bah!
“Teettt!! Teeeettt!! Teeettt!!” Bel sekolah yang nyempreng—yang aku kangenin juga—itu berbunyi nggak beraturan. Artinya, upacara di hari pertama di kelas dua belas dimulai. Senengnya. Aku ‘nggak sabar’ buat dengerin amanat dari pembina upacara. Penasaran juga siapa yang nanti jadi pembinanya.
Setelah naruh tas di meja dan ngambil topi, aku langsung lari ngikutin yang lain ke lapangan upacara. Upacara kali ini berjalan lambat—atau hanya perasaanku aja. Seperti upacara sebelum-sebelumnya, dimulai dengan MC membacakan pembuka upacara dilanjut pemimpin pleton menyiapkan pletonnya masing-masing. Sejak awal, aku selalu pengen jadi MC. Tapi, karena aku nggak bisa bikin suaraku jadi bulat, aku nggak pernah berani kalo disuruh jadi MC. Sedangkan beberapa temenku lainnya milih buat jadi pengibar bendera dan sebagian besarnya udah pernah.
Kembali ke upacara, aku dapet barisan paling belakang—lagi. Dari belakang, aku bisa liat adik kelas pada berseragam cupu banget pake topi kerucut yang dihias sana-sini. Kaos kaki yang lain antara kaki satu dan kaki lainnya bikin penampilan mereka tambah nggak karuan. Gila, Runi—ketua OSIS—emang pinter banget bikin siswa baru di sekolah ini nyesel sekolah di SMA ini dan ngerasa kalo martabat yang mereka punya serasa dihancurkan. Satu yang jadi pertanyaan, apa mereka nggak dongkol disuruh dandan menyerupai badut gitu? Perasaan waktu MOS angkatanku nggak gini-gini banget.
“Hormat!! Gerak!!” Teriakan pemimpin upacara bikin acara memperhatikan-penampilan-adik-kelas-ku bubar. Lagu Indonesia Raya berkumandang dengan lantang mendampingi Sang Saka berkibar dengan megahnya. Semua siswa hormat dalam khidmatnya upacara pagi ini.
Sejam berlalu, upacara selesai. Keringet, panas, capek jadi satu. Aku kayak orang ilang di lapangan upacara. Aku sampe nggak tau jalan ke kelas saking ributnya keadaan lapangan upacara. Dan...
Brukk!!
Aku jatuh karena nabrak—atau ketabrak—seseorang. Malu banget. Bangetnya dua kali. Mana aku juga nabrak satu orang lagi di belakangku. Untungnya nggak bikin domino manusia.
“Maaf!” Cowok-berkacamata-bingkai-penuh yang tadi nabrak aku ngulurin tangan buat ngebantu aku berdiri.
Aku cuma diem dan nyoba bangun sendiri. Sekali lagi, malu! Aku langsung lari ke kelas sambil nutupin mukaku tanpa memerdulikan cowok-berkacamata-bingkai-penuh tadi. Entah kenapa saat-saat nggak pas gini aku baru bisa inget jalan ke kelas. Jangan sampe ketemu dia lagi. Jangan pokoknya.
Sampe di kelas terakhir, nggak dapet jalan ke tempat duduk karena jalan udah penuh sama anak-anak kelas yang nggak tau pada sibuk ngapain. Aku capek dan pengen minum juga pengen ngelap keringet pake tisu basah biar seger.
“Permisi! Permisi! Permisi!” Aku mencoba buat mencari celah di antara barisan padat manusia di jalanku. Beruntung aku punya badan kecil jadi bisa nyelip-nyelip di antara tubuh-tubuh mereka yang besar.
Tapi, di mejaku—bangku sampingku—ada satu tas yang aku nggak kenal. Tas laki-laki yang jelas. Setauku aku duduk sendiri dan semua udah dapet temen buat diajak duduk di sebelahnya. Apa ada yang pindah? Kayaknya nggak. Semua aman-aman aja sebelum upacara tadi. Tau lah. Sesuai rencana, aku mau minum dan ngelap jidatku pake tisu basah.
Lima menit kemudian, seorang cowok datang. Dia jalan ke arahku dan semakin dia deket, semakin aku sadar kalo dia itu cowok-berkacamata-bingkai-penuh yang tadi aku tabrak. Aku sadar kalo ada tas asing yang nggak kukenal di sampingku. Jangan-jangan, tas ini punya dia? Nggak mungkin! Bisa aja tas anak lain. Tapi nggak mungkin juga. Nggak ada anak yang bawa tas dua kecuali dia memang kurang kerjaan atau mau jualan.
Bener aja. Cowok-berkacamata-bingkai-penuh itu duduk tepat di sampingku. Jujur, aku nggak tau harus bilang apa. Cuma melongo liatin cowok itu dengan tatapan nggak percaya bahwa dia yang tadi aku tabrak. Bener-bener aku tabrak.
“Kamu siapa?” Aku nggak percaya.
“Aras.” Ucapannya datar banget. Bahkan saat ngomong dia sama sekali nggak nengok ke aku. Nggak minta izin atau say ‘halo’ sebentar. Beda banget waktu tadi aku tabrak. Apa dia punya kepribadian ganda? Atau aku yang salah orang? Bingung.
Aku malu untuk kedua kalinya. Dibikin gondok itu sakit. Saat balik buat natap ke depan, aku sadar semua mata tertuju ke bangku pojok belakang. Ini maluku yang ketiga. Sekali lagi dibikin dia malu mungkin aku langsung pindah sekolah. Oh, Tuhan! Apa aku lesehan di depan aja? Ini udah nggak bener! Aku langsung nutup mukaku. Aku nggak yakin beberapa siswa bakalan kuat kalo ngeliat mukaku pas aku malu begini.
Hari pertama di kelas dua belas belum berjalan separuhnya dan udah kaya gini. Kita liat selanjutnya gimana. Apa yang terjadi sama aku?
***
“Saya Aras. Adam Prasetya. Pindahan dari Bandung. Terima kasih.”
Adam Prasetya itu emang beneran dingin atau dia cuma sok cool aja biar cewek-cewek pada naksir dia? Aku jadi ilfeel sama dia. Dari yang aku liat, Aras itu nggak ganteng apalagi keren. Malah keliatan cupu dengan baju yang dikancing sampe atas demi dasi yang sepertinya bikin dia sesak napas dan dia berkacamata. Kesan pertamaku sama dia nggak ada yang menarik. Kecuali kalau dia itu tinggi. Sejauh ini belum ada yang berubah.
Aras duduk dengan muka datar. Saat dia duduk, semua mata cewek-cewek di kelasku nggak bisa lepas dari merhatiin dia. Semua menatap lekat-lekat segala yang dilakukan Aras. Sepertinya anak cowok bakalan kebakaran dan suasana kelas jadi panas.
“Dasar, cupu payah!” Aku sebel.
“Apa?”
“Eh, apa?” Aku pura-pura.
“Oh.”
Ih, dasar! Cupu payah. Galak banget jadi orang. Aku nggak berani ngomong lagi setelah tadi.
Pak Suto—wali kelas baruku—segera memulai kegiatan belajar-mengajar. Pertama, jelas, pemilihan pengurus kelas. Seratus persen aku yakin kalo Aras bakal megang sebuah jabatan di kelas ini dari antusiasme anak-anak cewek yang kayaknya suka banget sama Aras. Mungkin waktu istirahat nanti mereka bakalan membentuk sebuah grup di facebook dengan nama grup Front Penyuka Aras.
Pak Suto memberikan masing-masing satu lembar kertas kecil pada setiap siswa. Setiap siswa diminta untuk menuliskan sebuah nama di kelas ini. Yang terbanyak dipilih akan menjadi ketua kelas, yang kedua terbanyak menjadi wakil ketua, ketiga sekretaris, dan keempat bendahara.
Satu nama yang langsung terlintas di kepalaku adalah Bowo. Mantan ketua kelas di kelas sepuluh. Kinerjanya bagus dan dia berhasil bawa kelas kita liburan ke Lombok saat kenaikan kelas. Jadi, nggak ada salahnya kalo dia mencoba buat jadi ketua kelas lagi.
Nggak lama, semua kertas udah terkumpul di meja guru.
“Ririn, bantu Bapak menghitung hasil voting.” Pak Suto memanggilku dengan lantang.
Selama masa penghitungan, aku menemukan banyak nama Aras di kertas-kertas kecil itu. Seperti dugaanku sebelumnya, Aras akan memegang sebuah jabatan di kelas ini. Hanya satu kertas yang bertuliskan nama Bowo. Sepertinya itu aku yang menulis—sendirian.
Setelah selesai dihitung, Aras menjadi ketua kelas. Koko menjadi bendahara dan Bimo menjadi sekretaris. Wakil ketuanya adalah...AKU!! Kenapa aku nggak nyadar kalo namaku juga banyak disebut? Jadi wakilnya Aras mungkin akan jadi hal terberat bagiku buat sekian bulan ke depan. Aku cuma bisa berharap bahwa Aras dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan nggak dengan sengaja ninggalin panggilan-panggilan penting buat rapat.
Saat aku kembali duduk, beberapa anak cewek melemparkan pandangan sinis terhadapku. Seakan mereka bilang jangan-dekati-Aras atau malah bilang Aras-itu-punyaku.
Baiklah, kita liat sejauh mana ini akan berjalan. Aku pengen liat apa aku bakalan baik-baik aja ke depannya. Aku rasa nggak!!
***
“Teettt!! Teeeetttt!! Teeeeeeetttt!!”
Bunyi bel itu lagi. Masih nggak beraturan dan masih aku kangenin. Istirahat ini aku nggak niat jajan. Lagipula aku juga bawa bekal, roti selai cokelat. Selalu jadi favoritku.
Aku sadar kalo Aras belum beranjak dari tempat duduknya. Di terus membolak-balik buku pelajarannya. Aku nggak tau apa yang dia lakukan tapi itu aneh. Sangat aneh. Untuk seorang cupu-payah, dia juga idiot rupanya. Tapi, aku mulai khawatir kalau dia lapar. Aras nggak akan macem-macem, kan, kalau lapar?
“Mau nggak?” Aku menawarkan bekalku.
“Nggak.” Masih saja tanpa ekspresi. Aku mulai sebal padanya. Sadar nggak sih kalo dia tu terlalu cuek?
“Hei, kamu ada dendam apa sama aku? Kita nggak pernah ketemu sebelumnya. Bahkan aku sama sekali nggak tau siapa kamu. Heran, ya. Bisa nggak kalo biasa aja cueknya?” Aku nyerocos nggak karuan.
Aras diam. Tetap membolak-balik bukunya.
“Oke, aku bisa maklumin cuekmu. Tapi inget. Kita jadi pejabat di kelas ini. Bukan aku mau sama kamu terus tapi kita harus bisa kerja sama biar kelas ini tu nggak hancur. Kalo kamu nggak mau kerja sama, aku bisa bilang Pak Suto buat voting lagi.”
“Nggak usah.”
“Ih, galak banget.” Aku menggigit rotiku dengan sebel.
Tiba-tiba sebuah tangan menjulur ke arah kotak bekalku. Tangan Aras mencoba untuk mengambil rotiku. “Aku mau satu.”
Aku melongo padanya lagi dan dia tetap cuek menggerogoti rotiku yang telah menjadi miliknya. Ternyata cupu-payah ini juga lapar. Kemudian aku sadar kalo aku lagi tersenyum ngeliatin dia. Lucu banget melihat cara dia makan. Kacamatanya naik-turun seirama dengan ia mengunyah. Sudahlah, dia pasti nggak suka diperhatiin.
“Kayanya aku mulai tertarik jadi ketua kelas.” Aras tiba-tiba bicara. Mulutnya yang masih mengunyah menjadi penyumbat kelancarannya bicara.
“Ditelen dulu. Nggak baik makan sambil ngomong.” Aku menegurnya.
Aku langsung mengerti bahwa diamnya tadi adalah memikirkan tentang jabatan ketua kelas yang diembannya. Apa saking memikirkannya dia jadi lapar? Segitu tersiksanya kah dia menjadi ketua kelas?
Cupu-payah! Aku tersenyum.
“Oke. Kalo gitu, jangan coba-coba bilang nggak bisa sebelum nyoba ngejalanin tugas sebagai ketua kelas.” Aku menyemangatinya.
“Hm.”
***
Ah, hari ini jadi hari yang cukup bikin susah. Pertama, aku nggak ikut pelajaran cuma karena disuruh jadi pengawas MOS adik kelas. Kedua, aku nggak tau apakah Aras bisa diandalkan dalam masalah ini atau nggak. Aku rasa, dia bukan orang yang supel dan mungkin adik kelas bakalan protes abis-abisan sama Runi karena Aras—cupu-payah yang galak—jadi pengawas MOS. Dan ketiga, aku lagi nggak mood buat ngurusin adik kelas yang macam ini.
Namanya Dodi. Disamarkan jadi Kubis. Bandel dan nyebelin. Bebal dan nggak bisa diatur. MOS semaunya sendiri tanpa ngerti harus gimana. Sekalipun udah dibilangin sesabar ibunya Malin Kundang juga tetep aja keras kepala. Siswa lainnya pada nurut disuruh push-up, Kubis busuk satu ini nggak mau. Disuruh jongkok aja dia ngomong kasar.
“Hey, mau kamu apa sih!?” Emosiku udah sampe ubun-ubun.
“Aku mau nggak ada MOS!!” Suaranya meninggi.
Aku menghela napas. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam yang ingin sekali aku teriakkan di telinga Kubis ini. Kakiku udah gatel pengen nendangin dia. Di satu sisi, aku dan Aras udah dikasih mandat buat nggak boleh galak sama peserta MOS. Tapi di sisi lain, apa iya aku harus diem aja kalo ada Kubis macam ini yang hobinya membangkang?
Ini lagi Aras cuma diem aja. Apa dia nggak berani sama anak ini? Ih, emang dasar cupu banget si Aras.
“Ras, gimana?”
“Terserah.”
Aku melayangkan pandangan sebel pada Aras. Bikin mood-ku tambah jelek aja.
“Oke, kita gak akan banyak basa-basi. Kamu mau apa?” Aku nyoba buat sabar.
“Nggak ada MOS. Aku nggak mau ada MOS.” Suara si Kubis ini sudah mulai biasa.
“Tapi ini nggak berat. Kamu Cuma diuji aja. Kita nggak akan maksa kalo kamu nggak bisa. Tapi, seenggaknya kamu harus nyoba.”
Kubis diam. Tampaknya ia sedang berpikir mengenai perkataanku. “Tapi jangan paksa aku sedikitpun!! Kalian cuma boleh nyuruh nggak boleh maksa!”
“Iya, Kubis. Kita nggak maksa kok.” Aku berusaha sok manis. Aku membiarkan Kubis itu melakukan tugasnya—push-up—sementara aku kembali menjajari Aras yang bersedekap dan memerhatikanku memarahi Kubis dari tadi.
“Kamu udah bekerja keras.” Suara Aras begitu lirih, tapi masih bisa terdengar.
Aku tersenyum dan kembali memerhatikan Kubis berjuang. Aku seneng, tentang yang aku prediksi hari ini nggak terjadi semuanya. Hanya, aku masih ragu-ragu Aras bisa diandalkan soal Kubis. Ah, Aras pasti bisa.
***
Akhirnya. MOS hari ini selesai juga. Seneng banget Kubis nggak banyak protes sampe MOS selesai. Masih ada besok, hari-hari baru dengan protes-protes baru dari si Kubis busuk. Ah, tapi nggak ada lagi yang boleh bikin kacau acara istirahatku di kelas dengan minum air putih dan makan bekalku. Ini ritual penting setelah seharian jadi pengawas.
Aku duduk di bangku pojok belakang—kayak kemarin. Ngeluarin botol air putih yang tadi masih dingin dan kotak bekal yang isinya nasi goreng buatan Ibu dari tas lamaku yang nyaris butut. Pas dibuka aromanya sedap banget. Apalagi pake lauk yang tiada duanya alias ayam goreng tepung. Salah satu makanan buatan Ibu favoritku. Kalo ayamnya disemur pasti tambah enak. Sayang, nggak cocok sama nasi goreng.
Beruntung. Kelasku dalam keadaan kosong. Jadi aku bisa makan tanpa ada yang ngerecokin. Bukannya pelit, aku laper. Jadi nggak salah kan kalo aku nggak mau bagi-bagi? Ini semua demi kepentingan cacing-cacing yang udah mukulin perutku dari tadi karena mereka butuh nutrisi juga.
Derap langkah kaki kedengeran lagi menuju ke arahku. Cuek, satu-satunya jalan biar aku nggak ketakutan. Tapi nggak bisa dan aku ngebayangin yang nggak-nggak kaya di film horor tentang hantu pembunuh yang muncul kalo ada suara langkah kaki. Maklum, parno banget sama yang namanya hantu-hantu gitu. Keadaan kelas yang kosong ditambah aku duduk di pojokan bikin aku tambah parno dan mungkin sekarang kakiku udah gemeteran meskipun aku nggak tau. Aku nunduk dan tetap fokus sama nasi gorengku. Kenapa acara makanku jadi horor gini? Aku bahkan nggak berani nengok sedikitpun.
Ah, tambah kacau. Suara kaki itu makin keras dan semakin bikin kakiku merinding. Aku jadi inget sama rumor-rumor panas yang beredar yang bilang kalo kelasku—bagian pojok belakang—angker. Cuma aku nggak tau pojok belakan yang mana. Tempatku atau seberang sana. Tambah parno lagi.
Aku udah nggak bisa fokus sama nasi gorengku. Sedetik, aku sadar kalo bentuk nasi gorengku nggak karuan. Udah kayak dikorekin ayam. Ini horor banget. Aku pengen kabur tapi nggak punya kekuatan buat jalan. Berdiripun aku mungkin nggak bisa. Kalo mau ngambil handphone buat minta pertolongan aku nggak berani karena aku nggak berani nengok.
Apapun yang terjadi, lunch must go on! Nggak peduli itu setan kurang kerjaan yang mau iseng nakut-nakutin aku, setan yang dikirim sama dukun buat ngebunuh aku, atau malah setan yang punya dendam sama aku dimasa lalu. Aku nggak peduli. AKU LAPER!
“Sendirian?”
Suaranya bikin nyesek. Jleb banget dan berhasil bikin kakiku lemes. Aku nggak punya tenaga buat megang sendok. Aku nyoba nengok dan ternyata di sebelahku itu cuma ARAS!! Bukan setan!
“Ah, sial.” Aku kecewa karena dia bukan setan.
“Sial?”
“Nggak pa-pa.”
“Oh.” Kata ‘oh’ itu bikin aku nggak nyaman. Singkat tapi ketus. Nyebelin.
Fokusku pada nasi goreng udah kembali. Kakiku juga udah nggak begitu lemes kaya tadi. Jadi, aku bisa makan lagi. Horor hari ini selesai sampe di sini.
“Nggak takut sendirian di kelas?”
Takut! Banget malah! Gara-gara dia juga aku jadi takut. Tapi aku nggak berani bilang karena gengsi. “Biasa aja.”
Aras menghela napas. “Oke. Aku duluan, ya.”
Deg. Aku nggak mau sendirian lagi. mau nggak mau, aku harus memohon sama Aras buat nemenin aku makan. Biarin harga diriku diinjek-injek, yang penting nggak ada makan-siang-horor part dua hari ini!
“Eh, Ras! Jangan pulang dulu, ya? Temenin bentar doang. Ya?”
“Tadi bilang nggak takut.” Dia balik duduk. Suaranya datar. Aku jadi tambah sebel. Bisa nggak dia tu lebih ceria dikit? Ngomong pake nada atau semacamnya gitu? Aras bukan robot kan?
Apapun yang terjadi Aras harus nemenin aku sampe makananku habis.
***
Hari ini nggak kayak kemaren. Nggak penuh dengan celotehan dan protes-protes nggak penting dari Kubis busuk itu. Hari ini dia dengan santai ngikutin apa yang aku sama Aras suruh ke dia. Aku lebih berharap kalo ini suatu pertanda baik bahwa dia emang udah sadar kalo aku itu capek ngadepin tingkah-polah dia kemaren. Bukan suatu keadaan damai sebelum perang besar-besaran antara adik kelas baru sama anak kelas dua belas.
Apapun itu, aku lebih suka Kubis kayak gini. Nggak nyusahin, jadi aku sama Aras bisa dengan tenang jagain dia. Oh, satu lagi. Hari ini aku udah memutuskan bakalan langsung pulang. Makan siang di rumah bareng ibuku tanpa harus berada dalam film horor kayak kemaren. Lagipula, aku ngerasa kalo makan siang di rumah itu lebih seru. Kalo kurang bisa nambah, nggak harus bawa kotak bekal yang terbatas volumenya. Kalo nggak pewe bisa memosisikan badan seenak mungkin tanpa harus malu sama temen atau takut dimarahin sama guru.
Kali ini giliran Aras yang ngasih perintah ke Kubis. Tunggu, aku baru mikirin ini. Kubis lebih milih buat diem karena Aras yang merintah atau karena dua alesan tadi? Jadi, Kubis takut sama Aras? Apa jangan-jangan ada persengkongkolan antara mereka berdua supaya semua berjalan lancar kayak gini? Atau Aras ngancem yang aneh-aneh biar Kubis nurut sama semua perintah dia?
DAN KENAPA AKU SELALU BERPIKIRAN NEGATIF TENTANG MEREKA BERDUA??
Oke, biarin ini jalan kayak gini dulu—kayak yang aku mau. Aku gak boleh peduli tentang apapun yang terjadi antara Aras sama Kubis. Begini lebih baik. Dan lebih baik kalo aku gak tau apa-apa soal itu semua. Pokoknya yang aku tau cuma Kubis itu udah berubah dan jadi orang yang nurut sama yang aku maupun Aras mau.
***
Lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to becoming home again
Lagu dari Jason Mraz dan Colbie Caillat itu asik banget buat didengerin. Apalagi pas suntuk gini. Yah, ternyata aku merasa ada yang ilang setelah seminggu nggak jagain Kubis. Gimanapun, semua kegiatan MOS kemarin itu berkesan banget buat aku. Meskipun Kubis banyak protes dan sempet ada acara makan-siang-horor gara-gara Aras.
Aku nyadar, di pojokan kelas gini tu nggak seru. Lebih sering dikacangin sama temen sendiri. Udah gitu, sejak terpilihnya Aras sebagai ketua kelas dan aku sebagai wakilnya, temen-temenku jadi suka ngelemparin pandangan sinis yang nggak jelas ke arahku. Bahkan, mereka pernah nggak ngerespon apa yang aku omongin. Itu adalah suatu momen yang aku pikir cukup nyesek.
Tapi, aku harus profesional. Sebencinya mereka sama aku, kalo sewaktu-waktu Aras mengundurkan diri dari jabatannya, mereka harus patuh sama aku mau nggak mau.
"Perhatian!!!"
Aku langsung bangun dari kesuntukanku mendengarkan lagu mellow yang kadang-kadang bisa bikin aku jadi tidur. Itu Aras.
"Hari ini, Bu Ratna nggak masuk. Jadi, kita diminta buat ngerjain buku paket halaman 22. Pulang sekolah langsung dikumpulin ke Ririn!" katanya lantang.
Sial! umpatku. Kenapa aku sih? Kenapa nggak dia sendiri? Dan saat itu juga, atau sedetik kemudian, aku nyadar kalo dia sedikit senyum nyebelin ke arahku yang ngasih muka galau. Sedetik lagi, aku tau kalo beberapa anak cewek yang tergabung dalam komunitas FPA—yang beneran ada—ngeliatin aku dengan tatapan menggerutu seperti tatapan-ini-adalah-peringatan-buat-pengganggu-kayak-kamu atau kami-siap-mengenyahkan-wakil-ketua-payah-sepertimu.
Ya Tuhan! Kenapa temenku jadi begini semua? Jadi nyebelin dan galak begini? Jadi jutek gini? Jadi nganggep kalo aku itu kelinci manis yang bakalan jadi santapan seekor serigala berbau pete yang udah tiga bulan nggak makan? Dan, apa aku semanis itu?
Aku balik natap Aras yang lagi jalan ke arahku—ke tempat duduknya. Mau apa dia sekarang?
"Kamu mau apa? Aku bakal mati kalo kamu tetep maksa aku buat ngumpulin tugas itu," kataku, "mereka kayak serigala kelaparan dan siap nerkam aku." Aku memperjelas. Aku berharap kalo Aras bakalan jadi sukarelawan buat ngumpulin tugas itu.
"Aku memang berpikir kalo mereka kelaparan. Jadi, nggak salah kan kalo aku ngasih mereka makan? Aku juga berpikir kalo mereka bakalan seneng kalo disuruh menyantap kelinci manis yang suka makan kayak kamu. Pasti mereka kenyang." Aras mulai kurang ajar.
"Tapi, mereka semua nggak akan kenyang kalo cuma dikasih satu kelinci-manis-yang-suka-makan. Lebih baik kamu ngusir mereka dan nyelametin aku, si kelinci-manis-yang-suka-makan." Aku nggak mau kalah.
Aras diem sambil terus ngerjain tugas fisika.
AKU BENCI ARAS!! DAN AKU PUTUS ASA!!
***
Pulang sekolah ada panggilan buat para pengurus kelas. Panggilan ini katanya penting banget dan semuanya harus dateng. Dan waktunya itu tepat pulang sekolah. Kalian tau? Aku belum makan. Belum jajan dan nggak bawa bekal. Buat seekor kelinci-manis-yang-suka-makan kayak aku, istirahat itu adalah ritual penting buat mengukuhkan gelarku yang baru. Salah banget buat si kelinci-manis-yang-suka-makan nggak memanfaatkan waktu istirahat tadi dengan baik.
Soal tugas tadi, aku harus ngumpulin ke ruang guru. Beruntungnya, Koko, Bimo, dan Aras mau nganterin aku ke ruang guru buat ngumpulin tugas-tugas itu sebelum pergi ke ruang OSIS. Seenggaknya mereka bisa jadi tamengku kalo sewaktu-waktu aku diterkam sama siswa cewek yang memang benci banget sama aku. rencananya, aku mau jadiin Koko sebagai tanganku—bales nonjok kalo ada yang nonjokin aku. Bimo sebagai kaki yang selalu siap buat nendangin orang yang juga nendang aku. Dan Aras sebagai tameng sesungguhnya, dia ada di depanku dan jadi korban kalo ditonjok sama ditendang.
Sekarang, di sini, di ruang OSIS, aku harus nahan laper selama rapat ini berlangsung. Nahan biar perut ini nggak terus bunyi kayak sekarang ini. Aku juga harus nahan biar mukaku nggak merah karena malu. Semua ini demi martabatku sebagai wakil ketua kelas dari seorang ketua kelas yang disegani oleh hampir semua siswa cewek di sekolah ini. Aku nggak bisa konsentrasi dengerin semua perkataan Runi, si ketua OSIS.
Pokonya, AKU HARUS BERTAHAN!! Cuma sampe satu jam ke depan. Ini nggak susah kok. Satu jam bukan waktu yang lama!
Satu jam....
Aku laper banget! Aku nggak bakalan kuat kalo harus jalan dari ruang OSIS ke kantin terus balik ke kelas. Pasti capek banget. Secara, ruang OSIS di ujung timur sedangkan kantin di ujung barat. Aku bisa ngerasain kalo badanku mulai gemeteran. Kelinci ini kayak nggak pernah dikasih makan sama pemiliknya sejak pertama beli. Serigala nggak akan doyan sama kelinci ini.
Tapi, nggak pa-pa. Aku kuat! Kelinci ini bisa cari makan sendiri! Kelinci ini bisa! aku nyemangatin diri sendiri.
"Rin, kamu nggak pa-pa, kan?" Aras memegangi pundakku.
Kalimat itu nggak begitu jelas. Aku juga gak bisa ngeliat muka Aras dengan jelas. Semuanya sepi. Nggak ada suara apapun. Dan, gelap.
***
Rasanya aneh. Pas aku buka mata, semua keliatan terang banget. Yang aku bisa liat cuma putih, lebih keliatan kayak langit-langit. Aku pusing. Aku bisa ngerasain kalo perutku masih keroncongan, artinya kelinci ini belum dikasih makan.
Aku harus bangun dan cari makan. Nggak peduli apapun yang udah terjadi sama aku barusan—karena aku udah sadar apa yang terjadi sama aku, aku pingsan.
"Mau cari makan?" sebuah suara nahan aku buat nggak pergi.
Begitu nengok, ARAS! Duduk manis sambil memperhatikan mukaku yang nggak karuan gini—sepertinya. Jadi, dari tadi aku ditungguin Aras? Ngapain?
"Kamu ngapain di sini?" Aku nggak tau harus bilang apa selain itu. Speechless.
"Menurutmu?" katanya dengan nada galak.
Aku cuma diem. Nggak berani bilang tentang apa yang aku pikirin barusan. Takut dibikin gondok.
"Bangun!" Aras tambah galak.
"Kenapa?"
"Bukannya tadi mau cari 'wortel'"?
Oh, iya. Aku inget. Aku mau makan. Kok dia bisa tau?
Aras buru-buru jalan keluar UKS dan ninggalin aku yang nyadar kalo nggak pake sepatu. "Ras, sepatuku mana?"
"Di sini." Dia nunjuk sebuah pojok yang aku sama sekali nggak inget itu tempat apa.
Sempoyongan, laper, gemeteran, aku nyoba buat dateng ke pojok itu demi ngambil sepasang sepatu abu-abu yang nyaris butut. Oh, aku inget. Itu pojok tempat rak sepatu ditaruh. Kenapa aku jadi bolot gini? Laper? Iya mungkin, ya.
Selesai pake sepatu, aku masih nggak kuat buat jalan. Tapi aku masih punya misi buat mempertahankan gelarku. Demi gelar, aku harus kuat buat jalan. Labil. Cara jalanku, labil.
Tiba-tiba, sebuah tangan melingkar di tangan kiriku. Itu Aras. Orang yang megangin aku, Aras. Wah, nggak bener. Apa yang dia mau? Nggak ada maksud cabul, kan?
"Heh? Apa ini? Ngapain?" Aku panik banget. Lebay? Biarin.
Aku nggak mau kayak kasus-kasus di tv. Digaet gini terus diajak ke tempat sepi terus digituin. Aku nggak mau. Aku masih mau punya masa depan. Aku masih mau lulus UN dan dapet nem bagus terus bisa lolos tes masuk ITB dan keterima buat jadi mahasiswi semester baru di ITB. Aku masih mau nikah dan hidup bahagia sama suamiku. Punya anak yang lucu, manis, penurut, dan pinter.
Atau malah, Aras mau nyulik aku terus nanti mau minta tebusan buat aku tapi aku nggak dikembaliin ke orang tuaku tapi malah dijual ke negara lain terus nanti aku luntang-lantung nggak jelas di luar negeri. Jadi gelandangan dan malah dideportasi ke Indonesia lagi dan ikut acara termewek-mewek biar ketemu sama orang tuaku.
Itu tragis. Aku nggak mau masa depanku hancur cuma gara-gara si cupu-payah-yang-cabul ini. Aku nggak mau!! Tapi aku nggak bisa jalan. Aku nggak punya tenaga. Gimana ini?
“Ras, kamu nggak berpikiran cabul, kan? Kamu nggak mau apa-apain aku, kan?”
“Kamu itu mau jatuh. Dipegangin malah mikir begitu. Seleraku tu bukan semacam kelinci kelaperan gini.” Aras ngomongnya dengan nada yang aku sama sekali nggak suka.
Tapi, aku bersyukur. Dia nggak berpikiran cabul seperti yang aku bayangin. Jadi, nama Aras bukan cupu-payah-yang-cabul. Hanya cupu-payah.
“Ayo!” Dia narik tanganku.
Kayaknya ini ke arah kelas. Yah, aku bersyukur lagi. Aku udah nggak bolot macam tadi. Kesadaranku udah pulih sedikit-sedikit. Aku nggak bisa bayangin kalo gelarku jadi KELINCI-BOLOT-KELAPARAN!! Itu nggak mungkin terjadi! Atau bahkan nggak boleh terjadi!
“Tunggu sini. Aku ambil tas dulu.” Dia kayak nyuruh aku duduk di kursi panjang depan kelas.
Hah!? Aras mau ngambilin tasku!? Nggak salah tuh!?
“Nih!” Aras dateng setelah beberapa saat ngebiarin aku duduk sendirian di koridor kelas yang sepi. Kayaknya udah pada pulang. Emangnya ini jam berapa?
“Ras, jam berapa ini?” Aku tanya sambil nerima tas dari Aras.
Dia liat jam dan kemudian... “Jam 4.”
Itu seperti kilat yang mengamuk di siang bolong. Seperti auman Aslan yang bikin semua musuhnya takut dan tunduk sama dia. Seperti anak kecil yang menjerit pas lagi liat setan. Dan seperti gas elpiji yang meledak tengah malem. Singkatnya, itu bikin aku sadar kalo aku pingsan selama hampir dua jam! Itu artinya, Aras udah nungguin aku selama dua jam juga! Sabarnyaaa.
“Artinya...”
“Iya. Dua jam!” Aras menunjukkan jari tengah dan telunjuknya sebelum aku selesai ngomong. “Awalnya, Bimo sama Koko juga nungguin. Tapi, mereka nggak betah. Akhirnya, pulang.”
“Terus, kok kamu...”
“Yah, ternyata semua yang aku prediksikan bener. Kamu jadi buta arah, berpikiran macem-macem, dan nggak tau apa-apa. Tapi, tentang buta arah nggak sepenuhnya bener. Kamu masih sadar pas aku ajak ke kelas.” Dia tau persis apa yang aku pikirin tadi.
KOK ARAS BISA TAU!?
“Kok...”
“Kamu tetep nggak sadar, ya?”
Apa yang dia omongin sekarang? Sadar tentang apa? Dan, tetep? Maksudnya tetep nggak sadar tu apa? Cupu-payah ini kenapa, sih? Misterius banget.
“Huh, ayo!”
Aras narik tanganku lagi. Kali ini aku nggak dijagain biar nggak jatuh. Jahat. Padahal aku masih sempoyongan.
***
Masuk kelas langsung dapet sambutan nggak pantes gini. Cewek-cewek yang udah dateng pada ngelompok dan sepertinya itu adalah para FPA. Mereka semua langsung ngasih tatapan sinis itu lagi. Aku udah ngerti sekarang apa maksud dari tatapan itu. Mereka nyoba buat bilang apa-yang-udah-kamu-lakukan-sama-Aras-kami?
Saat itu aku sadar kalo mereka tau apa yang terjadi sama aku kemaren dan apa yang Aras lakuin kemarin. Tapi, itu sekadar nungguin aku sampe sadar, bantu aku jalan, dan nemenin aku makan. Nggak lebih. Toh, itu Aras yang mau. Kenapa aku yang diliatin gini?
So what lah.
“Rin, ada apa antara kamu sama Aras!?” Lulu dateng ke tempat dudukku dengan tampang yang nggak santai. Sambil nggebrak meja, sambil teriak.
Tu, kan. Mereka beneran tau apa yang udah terjadi kemarin.
“Enggak.”
“Jujur!!”
“Kurang jujur apa?”
“Oke kalo gitu. Inget, ya! Jangan pernah deketin Aras. Kamu tu nggak selevel sama dia!” Lulu langsung kasih senyum licik dengan tatapan ganas dan langsung balik ke kelompoknya.
Tapi, apapun itu, aku benci direndahin kayak gini. Sejelek itukah aku di mata mereka? Fine, aku emang nggak setenar dan se-oke Lulu. Aku emang nggak cantik dan eksotis kayak dia juga. Bahkan, aku juga nggak sekaya dia. Tapi, dia nggak pantes bilang gitu. Nggak pantes bikin kupingku panas gini. Siapa dia!?
“Hei, Lulu,” Aku jalan ngedeketin kelompoknya Lulu, “kamu juga harus inget satu hal. Siapapun kamu, seberapa tenar kamu, kamu nggak pantes bilang gitu. Aku nggak punya niat, bahkan secuilpun, buat ngedeketin Aras-mu. Sekalipun kamu bungkus dia pake daun kelor dan kamu kirim pake pos ke rumahku, aku sama sekali nggak akan nerima kirimanmu itu. Jadi, silakan kamu ambil kembali kirimanmu itu. Dan makasih, ya. Kamu udah bikin aku sadar betapa lucunya kamu.”
Aku udah nggak tahan lama-lama di kelas. Aku butuh udara seger biar nggak nyesek gini. Kayaknya kantin lebih baik. Biarin deh ke kantin pagi-pagi gini, yang penting nggak di kelas bareng sama Lulu dan para anggota FPA nyebelin itu. Nggak dapet tatapan-tatapan sinis yang saat ini aku dah mulai tau artinya. Nggak jadi santapan para serigala-bau-pete-berdarah-dingin di sana.
Selama dua tahun sekelas sama mereka, aku nggak pernah digituin. Semua berjalan apa adanya dan nggak pernah ada masalah yang sampe bikin aku direndahin gitu. Aku berpikir kalo mereka semua temen yang baik dan bisa saling menghormati satu sama lainnya. Tapi, cuma gara-gara si cupu-payah itu aku jadi gini. Gara-gara Aras yang idiot itu semuanya jadi berbalik seratus delapan puluh derajat.
Sekarang, yang terpenting buat aku adalah menghindar dari anggota FPA yang nggak jelas itu. Dan sekarang, di kantin, aku ngeliat sosok cowok yang aku kenal banget perawakannya meskipun dari samping. Tegak, tinggi, rambutnya lurus, dan pake kacamata. Aku kenal banget. Aras. Tapi, ngapain dia nggak langsung ke kelas malah ke kantin dulu?
Dia nengok ke arahku dan kayaknya nyadar kalo aku lagi ngeliatin dia sambil berdiri tegak nggak bergerak di ujung kantin.
“Aras?” Aku nyoba buat mastiin kalo itu beneran Aras sambil jalan ke arah dia.
“Iya.”
Lega. Artinya nggak salah orang.
Oh, aku harus bikin perhitungan sama dia. Soal Lulu dan FPA yang nyebelin itu.
“Ras, bilangin sama semua fansmu buat biasa aja kalo ngefans sama kamu, ya. Nggak perlu ngerendahin gitu.”
Aras ngasih tampang idiot. “Kamu ngomong apa?”
“Tanya aja sama Lulu dan fansmu yang lain.” Aku duduk di samping Aras.
“Aku nggak punya urusan sama mereka. Aku lebih seneng kalo mereka nggak jadi fans aku. Mereka lebih baik kalo jadi temenku.”
“Aku nggak peduli kamu punya urusan atau nggak sama mereka. Aku juga nggak peduli kamu merasa lebih baik mereka kayak apa. Tapi aku peduli sama sikap mereka yang...”
“Posesif,” katanya cepet, ”memang nyebelin. Aku juga peduli sama sikap mereka yang kayak gitu. Dan aku nggak suka.”
“Kalo gitu, kenapa kamu...”
“Diem. Aku memang diem. Aku nggak pernah punya alasan yang kuat buat bikin mereka nggak posesif gitu. Aku udah nyangka kalo bakal gini jadinya. Mereka bakal jadiin kamu sebagai musuh nomor satu, itu aku udah tau. Jadi, kamu nggak usah khawatir selama ada aku.” Aras lalu minum.
Deg. Kamu nggak usah khawatir selama ada aku. Maksudnya apa? Ini nggak kayak di film-film romantis, kan? Dimana kalo cowok ngomong gitu artinya cowok itu suka sama cewek. Nggak! Nggak mungkin! Atau aku emang nggak perlu khawatir selama Aras masih ada di sekolah ini? Iya. Aku emang nggak perlu khawatir selama Aras masih di sekolah ini. Aku nggak boleh berpikiran yang macem-macem tentang Aras. Aras juga pernah bilang kalo seleranya dia bukan macam aku. Jadi, itu nggak mungkin.
Sedetik, aku sadar kalo aku lagi melongo ngeliatin Aras. Sedetik lagi, aku tau aku harus nengok dari ngeliatin Aras. Sedetiknya lagi, aku ngerti kalo aku nggak bisa berhenti nelen ludah. Ada sesuatu yang nggak beres sama diri aku sendiri. Sesuatu yang aku sendiri nggak ngerti itu apa. Meluap-luap dan aku pengen banget buat neriakin ke telinganya Aras—bukan Kubis. Ah, sialan! Aku kenapa ini?
“Teeettt! Teeeeeeetttt! Teeeeeettttt!” Bel-nyempreng-nggak-beraturan itu bikin aku sadar—beneran sadar. Itu bel masuk yang artinya aku harus segera masuk kelas sebelum kena hajar sama Pak Jono—guru biologi paling killer.
“Ayo!” Aras udah siap berdiri sambil nenteng tas yang belum ditaruh di kelas.
“Ha?” Aku jadi bolot lagi.
“Ayo ke kelas.”
“Oh, oke.”
Aku berdiri, menjejeri Aras. Dan kami pergi dari kantin.
Aku cuma berharap kalo nggak ada anggota FPA yang liat aku sama Aras keluar dari kantin bareng gini. Aku nggak mau ada salah paham yang terjadi. Aku juga nggak mau kalo sewaktu-waktu, pas ada yang liat aku sama Aras keluar dari kantin berdua gini, terus disebarin ke anggota FPA, dan mereka semua bawa bambu runcing dan anjing-anjing polisi ke rumahku dan ngarak aku keliling Indonesia sambil bilang “INI SI WAKIL KETUA KELAS PAYAH YANG HARUS DIBUANG!” Nggak mau!
Ah, apapun itu, aku nggak boleh khawatir. Toh, aku sama Aras nggak ada apa-apa, kan? Jadi, tuduhan apapun yang melayang ke aku, aku bisa jawab tanpa ada beban dan tanpa berbohong. Lagipula, Aras juga bilang kalo aku nggak perlu khawatir selama ada dia.
***
Istirahat ini aku nggak jajan. Aku bawa bekal, brownies cokelat keju yang juga aku suka. Oh, iya. Di kotak bekal ini, nggak cuma cokelat keju, tapi ada cokelat pandan sama cokelat blueberry. Tapi, selera makanku lagi nggak begitu bagus sekarang. Kenapa lagi? Satu-satunya alesan yang paling masuk akal tu cuma karena Lulu dan anggota FPA yang mulai melancarkan tatapan-tatapan yang nyebelin itu lagi.
Aku udah nggak khawatir soal tatapan-tatapan beringas itu semua. Aku cuma sebel. Kenapa sih mereka selalu aja berpikiran negatif soal aku? Mikir yang aneh-aneh buat cari kesalahanku sekalipun aku nggak salah.
“Ras, kalo kamu jadi aku, kamu bakal ngapain? Tentang mereka.”
“Masukin mereka ke kandang.” katanya sambil baca novel.
“Aku butuh jawaban serius.”
“Kamu minta pendapatku, kan? Ya itu.”
Aku mendesah sebel. Iya emang aku minta pendapat. Tapi ya ngasih pendapat yang bermutu kenapa.
“Bukannya aku udah bilang buat nggak usah khawatir?” Aras nutup novelnya.
“Aku nggak khawatir. Aku sebel aja. Segitunya banget mereka merhatiin semua yang kita lakuin. Gerak dikit diliat, ngapain dikit diliat, ngobrol juga diliat. Penting banget, ya.”
“Gini, kita buat kesepakatan. Daripada kamu terus ngoceh karena sebel atau khawatir, kita buat perjanjian.”
“Apa?”
“Sampe hari terakhir UN, aku jadi bodyguard-mu. Setelah itu aku bakalan menghilang. Gimana?”
“Hah!? Nggak! Mereka bakalan tambah mau bunuh aku, Ras! Nggak!”
“Ya, makanya itu aku jadi bodyguard-mu. Gimana?” Aras pasang muka meyakinkan. Tapi aku masih ragu-ragu.
“Ada bayarannya?”
“Jelas. Kasih makan siang, lima kali seminggu.”
“Yah, tekor.”
“Mending tekor apa mati?”
“Huh! Iya iya.” Aku mendengus sebel. Gila aja, lima kali!
“Nah, gitu. Jadi kamu kasih aku nutrisi sebelum aku mati gara-gara Lulu de-ka-ka.”
Ngomong apa dia? Bayangin, ya. Sekali makan itu bisa habis sepuluh ribu. Jadi sebulan aku bisa habis paling banyak dua ratus ribu cuma buat kasih makan si cupu-payah ini. Kalo kelas dua belas itu cuma sembilan bulan, selama kelas dua belas aku ngabisin uang satu juta delapan ratus ribu buat makan siang si bodyguard-cupu-payah ini.
UANG SEGITU BISA BUAT BELI SEPATU BARU TIGA PASANG SAMA TAS BARU DUA!! TAPI, TIGA SEPATU BARUKU SAMA DUA TAS BARUKU DIMAKAN HABIS SAMA ARAS!? MUSTAHIL!
Aras bener-bener nggak punya hati, ya! Tapi, kalo taruhannya nyawa sama aja nggak berarti sih uang segitu. Serba salah.
***
Ini hari pertama Aras jadi bodyguard-ku. Dia dateng pagi banget sebelum aku dateng—padahal biasanya aku duluan yang dateng. Jadi, Aras bener-bener niat ngejagain aku, ya? Atau itu cuma demi makan-siang-satu-juta-delapan-ratus-ribu dari aku? Aku nggak pernah bisa nebak mana yang bener antara dua pertanyaanku tentang Aras.
Di sana, di meja Lulu, seperti biasanya. Para anggota FPA masih berforum yang aku nggak tau apa masalah yang jadi bahasan mereka. Jarak antara mejaku sama mejanya Lulu emang jauh. Meja Lulu itu paling depan. Sedangkan mejaku itu paling belakang. Dan jarak antara meja depan dan paling belakang itu ada enam meja. Tapi, pas mereka natap kalo lagi sebel itu bisa kerasa panasnya sampe belakang.
Satu hal yang paling aku nggak suka selama beberapa hari terakhir ini tu ya lewat di samping mejanya Lulu. Beruntungnya, selama beberapa hari terakhir itu juga aku masih selamat.
“Tumben dateng pagi.” Aku nyoba buat buka pembicaraan sama Aras.
“Lupa sama perjanjian kemaren?”
“Nggak kok.”
Kami saling diem selama beberapa menit. Aku ngerasa kalo aku mau ngomong sesuatu sama Aras. Tapi lupa. Yah, aku bolot lagi.
OH, AKU INGET!
“Ras, kemaren Runi ngomongin apa?”
“Itu. Dia bilang kalo sebentar lagi ada acara ulang tahun sekolah. Tanggal 1 Agustus. Setiap kelas diminta buat ngirim satu sampe tiga wakilnya buat jadi anggota dari pasukan inti upacara. Terus besok mau ada voting buat MC, pengibar bendera, sama pemimpin upacara.”
MC pake voting? Kok tahun-tahun sebelumnya nggak ada, ya?
“MC, ya?” Suaraku kedengeran hopeless banget. Impianku jadi MC...
“Kenapa? Pengen dicalonin?” Pertanyaan yang to the point banget.
“Jujur, pengen banget. Tapi, yah, aku nggak pernah mampu buat jadi MC. Aku itu nggak punya teknik suara yang bagus. Suaraku nggak bisa jadi oke kayak MC upacara biasanya. Lagipula, sekalipun aku dicalonin, siapa juga yang mau milih aku. Kayaknya nggak ada.” Aku senyum kecut. Nyesek banget.
“Oh.”
Singkatnyaaa. Cupu-payah!
“Teeeeettttttt!!! Teeeeeeeeeeetttttttt!!! Teeeeeetttt!!!”
Bel udah bunyi. Artinya pelajaran siap dimulai.
Pelajaran pertama itu matematika. Sedikit cerita soal pelajaran matematika. Dulu, pas aku SMP, guru matematikaku itu mukanya galak banget. Kayak nggak ada tanda-tanda kebahagiaan di muka itu. Aku sama teman-temen sekelas itu nggak pernah punya kesan yang baik tentang guru itu. Guru itu nyebelin lah, galak lah, nggak seru lah, dan lain sebagainya yang sebenernya nggak sesuai sama kenyataannya.
Sampai suatu hari...
Aku sama dua orang temenku lagi mau ke kamar mandi. Biasa, pas SMP kita sukanya kalo ke kamar mandi anter-anteran. Waktu itu, guru matematikaku lagi jalan di koridor atas mau ngajar di kelas delapan. Nama guru itu Pak Wiryo. Temenku yang agak gila langsung nyeplos manggil Pak Wiryo dengan suara lantang tanpa ada rasa malu sedikitpun.
“PAK WIRYOOOO!!!!” sambil melambaikan tangan.
Nah, anehnya, Pak Wiryo bales dengan ramah. Bahkan, Pak Wiryo juga bales melambaikan tangan. Itu aneh. Buat seorang guru yang selama ini dianggep sebagai guru killer, perbuatan ramah kayak gitu tu nggak wajar dilakuin.
Satu lagi hal yang aku nggak bisa lupain. Waktu itu pelajaran matematika berjalan seperti biasa. Tapi, Pak Wiryo keliatan bahagia banget. Pas pergantian pelajaran aku sama temenku mau ke kamar mandi. Nah, pas balik dari kamar mandi, aku denger lagu selamat ulang tahun dari kelas sebelah kelasku.
Ternyata itu lagu selamat ulang tahun yang didedikasikan buat Pak Wiryo yang lagi ulang tahun. Dari yang aku liat, Pak Wiryo langsung nutup muka pas dinyanyiin lagu itu. Jahatnya, kelasku itu nggak ngucapin apa-apa. Bahkan, sekadar tau kalo Pak Wiryo itu lagi ulang tahun aja nggak! Jahat banget.
Sejak saat itu, aku punya kesan lain tentang Pak Wiryo. Kesan yang lebih baik yang nggak akan bisa aku lupain sampe saat ini, setelah tiga tahun berlalu setelah kejadian itu. Dan, rasanya lucu kalo ngebayangin betapa takutnya aku kalo disuruh maju ngerjain soal sama Pak Wiryo yang baiknya nggak ketauan gitu. Sayangnya, aku nggak nemuin guru macam Pak Wiryo lagi.
“Berdoa dimulai!”
Aku plongah-plongoh nggak jelas. Aku langsung tau kalo tadi aku ngelamun tanpa ada yang nyadarin. Baru bangun setelah Aras ngomong begitu tadi dengan lantang. Aku langsung ikut berdoa sebelum mulai pelajaran.
Aku cuma bisa senyum nginget semua yang udah terjadi pas aku SMP. Pak Wiryo. Guru galak yang ternyata baik.
***
“Jadi, udah disepakati kalo kamu kasih aku makan siang setiap hari Senin sampe Jumat. Oke?”
Aku nggak tau harus apa. Aku nggak bisa nolak karena semua demi keselamatanku. Serigala-serigala itu udah pada makin laper dan siap banget mencabik-cabik kelinci ini. Dengan berat hati... “Oke. Tapi paling banyak sepuluh ribu. Aku nggak akan mau bayar kelebihannya kalo sampe lebih dari sepuluh ribu sekalipun itu cuma seratus perak. Dan sepuluh ribu itu udah termasuk minumnya.”
Mulai hari ini, makan-siang-satu-juta-delapan-ratus-ribu udah disepakati. Dan mulai hari ini, makan-siang-satu-juta-delapan-ratus-ribu dimulai. Setelah pulang sekolah, Aras bakalan buru-buru narik aku ke tempat makan sebelah sekolah dan makan dengan budget sepuluh ribu dari aku.
Pulang sekolah...
Bener aja. Belum selesai aku beresin buku-buku di laci, Aras udah main tarik tanganku. Aku nggak peduli para anggota FPA itu ngeliat hal ini atau nggak. Karena sekarang, ada Aras yang selalu siap sedia jadi bodyguard-idola yang ngejagain aku dari fansnya.
“Hei! Ya, sebentar! Buku belum beres ini.”
Aras langsung ngelepas tanganku dan ngebiarin aku beresin buku-buku. Cupu-payah ini laper, ya? Segitunya?
Aku langsung berdiri begitu selesai beres-beres dan Aras langsung narik aku tanpa peduli gimana bentukku waktu dia tarik. Kayak anak kecil yang udah kurus, krempeng, kecil, hidup lagi, terbang dibawa angin pantai yang sepoi-sepoi. Jadi melambai gitu bentuknya. Oke, selama aku ditarik Aras, aku ngeliat keadaan sekitar.
Mau tau gimana cewek-cewek yang jadi anggota FPA? Ada yang biasa—tapi mungkin dalem hati dia marah-marah. Itu pasti nyesek. Ada yang ngeliatinnya nggak santai. Pandangan itu bisa aku artiin sebagai sebuah pertanyaan sebel seperti jangan-macam-macam-atau-kamu-bener-bener-bakalan-mati. Tapi, itu bukan masalahku. Aras yang bakal jadi korban. Bukan aku. Oh, ada yang keluar uapnya dari hidung saking emosinya. Dan ada yang mukanya merah. Satu lagi, ada yang memang saking bencinya, dia sampe ngebejek-bejek temennya. Aku turut sedih soal temennya itu.
Eh, gimanapun, aku bener-bener minta maaf sama semua anggota FPA. Aku pengen bilang biar mereka jangan salah paham soal semuanya. Sumpah, deh! Aku nggak ada apa-apa sama Aras.
By the way, kenapa aku ngomongnya sama aku sendiri, ya?
***
Sabtu sore yang membosankan...
Aku bingung mau ngapain. Rebahan di kasur sambil liatin langit-langit kamar itu bosen. Nggak seru. Oh, aku baru inget. Udah lama banget jadi temen sebangkunya Aras tapi aku belum punya nomer teleponnya. Aku bakalan butuh kalo sewaktu-waktu pas aku mau pergi sendirian dan ada salah satu haters-ku ngikutin dan mau bikin aku mati. Berarti di luar sekolah aku juga butuh perlindungan?
Lupa. Aku punya rencana buat nonton ‘The Avengers’ besok. Berarti aku harus nonton sama Aras gitu? Wah, gila. Kayak pacaran ini. Tapi, nggak pa-pa. Demi kenyamanan bersama, Aras harus ikut.
***
“Ras, please!”
Jadi, ceritanya tu Aras nggak mau aku ajak nonton. Nyebelin banget. Padahal perjanjiannya dia bakal jadi bodyguard-idola sampe hari terakhir UN. Dengan berbagai alasan yang menurutku nggak masuk akal seperti mau ngerjain maling kambing kampung sebelah dan masak ayam tetangga, Aras nyoba buat nolak aku ajak nonton. Emangnya kenapa coba dia nggak mau ikut?
Apa mungkin karena dia bayar sendiri? Atau emang beneran mau masak ayam tetangga? Tapi, itu nggak lucu. Sumpah!
“Ayolah! Kan udah janji, Ras. Ya?”
Di kasus ini, aku nyoba buat ngomong sepelan mungkin buat menghindari kecurigaan para FPA yang semakin memburuk. Kata Aras tadi pagi, hari Sabtu depan semua anggota FPA bakal forum di ruang multimedia sekolah. Aku nggak bisa bayangin gimana jadinya kalo mereka semua tau aku ngajakin Aras nonton. Itu udah di luar akal sehat seorang manusia biasa kayak aku.
Kembali ke Aras. Aras malah diem dan nggak nggubris omonganku. Dan aku mulai bad mood...
“Oke. Tapi, bayarin!”
Petir-siang-bolong itu dateng lagi. Kenapa harus aku bayarin? Apa dia nggak punya uang sampe segitunya? Aku lama-lama bisa bokek kalo semua kebutuhan dia aku yang bayar. Apapun itu, ini semua demi kenyamanan bersama. Fighting!
“Oke. Tapi nggak ada makan siang, ya?”
“Kalo gitu lupain aja.” kata Aras datar, tapi nyelekit.
“Oke oke oke. Aku beliin makan siang sama bayarin tiket. Nggak pake snack, kan?”
“Pake dong. Ririn, apa kamu nggak tau kalo snack itu wajib ada pas nonton? Nonton tanpa snack itu bagaikan sayur tanpa garam, langit tanpa bintang, matahari tanpa cahaya. Nggak lengkap.”
“Ya ya ya.” Males banget dengerin puisinya Aras.
Hening di antara aku sama Aras. Lalu...
“Ngomong-ngomong, kamu mau nonton apa, sih?”
Nonton apa? Masak dia nggak tau? Apa aku belum bilang, ya?
“Aku belum bilang, ya?”
Aras cuma geleng-geleng dengan tampang yang paling aku benci—idiot berkacamata.
“Aku lupa. Aku pengen nonton The Avengers. Tau, kan?”
Aku berharap kalo cupu-payah ini nggak kudet. Aku malah lebih berharap kalo Aras itu tau segalanya tentang film itu jadi aku bisa tanya-tanya. Di kasus ini, justru aku yang kudet. Kasian, ya? Nggak juga, sih.
Aras ngangguk. Kacamatanya agak turun. “Film super hero itu, kan? Yang ada Ironman, Hulk, Thor, dan lain sebagainya. Iya bukan?”
Itu melegakan. Sangat melegakan. “Iya. Kamu tau banyak?”
“Nggak. Cuma sekadar tau kalo itu film macam apa.“
Ini yang nyesek.
***
Di dalem bioskop—sambil megang pop corn—aku duduk di seat yang nggak enak. Pinggir. Maklum, bioskop penuh. Ngantrenya lama juga. Aku belum beruntung hari ini.
Dari sini, aku bisa liat betapa seriusnya Aras nontonin film itu. Dia ngediemin pop corn-nya sementara aku harus megangin pop corn punya dia. Ini tragis. Segitu tertariknya kah dia sama film ini sampe mangap-mangap gitu? Itu lucu.
Ini nih. Bagian yang paling mengharukan. Aku nangis. Meskipun udah ditahan-tahan, tetep aja nangis. Selalu kayak gini. Tiap nonton, tiap ada adegan sedih, aku pasti nangis. Mellow banget. Aduh, mana aku gak bawa tisu lagi. Ini keadaan genting. Aku pasti gila kalo minta ke Aras. Malu-maluin kalo sampe dia tau aku nangis. Ntar dikiranya cengeng.
“Mau?”
Satu sachet tisu tiba-tiba hadir di depanku. Aku nggak nyangka kalo petir itu bakalan dateng saat di bioskop juga. Dengan nggak peduli sama harga diri sendiri, aku ngambil tisu itu.
Ternyata Aras tau aku nangis. Apa Aras tau aku malu? Apa Aras tau kalo aku pengen kabur dari sini? Apa Aras tau kalo aku pengen minggat dari Indonesia ke Italia dengan identitas baru, jadi peneliti menara Pisa yang miring semiring otaknya Aras, menghabiskan hidup bahagiaku di Italia dengan jadi seorang peneliti muda yang handal dan berprestasi, ngelupain semua yang udah terjadi di bioskop saat ini?
Jujur, ya. Udah pernah Aras ngelakuin hal macam gini tiba-tiba. Bener. Pas minta bekalku. Itu mending karena aku yang emang nawarin ke dia. Nah ini, aku nggak minta, aku berusaha nutup-nutupin, taunya ketauan juga. Cupu-payah ini, apa tau semuanya? Atau dia punya indera keenam? Ah, nggak mungkin! Tapi...
“Yah, ternyata semua yang aku prediksikan bener. Kamu jadi buta arah, berpikiran macem-macem, dan nggak tau apa-apa. Tapi, tentang buta arah nggak sepenuhnya bener. Kamu masih sadar pas aku ajak ke kelas.” Aku jadi inget omongan Aras waktu sehabis aku pingsan beberapa hari lalu. Itu bukan berarti Aras punya indera keenam, kan? Ah, nggak! Mungkin cuma tebakan yang beruntung.
Oke. Tebakan yang beruntung. Itu lebih baik daripada indera keenam.
RIRIN! KEMBALI KE FILM! JANGAN MIKIR YANG MACEM-MACEM LAGI!
Beberapa saat kemudian...
Lama-lama aku ngerasa kalo aku laper. Padahal tadi sebelum ke sini aku makan siang dulu. Terus di dalem bioskop aku bawa camilan juga, tapi kenapa masih laper, ya? Oh, aku inget! Aku nggak boleh ngajak cupu-payah ini buat nemenin aku makan sehabis nonton. Nggak papa nyawaku terancam buat sebentar, asal dompetku nggak semakin terancam lagi ketebalannya.
Aku mulai berpikir kalo film ini sebentar lagi hampir selesai. Jelas, pahlawan-pahlawannya udah pada mulai bisa ngalahin tu monster. Mungkin sekitar lima belas menit lagi aku bisa pulang dan cari makan di jalan. Kaki lima cukup buat melebihtipiskan dompetku dan melebihtebalkan perutku. Pokoknya, Aras nggak boleh ikut.
Lima belas menit kemudian...
Filmnya beneran udah selesai. Aku beneran tambah laper. Tapi, apapun itu, filmya keren banget! Animasi sama aktingnya nggak main-main. Total abis. Total. Total banget. Lapernya juga total banget.
“Wah, bagus banget!” Aku sambil ngolet.
“Total banget.” Aras dengan nada datar.
Jleb. Dia ngomongin apa yang lagi aku pikirin. Aku bakalan gila kalo Aras jadi cupu-payah-yang-sok-misterius kayak gini. Dugaanku tentang Aras yang punya indera keenam nggak mungkin bener. Jarang banget ada orang yang punya indera keenam. Oh! Mungkin aja Aras termasuk dalam orang-orang yang jarang itu.
Nggak! Nggak! Nggak! Jarang atau nggak aku nggak peduli. Yang jelas Aras nggak boleh punya indera keenam. Aduh, kenapa aku jadi labil gini?
Tunggu. Kalo Aras punya indera keenam, ada dua hal yang bisa aku ambil: untung dan rugi.
Untung itu penjaga sekolahku. Bukan. Untung itu kalo misalnya pas Aras lagi jadi bodygoard-idola, dia bakalan tau apa yang akan terjadi selanjutnya jadi dia bisa menghindari hal-hal yang bakal bikin aku sama dia celaka, kemudian kita bisa lebih aman. Itu keuntungan pertama. Kedua, aku bisa tau siapa jodohku, aku bisa sekolah di ITB apa nggak, berapa nilaiku, dan kapan Aras bakal cabut dari kehidupanku. Seperti...
“Rin, kita jangan pergi dulu hari ini. Lulu bakalan dateng buat ngiket kamu dan buang kamu di negeri dongeng ajaib.”
“Rin, ini bukan hari yang baik buat kita pergi. Anggota FPA bakalan bakar rumahmu pas kamu pergi dan mereka mau nyulik orang tuamu terus ngirim kereka ke Malaysia buat jadi TKI.”
“Rin, di masa depan, kamu bakalan jadi arsitek sukses, lulusan ITB. Nilai UN kamu tertinggi di sekolah ini. Kamu bakal ketemu jodohmu di Bandung. Aku bakalan pergi dari kehidupanmu setelah lulus SMA.”
ITU MELEGAKAN BANGET!
Rugi. Aku punya hobi baru sekarang. Mikirin yang macem-macem tentang Aras. Mikirin yang macem-macem itu kayak sekarang ini. Mikir kalo dia punya indera keenam. Aku nggak tau gimana reaksi Aras kalo dia aku suruh ngungkapin. Aku bahkan nggak tau betapa nyeseknya dia nahan semua pikiran negatifku ke dia selama ini. Lebih parahnya lagi, aku baru sadar kalo selama ini aku terlalu jahat sama dia. Nuduh macem-macem tanpa dia pernah denger dan itu nggak pasti bener.
“Sakit, Rin. Sakit! Aku udah nggak tahan kalo kamu nuduh aku yang nggak-nggak kayak gini! Kamu nggak tau, ya, gimana nyeseknya jadi aku? Orang yang kamu sebut sebagai cupu-payah.”
“Aku nggak bisa jadi bodyguard-idola lagi. Aku udah capek dipojokin sama semua pikiranmu yang macem-macem tentang aku. Udah cukup, Rin.”
“Rin, tugasku jadi bodyguard-mu udah berhenti sampe di sini. Aku nggak mau jadi kambing hitam terus. Intinya, LO, GUE, END! Maaf, Rin.”
Aku ngebayanginnya kayak di sinetron-sinetron gitu. Aras ngomong berhenti jadi bodyguard pas lagi hujan-hujan terus dia lari ke arah yang nggak jelas dan ninggalin aku sendirian di bawah rinai hujan. Aku nggak berhenti-berhenti manggil Aras sambil nangis, terus pas udah putus asa aku jatuh dan tambah nangis lagi. Tapi, di situ nggak ada cowok lain yang mayungin aku kayak di film romantis gitu. Jadi, kisah khayalanku ini tragis!
“Rin!”
Aku gelagapan. Cupu-payah ini, oh nggak, Aras bangunin aku dari menghayal-tentang-kisah-tragis antara aku sama Aras. Kayaknya, hal lebay macam itu nggak akan terjadi. Dan mulai sekarang, aku berpikir tentang sesuatu yang lebih baik: nggak mikir macem-macem lagi tentang Aras.
Tiba-tiba, Aras narik tanganku sambil lari kayak maling kecoa yang diuber-uber sama warga sekampung. Kita lari ke arah yang aku nggak tau itu ke mana. Mau ngapain lagi dia? Belum puas kah dia nonton selama dua jam lebih? Nggak. Aku nggak boleh ngeluarin pertanyaan-pertanyaan macem itu lagi. Bakalan lebih nyesek lagi Aras.
“Araaaaas!!!”
Siapa yang manggil Aras? Itu kayak suara cewek. Anehnya, meskipun suara itu manggil-manggil Aras, dia tetep lari dan nggak mau berhenti. Apa jangan-jangan, itu anggota FPA yang tau kalo Aras sama aku nonton?
TUHAN! ITU BENER ANGGOTA FPA! RARA! Temen sekelasku juga. Ya, komplotannya Lulu. Apa-apaan dia ngejar-ngejar kita gini? Oh, aku lupa, anggota FPA, kan, tugasnya gini. Tugas yang menurut aku nggak penting: nguber-uber Aras sama cewek yang jalan bareng dia—kalo lagi jalan sama cewek—dan minta penjelasan atas semuanya. Kalo cewek itu udah nggak bareng sama Aras, mereka bakalan ngejar tu cewek sampe dapet dan ngabisin dia di tempat, jadi yang pulang ke rumah cuma namanya doang. Tragis. Jangan sampe hal kayak gitu terjadi sama aku.
Sekarang, yang aku sadari tu cuma aku lagi ditarik Aras buat lari sampe sejauh mungkin dan menghindari Rara. Ini nggak gampang. Udah hampir tiga taun aku sekelas sama Rara, yang aku tau dia punya kemampuan buat lari yang luar biasa. Mungkin aku nggak ada apa-apanya. Tapi, kenyataannya, aku sama Aras nggak bisa dikejar sama dia. Dia jauh di belakang—mungkin sekitar dua puluh sampe tiga puluh meter.
Jujur dari hati yang terdalam, aku ngerasanya nggak kenal sama sekali daerah ini. Aku nggak pernah ke sini. Bahkan, tau ada tempat ini aja nggak. Aku yang kurang gaul apa daerah ini yang emang nggak terkenal? Daerah in yang nggak terkenal.
“Araaaas!!! Ririiiiiin!!! Berhenti!!!”
Rara juga manggil aku. Wah, jangan-jangan aku bakal dibabat habis sama dia? Oh, nggak bener ini.
Tanganku tambah ditarik sama Aras dan dia terkesan mau ngancurin tanganku. Itu sakit. Aku mulai ngerasa kalo tanganku udah mati rasa saking kuatnya dia megangin tanganku. Jahatnya lagi, dia nggak peduli sedikitpun gimana capeknya aku lari-lari gini. Aku butuh istirahat sama butuh minum juga. Aku bukan unta yang bisa berhari-hari jalan di padang pasir tanpa butuh minum. Aku juga bukan semut yang nggak pernah nyerah buat kembali ke sarangnya sejauh apapun dia nyasar dari sarangnya.
Aku nggak tau udah berapa ratus meter aku sama Aras lari. Di belakang, Rara masih belum nyerah buat ngejar aku sama Aras seakan dia itu macan yang beneran kelaparan dan lagi ngincer dua ekor kancil yang lagi nyuri timun.
“Ras, apa kita buronan?” aku nyeplos sebisanya aku napas. Nyesek.
“Kenapa?”
“Capek. Istirahat dulu, yuk?”
Aras tetep lari seolah dia nggak denger apa yang aku minta barusan—kurang ajar. Tiba-tiba dia belok dan nyaris bikin aku jatuh karena kesandung. Aku seneng karena dia belok ke minimarket. Aku bisa beli minum dan nggak harus jadi unta. Aku bisa istirahat dan nggak harus jadi semut. Bener-bener melegakan.
Aku sama Aras langsung duduk di kursi deket mesin kasir. Kita kayak cacing kepanasan. Kayak manusia yang nyasar dari negeri antah berantah dan nggak tau jalan pulang. AC di dalem supermarket ini nggak berguna kalo nggak ditaruh di depan mukaku pas. Di sini, harga diri, rasa malu, semua nggak penting. Minum paling penting. Masa bodoh orang-orang itu mau ngeliatin aku sama Aras dengan pandangan aneh sampe jijik sekalipun, silakan. Aku ke sini cuma mau beli minum.
“Maaf, mbak, mas. Bisa dibantu?” Seorang pegawai dateng dengan tampang nggak sopan-nahan ketawa. Maksudnya apa?
“Mas, minum dong!” Aras langsung nyaut.
“Minum apa?”
“Apa aja. Dua botol, ya. Yang dingin!”
Wah, pas banget ini. Panas, capek, keringet, bau, sakit, jadi satu. Badanku bisa ancur lebur ini besok.
Dua botol air mineral ukuran reguler dateng dan siap dihabisin. Mereka bener-bener keliatan cocok banget buat dijadiin sebagai penghilang haus. Air dingin yang keluar dari botol dan ngalir dengan lancar jaya itu bikin tenggorokanku makin kering. Aku nggak peduli Rara bakalan nemuin aku sama Aras di sini dan ngabisin aku. Toh, nanti yang habis duluan si Aras, kan? Puas!
***
Sejak insiden kejar-kejaran sehabis nonton kemaren, aku nggak berani pergi ke luar lagi belakangan ini, sekalipun itu sama Aras. Selain tanganku yang nggak perlu kesakitan buat kedua kalinya, aku juga nggak mau nyawaku terancam lagi. Mereka semua keliatan semakin ganas dan semakin pengen buat ngancurin hidupku.
Sedikit cerita soal anggota FPA, mereka semua semakin benci sama aku. Mungkin Rara udah ngasih pengumuman dan semua anggota FPA tau. Aku berasa nggak punya temen lagi di sekolah ini. Aku berasa jadi enemy of the year. Bahkan anak cowok juga banyak yang benci aku. Satu alasan terkuat yang bikin mereka benci aku yaitu cewek-cewek mereka jadi lupa sama cowok mereka dan sibuk ngurusin rencana gerilya di rumahku.
Beberapa hari lalu, ada sms masuk. Isinya bilang kalo karena aku, ceweknya jadi suka ngelampiasin kemarahannya ke cowoknya. Itu tragis dan aku nggak nyangka bakal sejauh itu. Cowok yang sms aku juga bilang kalo karena Aras, ceweknya jadi minta putus. Cuma cowoknya nggak mau. Masalahnya di sini, yang disalahin Aras kenapa smsnya ke aku? Lucu. Banget.
Oh, satu lagi. satu sms masuk lagi ke hp-ku. Itu dari seorang cewek kelas sebelas, namanya Muti. Dia bilang kalo dia punya pacar anak cowok kelas dua belas. Cowoknya itu suka aku. Terus karena cowoknya pacaran sama dia tanpa berlandaskan suka sama suka—karena cowoknya suka aku—jadilah tu cowok dengan gampang mutusin Muti karena aku. Kalo ini wajar karena ini aku penyebabnya. Tapi, pertanyaannya, kok ada anak kelas sebelas berani kayak gitu sama anak kelas dua belas? Cinta emang buta.
Soal tanganku, sampe sekarang belum sembuh. Masih diperban, masih sakit. Aku baru nyadar setelah sehari kemudian. Pas aku mau nulis, tiba-tiba tangaku rasanya kayak diremukin. Sakit banget. Kata dokter, tulang pergelangannya geser dan sedikit retak. Jadi, aku harus dioperasi terus pake perban kayak sekarang. Aku juga harus terbiasa buat nulis pake tangan kiri. Tulisanku yang sekarang jadi keliatan seperti...bukan ceker ayam, tapi seperti...lintah yang mulai mengkerut kalo dikasih garam. Jelek.
Tanganku sakit karena Aras. Aku harus dioperasi juga karena Aras. Aku harus nulis pake tangan kiri karena Aras. Tulisanku jelek juga karena Aras. Singkatnya, Aras tu masalah dari kehidupanku. Nyesel banget ngajakin Aras nonton. Aku tau kalo Aras nyoba buat ngelindungi aku, tapi nggak harus ngancurin tanganku juga.
Sekarang, aku udah mulai terbiasa sama tatapan maut mereka—itu bukan tatapan ngancem lagi. Aku juga udah nggak merasa takut atau terganggu lagi. Udah seperti sarapan, itu kegiatan sehari-hariku. Diliatin kayak gitu malah bikin aku ngerasa aku ini orang yang paling diperhatiin. Senangnya.
Begitu terbiasanya, aku malah sering nggak sadar kalo mereka mau nerkam aku. Aras yang sukanya ngingetin aku buat waspada sama mereka juga jadi lupa sama tugasnya. Mereka bukan keliatan sebagai ancaman lagi saat ini. Aku menikmati itu semua. Aras bilang kalo kita jangan terlalu mikirin apa yang mereka lakukan saat ini. Mereka mau ngeliatin, mau nerkam, mau ngapain aja—kecuali mau ngebunuh aku dan orang tuaku—aku nggak boleh peduli.
Kembali ke dunia nyata, aku masih nyoba buat ngebiasain diri nulis pake tangan kiri. Susah. Tapi aku harus nyoba biar nggak ketinggalan pelajaran. Apalagi aku udah kelas dua belas. Nggak merhatiin guru sama aja cari mati. Sama aja masuk ke dalam forum anggota FPA dan ngejekin mereka—yang artinya cari mati juga.
Oh, Tuhan! Pak Suto cepet banget sih diktenya? Nggak tau, ya, di sini ada yang nggak bisa nulis?
Nggak nyangka, Aras megang tanganku. Bikin aku berhenti nulis di saat genting kayak gini. Mau apa dia? Mau bikin aku nggak lulus? Mau bikin aku mati? Apa mau bikin orang tuaku nyuruh aku minggat dan nggak ngakuin aku sebagai anaknya karena aku nggak lulus? Aku lebay? So what?
“Hei! Apa-apaan? Aku perlu nyatet ini.”
“Nggak usah. Aku yang nyatet buat kamu. Biarin aku jadi tanganmu sampe kamu sembuh.”
Dia ngomong gitu lagi. Hal yang paling bikin aku speechless. Jujur, ya, aku mau banget dicatetin gitu. Cuma, apa aku nggak tambah dibenci sama anggota FPA? Mungkin nggak kalo aku jadi enemy of the world? Kayak monster dari planet lain yang berusaha buat ngancurin bumi jadi harus dibasmi sama pahlawan-pahlawan super macam The Avengers.
Apapun itu, aku harus nyoba sendiri. Kalo nggak, aku nggak akan bisa dan harus ngandelin orang lain buat ngelakuin sesuatu yang aku pengen lakuin.
“Tapi...”
“Berhenti nulis.” Suara Aras lirih, tapi masih kedengeran.
“Nggak. Aku mau nyoba sendiri.”
“Berhenti aku bilang.”
“Aku nggak bisa berhenti.” Kayak kereta api.
“Aku bilang berhenti!” Aras kedengeran marah.
“Aku nggak akan bisa kalo aku nggak nyoba sendiri.” Aku tetep nggak mau dibantu.
“Ririn, berhenti!” Suara Aras masih lirih tapi tegas.
“Nggak.”
“Kamu masih mau ngelanjutin tulisanmu yang jelek itu?”
Sialan. Maksudnya apa coba ngehina gitu? Toh, tulisan tangan kiriku lebih bagus dari tulisan tangan kanannya Aras
“Iya! Kenapa!?”
“Jangan.”
“Kenapa?” Aku mulai sebel sama cupu-payah ini.
Oh, soal indera keenam itu, aku dapet fakta kalo Aras nggak punya. Aku tanya dia dan dia bilang nggak punya. Aku bersyukur banget karena semua yang aku bayangin soal berhenti jadi bodyguard-idola dan nangis ditengah hujan nggak terjadi. Satu hal yang bikin sedih, aku nggak bisa tau masa depanku gimana.
Cupu-payah ini masih bandel megangin tanganku.
“Aku bilang jangan. Kamu boleh ngelakuin hal yang kamu mau kalo aku nggak ada.”
“Aras, please deh. Ini tu nggak sesakit yang kamu bayangin. Lagian yang sakit itu tangan kananku. Bukan tangan kiri. Jadi nggak usah berlebihan gini.”
“Berhenti nulis!” Cupu-payah-keras-kepala.
“Nggak!” Aku berani teriak.
“Hei! Ririn, Aras! Ada apa?”
Suara Pak Suto bikin kaget. Sedetik, aku sadar kalo anak-anak cewek lagi ngeliatin aku sama Aras. aku harus cari alasan biar nggak dipermalukan. Tapi, sedetik lagi aku sadar kalo Aras megangin tanganku. Aku buru-buru ngelepas dan nyembunyiin tanganku di bawah meja.
“Eh, tadi Aras nyenggol tangan saya terus saya kaget terus teriak, Pak. Maaf, Pak.”
Sebisa mungkin aku bikin alesan nyang masuk akal sekalipun itu masuk akal buat aku tapi nggak masuk akal buat Pak Suto.
“Memangnya tangan kamu kenapa?”
Bener-bener! Perasaan aku udah pernah bilang kalo tanganku sakit tapi nggak diperhatiin. Kurang jahat apa coba guruku yangg satu ini?
Aku buru-buru ngangkat tangan kananku dan nunjukin ke Pak Suto sementara Aras diem aja. Ngebiarin aku perlahan-lahan masuk ke kandang macan tutul. Ini seperti dihakimi sendiri.
Dari ekspresinya, Pak Suto kayaknya sadar kalo ada sesuatu yang salah. Bener banget. Tadi diktenya kecepetan dan beliau lupa kalo aku pernah ngomong ke dia soal tanganku ini. Pak Suto pasti tau aku nggak bisa nulis cepet.
“Baik. Kalau begitu, catatan kita berhenti sampai disitu dulu. Kita lanjutkan lain kali. Sekarang, keluarkan buku paket kalian dan buka halaman delapan puluh sembilan.”
Aku beruntung. Terima kasih Pak Suto yang baik hati.
***
Tanganku masih belum sembuh. Aku udah terbiasa nulis pake tangan kiri sekarang. Ya, meskipun masih jelek, aku bisa pokoknya. Aras juga ngerti apa mauku: nggak dibantu buat ngelakuin hal-hal yang aku pengen lakuin. Selama aku masih bisa, Aras nggak perlu ngebantu. Dia cukup ngawasin aku aja. Di rumah juga ada orang tuaku yang selalu siap jagain aku.
Masalah FPA, makin hari kayaknya mereka makin nggak santai ngeliatinnya. Itu menandakan kalo artinya mereka makin benci sama aku. Aku masih heran. Kenapa yang dibenci cuma aku, ya? Kenapa mereka nggak benci sama Aras? Oke, aku tau mereka emang fansnya Aras. Tapi, ada lah pasti, satu saat dimana si idola bikin kesalahan dan fans-nya berubah seratus delapan puluh derajat jadi haters. Aku nggak menemukan itu di kasus ini. Justru di masalah ini malah aku yang lebih disalahin dan jadi kambing hitam sendiri. Nggak adil.
Seandainya mereka tau yang sebenernya, tau kalo yang minta jadi bodyguard itu Aras, pasti mereka bencinya bakalan ke Aras, bukan aku. Meskipun itu nggak adil buat Aras, tapi karena dia yang mulai itu jadi adil, kan?
Sampe detik ini, aku penasaran soal something-important yang bikin mereka semua ngejar-ngejar Aras. Keren nggak, ganteng nggak, pinter nggak tau, cupu-payah lagi. Toh, kalo misalnya Aras mau sama mereka, mereka nggak bisa ngerebutin satu orang. Aras juga nggak bisa macarin mereka semua sekaligus. Kalo mau dipacarin satu-satu, suatu saat pas satu putus terus ganti yang lain, nanti malah perang saudara. Apa mau aras dibagi-bagi macem daging kurban? Itu nggak akan berhasil.
Kalo diitung-itung, anggota FPA itu bisa lebih dari enam ratus orang. Mari dilihat. Jumlah siswa kelas sepuluh ada sekitar 280 orang. Dari segitu, ceweknya sekitar 180-190. Nah, kalo semuanya jadi anggota FPA, aku udah dapet hampir 200.
Terus kelas sebelas. Ada sekitar 300 orang. Ceweknya mungkin 190-200. Kalo dijumlahin, aku dapet hampir 400 orang.
Terakhir, kelas dua belas. Siswanya lebih banyak dibandingin sama kelas sepuluh sebelas. Ada mungkin sekitar 320. Kalo ceweknya yang aku tau ada 210 orang. Kalo semua suka Aras, jadi totalnya berkisar sampe di angka 610. Itu belum kalo ada cowok nggak waras yang suka sesama jenis. Terus belum kalo ada guru perawan yang lagi mencari cinta dan jatuh cinta sama Aras. Mungkin sekitar 609 kalo dikurangi aku.
Itu angka yang fantastis. Bayangin kalo Aras diperebutkan sama 609 orang, nggak logis!
“Rin!”
Aku gelagapan—lagi. Aku melamun, ya?
“Ya?”
“Ngelamunin apa, sih?”
Iya, aku melamun. “Nggak kok.”
Soal FPA yang super banyak itu, aku harus tanya Aras. Siapa tau dia pernah ngecek jumlah anggota FPA.
“Eh, Ras, aku mau tanya. Nggak penting, sih. Cuma mau tanya soal anggota FPA. Ada berapa mereka semua?”
“Jadi kamu ngelamunin itu dari tadi?”
“Nggak kok,” beberapa saat kemudian, “eh, iya.” Aku jadi labil.
Aras senyum ke arahku. “Aku udah bilang, aku nggak punya urusan sama mereka. Mau sebanyak apapun mereka, aku nggak peduli.”
Jawaban yang bijak menurutku. Tapi, nggak terlalu jahat kah si Aras?
“Mungkin kedengeran jahat. Aku sadar. Tetep aja aku nggak akan peduli. Kalo gini caranya, kalo mereka jadi fans aku, malah mereka yang jahat. Di kasus ini, mereka bikin aku dalam bahaya. Mereka bukannya ngelindungi aku sebagai idola, mereka malah bikin aku terancam sama keberadaan mereka. Aku jadi serba salah buat ngelakuin apa yang aku mau kalo aku peduliin mereka. Maka dari itu, aku dengan berani jadi bodyguard-mu karena aku nggak peduli sama mereka.”
Aku cuma bisa angguk-angguk. Jadi, di sini aku yang terlalu mempermasalahkan semuanya? Aku yang terlalu lebay dan alay? Tapi, kalo Aras nggak peduli, ngapain kemaren dia ngajakin aku lari sampe segitunya? Sampe ngeremukin tanganku pula.
“Kalo kamu nggak peduli, kenapa kemaren kamu ngajakin aku lari dari Rara? Kan, kita bisa ngejelasin ke Rara baik-baik.”
“Aku tau kamu bakal tanya ini. Soal itu, Rara pasti bakalan tanya yang macem-macem. Aku berpikir kalo dia itu mata-matanya FPA sekarang. Dia nggak akan biarin kita tidur dengan tenang kalo kita belum jawab semua pertanyaannya. Soal tanganmu, aku nggak nyangka kalo sampe kayak gitu. Aku bener-bener nggak sadar. Aku cuma mau ngelindungi kamu. Maaf, ya.”
Akhirnya! Setelah sekian lama nunggu! Cupu-payah ini minta maaf! Kenapa nggak dari kemaren-kemaren? Kenapa harus nunggu momen serius kayak gini? Idiot!
“Awalnya, aku nggak bisa terima semua ini. Aku jadi nyalahin kamu tentang semua yang terjadi. Aku nggak bisa nulis karena kamu, tulisanku jelek karena kamu, aku nggak bisa ngelakuin semuanya dengan bebas karena kamu, aku diuber-uber kayak maling ayam karena kamu, aku berpikir semuanya karena kamu. Ya, emang karena kamu. Tapi, nggak berguna juga. Udah terjadi dan nggak bisa kembali. Makasih, ya. Karena udah bikin aku ngerasa terlindungi.” Aku senyum.
“Iya.” Aras bales senyum.
Senangnya bisa saling terbuka kayak gini. Sekarang, saatnya kembali ke pelajaran karena bel udah bunyi.
***
Hari Minggu yang menyenangkan. Sampai tiba-tiba...
“Ririn, hari ini kamu bisa ke dokter sendiri, kan? Ibu sama Ayah mau ke rumah Eyang dulu. Nenek sakit. Bisa, kan?”
Petir-siang-bolong lagi!? Aku nggak berani keluar rumah kalo nggak ada yang nemenin. FPA lagi gerilya ini.
“Ibu! Kenapa nggak bilang dari tadi malem?”
“Ayah sama Ibu baru dikabarin tadi pagi. Jangan manja, ah.”
“Ke dokternya kalo Ayah sama Ibu dah pulang aja.”
“Ayah sama Ibu nginep. Pulangnya besok malem.”
Aku merengut. “Ah, Mas Ardi mana?”
“Ada tugas kuliah. Apa kamu minta temenin Aras?”
Kenapa Ibu pake nyebut-nyebut nama Aras? Ya, emang Ibu tau kalo Aras jadi bodyguard-ku. Tapi, apa Ibu sama Ayah lupa kalo mereka hampir kehilangan aku karena Rara? Jangan-jangan mereka emang mau aku dihabisin sama anggota FPA yang lagaknya udah kayak preman pasar itu?
“Ibu, Ibu sama Ayah lupa, ya, gimana keadaanku terakhir kali aku pergi sama Aras?”
Ibu cuma mangap sambil ngangguk-angguk tanpa ngasih solusi. Itu jahat. “Tapi, di rumah sakit banyak satpam, kan? Kamu bisa minta perlindungan sama satpamnya.”
SATPAM APA, BU!?
“Udah, ya. Kamu telepon Aras aja. Ayah sama Ibu pergi dulu. Oh, uangnya ada di lemari belakang. Ambil sesuai kebutuhan aja. Kalo mau pergi pamit Mas Ardi dan kalo pas Mas Ardi nggak di rumah, jangan lupa matiin lampu sama kunci pintu.”
Ini lagi, Ayah juga nggak ngebantu malah ceramah. Aku udah tau apa yang aku harus lakuin kalo Ayah, Ibu, sama Mas Ardi lagi nggak di rumah. Udah sejak aku kelas lima, yang artinya udah hampir delapan taun aku ngelakuin kebiasaan itu—kunci rumah dan matiin lampu kalo mau pergi dan pas nggak ada orang di rumah.
“Iya, Ayaaah! Hati-hati!”
Segeralah aku sendirian di rumah. Tunggu! Kenapa aku nggak tanya Mas Ardi pulang jam berapa? Kan, bisa minta dianterin. Ah, Ririn. Kamu kok jadi ketularan idiotnya Aras?
Yah, nggak aktif lagi nomernya Mas Ardi. Ini maksudnya apa? Aku ditelantarin gitu sampe besok malem? Aku harus jagain rumah, sendirian di rumah? Kalo ada maling gimana? Aku nggak berani ngadepin tu maling. Aku nggak pinter bela diri. Tuhan, aku harus gimana? Nggak mungkin aku telepon Aras. Aku nggak mau ketemu salah satu anggota FPA dan dicabik-cabik pake pisau operasi di rumah sakit. Aku nggak mau.
Tapi...
Hp-ku bunyi. Itu telepon dari Aras—aku udah punya nomernya Aras sekarang. Mau apa dia? Telepon di saat aku lagi ngomongin dia.
“Halo.”
”Rin, ayo!”
“Ayo? Kemana?”
“Katanya mau ke dokter?”
Kok dia bisa tau, sih? Apa Ibu telepon Aras? Dari mana Ibu tau nomer Aras?
“Kok kamu bisa tau?”
“Kemaren kamu bilang, kan? Ayo! Aku udah di depan rumahmu.”
Sejak kapan!? Aku bingung! Aku langsung lari ke luar. Bener aja. Aras udah standby di depan rumahku dengan motor bebek yang masih kinclong. Kalo misalnya kemaren aku bilang hari ini mau ke dokter, aku nggak mungkin bilang aku mau dianter dia, kan?
“Aku nggak bilang aku minta kamu anter, kan?”
Aras ngangguk-angguk. Syukurlah. “Ayo!”
“Tunggu bentar. Aku ganti baju dulu!”
Nggak sampe lima menit—mungkin—aku udah ganti baju. Pake celana jeans belel yang belum aku cuci sekitar satu bulan dan pake kaos abu-abu sama kardigan biru muda. Pake sendal jepit jelas nggak pas—nggak lucu juga. Pake sepatu-nyaris-butut baru pas. Oh, aku juga udah matiin lampu sama ngunci pintu sesuai perintah Ayah dan ngambil semua uang yang Ayah taruh di lemari belakang. Jumlahnya nggak akan terduga kalo aku nggak bilang.
Di rumah sakit, aku langsung daftar dan dapet urutan ke-99. Sekarang yang lagi masuk urutan ke-80, karena aku belum makan siang, aku ngajakin Aras makan siang di kantin. Seperti perjanjian sebelumnya, aku yang bayarin Aras makan siang. Seperti perjanjian juga, aku cuma bayarin sepuluh ribu. Selebihnya ditanggung sendiri.
“Drrrrttt...drrrrttt...drrrrttt...” hp-ku geter. Itu telepon dari Mas Ardi. Kemana aja dia?
“Halo.”
“Halo. Ada apa, Dek?”
“Mas, kemana aja? Kok nggak aktif tadi?”
“Maaf. Tadi hp Mas mati. Baru bisa nge-charge sekarang. Ada apa?”
“Oh. Aku cuma mau tanya Mas pulang jam berapa?” Aku nengok ke arah Aras. Dia ngeliatin aku lekat-lekat. Apa-apaan cupu-payah ini? “Apa?” Aku ngomong ke Aras tanpa suara.
Aras cuma geleng-geleng dengan tampang idiot.
“Mas pulang besok siang, Dek. Lagi ngerjain tugas kuliah di rumah temen. Gimana? Nggak pa-pa, kan?”
Tu kan. Bener apa yang aku prediksi. Aku bakal di rumah sendiri. Jagain rumah dari maling-maling kurang ajar yang mau nyuri barang-barang di rumahku. Apa perlu aku nggak perlu tidur semaleman buat jaga rumah? Tapi, paginya aku upacara. Nggak lucu banget kalo pas upacara aku jatuh tertidur. Beneran, nggak lucu.
“Mas, Mas nggak tau, ya, Ibu sama Ayah pergi ke rumah Eyang. Pulangnya baru malem. Aku nggak berani di rumah sendiri sampe besok. Kalo ada maling gimana? Nggak bisa berantem juga aku.” Aku mencari belas kasihan disini. Miris.
Mas Ardi diem bentar. Dan ngomong sesuatu sama temennya. “Ya, udah. Ntar malem jam sebelas Mas pulang tapi temen Mas mau nginep. Kamu lagi dimana?”
Huh, akhirnya. “Di rumah sakit.”
“Rumah sakit!? Kamu kenapa, Dek!?” ini Mas Ardi nggak santai. Langsung teriak, suaranya kayak lagi ngomong pake pengeras suara di sekolahku.
”Cuma kontrol doang, Mas. Santai aja.”
“Oh, kukira. Kamu sendiri?”
“Enggak. Sama Aras.”
“Kalo gitu, Aras mana?”
“Mau apa, Mas?”
“Kasih hp-mu ke Aras. Mas mau bicara sama dia.”
Sesuai permintaan, hp-ku langsung aku sodorin ke Aras. Aku nggak berharap Mas Ardi mau marah-marahin Aras karena udah bikin tanganku dioperasi dan bikin aku nyaris mati.
“Apa ini?”
“Mas Ardi mau ngomong.”
Aras ngambil hp-ku dan langsung berubah seratus delapan puluh derajat jadi super sopan. Takut atau hormat?
Aku penasaran sama apa yang mereka omongin. Dari awal telepon Aras cuma bisa bilang ‘ya’ sambil ngangguk-angguk. Sekali doang aku denger dia ngomong yang agak panjang. Kayak ngomong ‘aku usahain’. Apa jangan-jangan Mas Ardi lagi marahin dia? Apa Mas Ardi ngomong kalo jangan bawa aku ke dalam bahaya terus suruh jagain baik-baik jadi dia ngomong gitu? Ah, kok Aras dimarahin Mas Ardi, sih? Aku jadi nggak enak ini.
Cukup lama mereka ngomong. Ada sekitar lima menit. Apa yang Mas Ardi omongin sama Aras? Tapi, semakin lama ekspresi Aras makin berubah. Jadi keliatan kayak ekspresi dia sehari-hari—datar. Bukan ekspresi takut karena dimarahin Mas Ardi.
Setelah telepon itu diputus, Aras langsung balikin hp-ku.
“Kalian tadi ngomongin apa? Nggak dimarahin Mas Ardi, kan?”
“Nggak. Mas Ardi nyuruh aku nemenin kamu sampe malem. Katanya, Mas Ardi lagi di rumahku. Ngerjain tugas kuliah sama Mas Aris. Terus karena Mas Aris mau nginep di rumahmu, aku juga boleh ikut. Sekalian ngejagain kamu gitu. Katanya lagi, aku harus bikin kamu terhindar dari anggota FPA kalo kamu ngajak main ke luar sehabis dari rumah sakit. Singkatnya itu.”
Jadi, Mas Aris, temennya Mas Ardi, itu kakaknya Aras? Ini nggak seperti dunia itu luas ternyata. Tapi, Aras mau nginep rumahku!? Nggak bener!
“Ha!? Kamu mau nginep di rumahku!? Yang bener aja. Kalo cewek sama cowok yang belum nikah tinggal dalam satu rumah yang sama, pasti tetangga bakal mikir yang aneh-aneh. Nggak! Nggak boleh!”
“Hei, apa ada yang mau kayak gitu? Bukannya ada Mas Ardi sama Mas Aris? Aku tadi bilang kalo karena Masku, Mas Aris, nginep di rumahmu, aku jadi boleh nginep di rumahmu, Nona Ririn. Makanya dengerin baik-baik. Paham?”
Oh, bener. Tadi Aras bilang gitu. “Aku yang salah kalo gitu.”
“Huh. Ya, udah. Balik, yuk. Sapa tau kamu bentar lagi masuk.”
Kayaknya ngabisin seharian sama Aras bakal ngebosenin. Yang aku harapkan cuma nggak ada satupun anggota FPA yang aku temui. Itu aja.
Pas sampe di depan ruang dokter pas banget aku dipanggil. Jadi nggak harus duduk-dalam-diam bareng Aras. Tapi, Aras malah ikut masuk ke dalem. Mau apa dia?
“Eh, Ririn. Gimana? Masih susah nulis pake tangan kiri?”
Dokternya sampe hafal aku saking seringnya aku dateng ke sini. “Nggak kok, Dok. Udah lumayan terbiasa.”
“Baguslah. Coba sini saya cek.”
Aku langsung nyodorin tanganku ke Dokter. Dibuka perbannya dan dipencet-pencet. Aku lebih berkeinginan kalo tanganku udah sembuh sekarang. Sembuh total biar aku bisa ngerasain gimana enaknya nulis pake tangan kanan dan bisa ngeliat tulisanku yang dulu. Termasuk bisa ngelakuin segala sesuatunya dengan tangan kanan. Aku kangen tangan kananku!
“Gimana, Dok? Udah sembuh?”
“Oh. Perban kamu sebenernya udah bisa dilepas meskipun belum sembuh total. Cuma buat menghindari hal-hal yang nggak diharapkan, kamu masih harus diperban sampe beberapa hari ke depan. Mungkin seminggu. Ya, itu tergantung kamunya. Kamu bisa nggak pake perban kalo kamu bisa jagain tangan kamu dengan baik. Apa keputusanmu?”
Di satu sisi, aku pengen banget bisa latian nulis pake tangan kanan dan tanpa ada ganjelan. Tapi, aku khawatir kalo suatu saat, para anggota FPA itu tau apa yang terjadi sama tanganku dan berusaha buat ngancurin tangan kananku. Oke, ini keputusanku. Sebijak mungkin aku harus bisa milih!
“Diperban aja, Dok. Tapi, perbannya nggak tebel-tebel, kan?”
“Nggak kok. Cuma buat ngamanin aja jadi nggak tebel. Jadi, diperban?”
“Iya, Dok.”
Dokter Budi langsung bilang ke suster buat ngambil perban baru dan setelah perbannya dateng tanganku langsung dibalut. Kenceng banget.
“Sebenernya, tangan kamu kenapa kok bisa jadi gini? Sejak awal saya nangani kamu, saya belum pernah denger alesan kamu sakit gini. Kenapa, sih?”
Aduh, kenapa tanyanya pas momen nggak bagus gini? Pas ada Aras. Ngarang, satu-satunya jalan biar Aras nggak ngerasa semakin bersalah.
“Jadi...”
“Jadi,” Aras nyerobot, “waktu itu saya lagi sama Ririn. Tiba-tiba kami dikejar sama orang. Saya mau sembunyi, tapi saya nggak mungkin ninggalin Ririn sendirian. Terus, saya tarik Ririn dan saya ajak lari bareng saya. Saya nggak tau kalo sampe begini jadinya, Dok. Ini kesalahan saya.”
Ekspresi Dokter Budi keliatan kaget. “Kamu, kuat banget, ya. Sampe bikin tangannya Ririn nyaris hancur begini.” kata Dokter Budi sambil bercanda.
“Maaf, Dok.”
Aku langsung nengok ke Aras. Kacamatanya berkilat kena cahaya matahari sore dari jendela rumah sakit. Aku nggak bisa baca ekspresi Aras kalo aku nggak bisa liat matanya. Ah, sial! Karena pertanyaan itu aku jadi nggak enak sama Aras. Harusnya tadi Aras nggak ikut masuk ke dalem. Harusnya Dokter Budi nggak usah tau aku jadi begini kenapa. Kurang kerjaan banget tanya-tanya gitu.
Dokter selesai sama tugasnya—bungkus pergelangan tanganku. Dia ngasih resep dan bilang kalo aku harus kembali ke sini seminggu lagi.
Aku sama Aras keluar dari ruang dokter dan diem aja selama perjalanan ke tempat pengambilan obat. Apa yang terjadi sama Aras sekarang? Aku tau, banyak yang Aras pikirin selama ini. Keselamatanku, tanganku, dan aku yang nggak bisa nulis pake tangan kanan. Mungkin Aras juga ngerasa bersalah, aku tau banget. Karena Aras selalu nyoba buat ngebantu aku untuk ngelakuin sesuatu sekecil apapun itu. Meskipun dia nggak pernah keliatan peduli sama FPA, secara nggak langsung, dengan Aras jadi bodyguard-ku, itu udah nunjukin kalo dia punya urusan dan peduli sama yang anggota FPA lakuin. Aras terlalu khawatir, jadi dia peduli.
Dia udah berkerja keras selama lebih dari lima bulan belakangan ini. Bukannya udah banyak banget yang terjadi selama lima bulan lebih itu? Aku pikir dia cukup tertekan sama semuanya. Seenggakpedulinya dia sama perbuatan FPA, dia masih aja nyoba buat ngajak aku menghindar dari mereka. Aras selalu aja nyari alesan setiap aku sama dia harus sembunyi kalo ada anggota FPA yang dateng. Seharusnya, kalo dia nggak peduli, dia bisa jelasin ke mereka tentang apa semua ini. Aras nggak bisa bohong sama aku tentang itu semua.
Tapi, kalo Aras nggak mau jujur, it’s okay. Aku nggak bisa ganggu privasi dia. Aku juga nggak bisa ngerusak zona nyaman dia dengan tanya-tanya soal dia peduli apa nggak sama anggota FPA. Pentingnya, sekarang aku udah bisa nebak apa yang Aras rasain.
Tunggu! Kok aku peduli, ya, sama Aras? Idiot!
***
Habis dari rumah sakit, aku nggak mau pulang ke rumah. Aku memutuskan buat ngajak Aras ke supermarket soalnya tadi aku dapet sms dari Mas Ardi buat belanja dan masak buat dia dan temennya—Mas Aris yang juga kakaknya Aras. Aras juga milih buat nginep di rumahku, jadi aku juga harus masak buat dia.
Sampe di supermarket udah jam setengah tujuh. Aku cuma punya waktu belanja sampe jam delapan atau setengah sembilan. Sekarang, aku nggak tau mau masak apa. Setauku, Mas Ardi suka banget kalo aku masakin sop seafood. Oke, dapet satu menu. Aku, aku suka banget makan bakso seafood. Ya, emang aku sama Mas Ardi suka makanan yang berbau seafood. Anehnya, Ayah sama Ibu malah nggak begitu suka. Dapet satu menu lagi. Menu ketiga dan keempat aku tinggal tanya Aras.
“Ras, kamu sama Mas Aris suka makanan apa?”
“Mmm...kalo aku suka makan apa aja, sih. Mas Aris sukanya nasi goreng. Nasi goreng rasa apa aja.”
“Kalo seafood?”
“Boleh. Nasi gorengnya juga seafood juga boleh.”
Wah, gampang ini. Nanti aku tinggal masak bakso sama sopnya yang lebih banyak dari porsi asliku sama Mas Ardi. Biar Aras juga kebagian. Tapi, kalo Aras suruh makan tiga-tiganya, apa dia nggak teler?
“Kamu mau bakso seafood, sop seafood, apa nasi goreng seafood?”
“Sama aja. Terserah kamu aja.”
“Nggak bisa! Pilih satu!”
“Apa, ya? Sop aja.”
“Oke. Kalo gitu, ayo kita ke tempat ikan! Terus ke sayur-sayuran sama buah-buahan. Oh, ke tempat minuman juga. Ayo!”
Aku main dorong-dorongan trolley. Tapi, Aras nggak ikut. Demi jaga image, dia rela banget nggak ikut aku mainan. Dia nggak bisa ngerasain betapa serunya mainan di supermarket kayak gini. Maklum, bawaan kecil. Dari pertama kali aku diajak Ibu ke supermarket, aku udah jatuh cinta sama trolley. Selalu aja aku yang naik kalo misalnya pergi belanja ke supermarket bareng Ibu, Ayah, sama Mas Ardi.
Sayangnya, itu udah dulu banget. Aku udah nggak bisa menikmati lagi gimana serunya naik trolley yang kadang-kadang didorong sama Mas Ardi. Ini lebih baik. Dorong trolley dan ngerasain gimana rasanya jadi Mas Ardi yang dengan suka rela dorongin trolley yang isinya aku dan sayuran segala macem. Itu pasti berat banget.
“Ras, ayo mainan!”
Aras cuma geleng-geleng dan senyum.
“Hu!”
Akhirnya, sampe di tempat seafood. Aku langsung tertarik sama udang galah yang gede-gede itu. Wah, sosis kepitingnya juga seger banget. Itu! Cumi-cumi sama guritanya! Aku bingung antara cumi-cumi atau gurita. Dan, di sana! Kerang juga ikan seger. Itu juga! Berbagai macem bakso dari daging hewan laut ada di sana! Waaah! Aku pengen beli semuanya!
“Aras! Di sana! Kamu ambil udang galah delapan ekor. Pilih yang gede dan seger. Terus di sebelahnya ada sosis kepiting. Kamu ambil dua puluh biji. Oh, bantu aku milih. Mana yang lebih baik? Gurita apa cumi-cumi?”
“Aku lebih suka gurita.” Aras sambil ngangkat bahu.
“Oke. Terus aku mau tanya lagi. Enak pake kerang apa nggak? Terus ikannya ikan apa?”
“Bukannya kamu yang mau masak, ya? Kenapa masih bingung?”
“Aku nggak bisa nurutin selera individual. Aku harus nurutin apa mau tamuku. Cepetan jawab!” Aku narik-narik lengan kemeja panjang Aras.
“Mari kita lihat. Kalo sop seafood yang pernah aku makan, isinya itu nggak ada kerang. Ikannya pake ikan gurame. Sejauh itu aku ngerasa kalo itu enak. Gimana kalo kerangnya dibikin asem manis aja?”
Wah, gila! Aras ternyata punya selera makan yang bagus. Sangat membantu. “Baiklah. Berarti, kita harus beli bawang bombay sama saos. Kebetulan di rumahku saosnya lagi habis.”
“Boleh.”
“Ya, udah sana! Cepetan ambil udang sama sosis kepitingnya. Aku ambil ikan, kerang, gurita sama bakso-baksonya. Cepetaaan!” Aku nggak sabar dan dorong Aras ke arah yang aku mau.
Lima belas menit, aku sama Aras selesai di bagian bahan pokok. Sekarang ke bagian sayuran. Aku mau ambil kentang, kubis, sama brokoli, atau bunga kol? Mana yang lebih enak? Nanti, deh. Selain itu, aku mau ambil bawang bombay, bawang merah, bawang putih, daun bawang, garam, lada hitam, sama saos. Ini sangat menyenangkan!
“Aras, satu pertanyaan lagi. Brokoli apa bunga kol?”
“Brokoli boleh.”
Aku langsung lari ke tempat di mana ada brokoli, kentang, sama kubis dan ninggalin trolley bersama Aras.
Selesai belanja, trolley nyaris penuh. Aku nggak begitu yakin soal ini semua. Motor Aras, apa mungkin cukup buat bawa semua belanjaan ini? Ini ada sekitar lima kantong kresek gede. Gimana bawanya coba? Nggak lucu juga kalo harus bolak-balik dari sini ke rumahku. Ini udah delapan seperempat juga.
“Ras, kita bisa bawa ini trolley nggak?”
“Aku nggak berpikir begitu.”
Dengan susah payah aku sama Aras nyoba buat ngatur tempat biar muat kalo sekali bawa. Alhasil, di depan ada dua kantong plastik dan aku bawa tiga sisanya. Semangat. Cuma itu yang bisa aku lakuin. Jarak dari supermarket ini ke rumahku nggak begitu jauh. Mungkin sekitar tiga kilometer. Bisa ditempuh selama lima belas menit kalo Aras naik motornya lebih dari 40 km/jam.
Motor udah jalan. Aku bisa ngerasain kalo motor ini jalannya lambat banget. Jelas, kendaraan lain itu dengan gampang ngelewatin kita gitu aja. Bahkan, seorang cowok yang naik sepeda aja bisa nyalip kita dengan gampang. Maksudnya apa?
“Aras, kecepatannya berapa?”
“Sepuluh.”
Sepuluh!? Serius!? Kalo kayak gini kapan kita mau sampe rumah?
“Ras, cepetan! Empat puluh kenapa?”
“Nggak mau!”
“Kenapa? Tanganku keburu sakit ini!”
“Ha!? Oke!”
Langsung aja Aras ngebut. Ish, labil banget. Tadi bilang nggak mau, sekarang langsung oke. Aneh.
***
Rumahku gelap banget dari luar. Kayak di film-film horor, rumah kontrakan yang baru mau dipake. Orang yang nyewa rumah itu datengnya pas malem-malem, terus tiba-tiba pas lagi liat-liat suka ada sekelebat bayangan yang nggak jelas. Kadang putih kadang item malah kadang abu-abu. Itu salah satu hal yang bikin aku parno tinggal di rumah sendirian. Itu juga yang bikin aku nyesel kenapa dulu aku nonton film horor.
Aku langsung turun dari motor dan buka gerbang buat Aras terus nyari kunci di kantong. Buka pintu langsung nyalain lampu ruang depan, teras sama lampu samping. Nungguin Aras selesai sama urusannya sambil ngilangin keparnoanku sama rumah sendiri. Aku nggak berani masuk ke dalem sendiri, jadi nunggu Aras selesai markir motor itu pilihan yang bener-bener tepat.
“Kok nggak masuk?”
“Takut.” Aku nggak punya harga diri.
“Ya, udah. Cepetan masuk sekarang. Aku udah di sini.”
Aku buru-buru masuk dan nyalain semua lampu. Heran, ya. Kenapa Ayah tu suka banget nyuruh aku buat matiin lampu kalo mau pergi? Kan, kalo pas pulang malem gelap banget jadinya. Udah tau aku parno sama yang gituan, tetep aja nyuruh. Ayah tu emang nggak ngerti banget.
Belum ganti baju, ke dapur dan langsung bongkar belanjaan. Nggak baik kalo nanti-nanti, soalnya ntar seafoodnya keburu busuk. Dipisah-pisah. Mana yang pakenya sebentar lagi, mana yang pakenya masih nanti. Yang sekarang taruh di meja, yang nanti masukin kulkas.
Aku baru inget satu hal. Kalo Aras nginep sini, besok gimana dia sekolahnya? Terus ganti bajunya?
“Ras, kamu nggak bawa baju ganti?”
“Gampang. Mas Aris yang bawain.”
“Oh. Soal Mas Aris, yang aku tau Mas Aris itu udah di sini sejak pertama kali kuliah. Dia temen baik Mas Ardi. Kenapa kalian tinggalnya beda?”
“Dulu, lulus SMA Mas Aris pengen kuliah di sini. Terus aku disuruh nyusul Mas Aris kalo udah naik kelas dua belas dan suruh kuliah di sini juga.”
“Gitu, ya.”
Masak-masak akhirnya dimulai. Aku harus masak nasi dulu pertama. Buat bahan baku nasi goreng kesukaan Mas Aris. Aras yang aku suruh nyuci beras terus dimasak sama dia dia juga. Aku sibuk ngebersihin seafoodnya sama sayurnya. Apalagi kentang, paling susah deh ngupasnya. Oh, aku misahin mana yang buat sop dan mana yang buat nasi goreng. Tahap kedua aku manasin air buat bikin sop sama baksonya, satu lagi buat ngerebus kerang. Aku manasin tiga panci air jadinya.
Aras yang aku suruh buat nyuci kerang. Kerang ini bakal aku rebus pake dikit air terus dikasih bawang putih sama garam airnya. Kata Ibu, biar kerangnya itu gurih. Nah, ini nih. Bersihin gurita itu nggak gampang. Dia masih aja hidup meskipun kakinya udah dipotong semua. Sebelnya masak gurita tu gini. Nggak pa-pa, demi tamu.
Semua seafood udah selesai dibersihin dan dipotong. Sayuran juga udah nyemplung semua ke panci. Oh, soal udang galah, aku berubah rencana. Buat sopnya aku pake dua dan sisanya aku panggang. Pasti bakalan enak banget kalo dipanggang. Dan juga bakso-baksonya udah masuk ke panci bareng bumbu-bumbu yang Aras uleg tadi. Aras masih nyoba buat ngebantu aku. Padahal tangan kananku udah lumayan bisa dipake buat nguleg. Disuruh berhenti dia juga nggak mau. Alesannya gampang, sebagai tamu dia harus bantu tuan rumah.
Jujur, aku nggak nyaman dengan itu semua. Aku baik-baik aja, nggak ada yang harus dipermasalahkan soal tangaku. Udah lumayan sembuh dan ini nggak kayak aku lagi patah tulang serius. Kalo kayak gini, aku malah ngerasa lemah. Apa yang seharusnya aku bisa lakuin, Aras malah nganggepnya aku itu nggak bisa. Hal apapun itu. Aku juga jadi ngerasa bersalah kalo Aras terus-terusan gini. Toh, Aras juga udah minta maaf dan aku udah maafin dia juga. Dia nggak perlu terus-terusan ngerasa nggak enak gini sama aku. Apa ini semua karena pertanyaan di rumah sakit tadi? Mungkin.
Aku juga masih penasaran soal ekspresi dia kayak apa di rumah sakit tadi. Aku nggak bisa liat dengan jelas karena kacamatanya berkilat gitu. Padahal aku bisa baca ekspresi Aras cuma dari matanya. Soalnya, Aras itu nggak bisa bohong kalo aku liatin matanya. Kali ini aku nggak bisa nebak dia itu bohong apa nggak soal rasa nyesel dia. Aku berharapnya dia nggak nyesel, sih.
Kembali masak. Aku ngaduk-aduk bakso sama sopnya. Baunya bikin aku tambah laper. Entah gimana perutnya si Aras. Dia lagi nirisin rebusan seafood yang nanti bakal dipake buat masak nasi goreng. Masalah Aras bisa ngelakuin apa nggak, aku nggak peduli. Yang terpenting dia harus becus kalo cuma disuruh begitu doang.
Aku baru inget. Ini udah jam sepuluh. Aku kira nasinya udah mateng dari tadi.
“Ras, nasinya diliat dong. Udah mateng apa belum?”
Aras langsung ngecek dan buka tutupnya, pas itu juga asapnya langsung ngelibas mukanya. Seberapa panas asap itu, aku nggak tau. Pastinya itu panas banget, diliat dari ekspresi Aras yang nggak nguatin. Sebenernya, aku pengen ketawa. Tapi, aku tau kalo itu jahat banget.
“Ras, nggak pa-pa, kan?”
Aras langsung nutup alat buat masak nasi dan nutup muka. “Panas.”
Kali ini aku nggak bisa nahan ketawa lagi. ”Cuci muka sana.”
Jam sebelas kurang semuanya udah selesai. Aku seneng ngeliat makanan udah tertata rapi di atas meja makan. Aku sengaja nggak naruh minuman di meja makan karena aku nggak begitu tau seberapa banyak mereka—Aras dan Mas Aris—bakalan ngambil minum. Jadi, aku sediain gelas aja. Kalo mau ngambil minum bisa langsung buka kulkas dan ambil sebanyak mungkin.
Aku denger gerbang rumah di buka dan ada suara motor yang kedengeran kayak suara motor cowok yang tangki bensinnya di depan. Aku rasa itu motor Mas Aris. Secara, Mas Ardi itu motornya matic. Kalo gitu, berarti senjang banget antara Aras sama Mas Aris. Adeknya motor bebek, kakaknya motor cowok yang suaranya ganas gitu. Aku sama Mas Ardi juga senjang banget. Kakaknya punya motor, adeknya nggak punya. Tragis.
Begitu aku denger pintu dibuka, “Dek, Mas pulang.”
“Langsung ruang makan, Mas.”
Itu dia. Wah, ternyata Mas Ardi belum ganti baju sejak tadi pagi. Jorok. Dan di sana. Mas Aris. Tinggi menjulang tanpa kacamata dan pake kaos warna hijau. Beda banget sama Aras yang kayaknya sama-sekali nggak ngerti soal tren baju masa kini. Mas Aris itu kalo pake baju apa aja keren, pas, cocok. Aras? Cupu banget kalo pake baju tu. Apalagi pake kacamata. Tambah cupu lagi. Satu lagi bedanya mereka, Aras itu nggak terlalu banyak ngomong aku rasa. Cuma, kalo sekali ngomong bisa langsung tuntas. Dan selama aku kenal Mas Aris, dia itu orangnya bawel dan pasti menang kalo diajak debat. Pokoknya, Mas Aris sama Aras itu bedanya seratus delapan puluh derajat alias beda banget. Satu hal yang sama, mereka tinggi.
“Mas laper, kan? Ayo makan!”
“Iya. Ras, ayo dimakan.” Mas Ardi duduk di depanku.
“Jadi, aku nggak ditawarin?” Mas Aris nyela seenaknya terus duduk di depannya Aras. “Oh, Ras, bajumu, tasmu, sepatumu, sama buku-bukunya ada di kamarnya Ardi. Ntar kalo mau ambil, ambil aja langsung.”
“Mmm.”
Keliatan, kan? Di sini, aku dapet fakta kalo nggak selamanya kakak sama adek itu punya kepribadian yang mirip. Di sini, aku juga berpikir tentang ada-nggaknya yang salah sama kepribadian dari salah satu di antara Mas Aris sama Aras. Bisa aja Aras itu orangnya hebohan kayak Mas Aris. Tapi karena satu dan lain hal, Aras berubah jadi pendiem. Atau jangan-jangan, Mas Aris itu orangnya pendiem. Terus karena something wrong sama otaknya dia jadi hebohan gini. Cuma, kalo otaknya error, pasti nggak akan nyambung kalo diajak ngomong. Nah, ini nyambung terus.
Kami berempat makan malam sambil ngobrol-ngobrol nggak jelas. Aras jarang banget nanggepin kalo aku, Mas Ardi apa Mas Aris ngomong. Paling cuma ikut ketawa, lebih sering senyum doang. Dia lebih sibuk sama makan malemnya ketimbang ikut ngobrol bareng. Apa dia nggak bosen diem terus gitu? Kan, nggak seru. Tapi, tiba-tiba, pas aku lagi minum...
“Rin, itu minumku!”
Dengan suara lantang, Aras jujur sama aku. Kaget dan langsung batuk-batuk. Nyebelinnya, Mas Ardi sama Mas Aris cuma ketawa, nggak ngasih bantuan atau nepuk-nepuk punggungku. Ngebiarin aku sengsara sendirian, itu kejam. Emang, ya. Nasib seorang cewek di antara tiga cowok tu gini. Jadi pusat ledekan dan jadi bahan ejekan, kasian banget.
Aku buat perjanjian. Karena aku sama Aras udah masak, sekarang gantian Mas Ardi sama Mas Aris yang nyuci panci, wajan, mangkok, piring, gelas, dan sebagainya. Sedangkan Aras sama aku enak-enakan nonton tv—tanpa ngemil.
“Wah, kenyang banget.”
“Banget?”
“Sialan.”
Aras ndengus.
“Ras, kalo misalnya besok kamu keberatan bawa barang-barangmu ke sekolah, kamu bisa taruh di sini dulu. Besok pulang sekolah bisa diambil.”
“Rencanaku juga gitu.”
Ah, ternyata dia nggak sopan.
Satu masalah, kalo besok aku berangkat sekolah bareng dia, bakalan jadi berita besar dan anggota FPA tambah benci sama aku. Kemungkinan terburuknya, aku bakal dilaporin ke polisi dengan tuduhan perbuatan yang sangat tidak menyenangkan, masuk penjara terus nggak ikut UN, nggak bisa lulus dan nggak bisa masuk ITB. Hancurlah masa depanku cuma gara-gara gosip nggak penting yang nggak kebukti bener-salahnya.
Apapun itu, aku harus menghindarinya sebelum aku bener-bener nggak punya masa depan.
“Ras, kita besok nggak berangkat bareng, kan?”
“Kenapa?” Aras masih fokus sama tv.
“Enggak. Aku cuma nggak mau nimbulin masalah lagi aja.”
“Masalah apa? Nggak akan ada masalah.”
“Jelas...”
“Apa yang jelas? Kamu khawatir lagi? Aku udah berulang-kali bilang kamu nggak perlu khawatir.”
“Ya, tapi...”
“Udah lah. Nggak usah terlalu dipikir.”
Aras bener juga. Tapi tetep aja aku nggak tenang soal masa depanku.
***
Pagi ini, aku minta diturunin Aras jauh dari sekolah buat menghindari anggota FPA. Tapi Aras nolak dan malah nurunin aku di parkiran sekolah. Anggota FPA yang lagi pada berangkat ngeliatin aku sambil masang tampang nggak percaya dan mangap-mangap. Nggak tau apa yang mereka omongin satu sama lain. Aku nggak peduli. Aku tutup muka dan ngelewatin mereka gitu aja pake motornya Aras.
Sampe di parkiran, Aras malah ngelarang aku buat jalan duluan. Dia megangin aku sambil ngunci helmnya sama helmku. Nggak disangka, dia ngelepas jaket dan nelungkupin jaketnya ke kepalaku sambil ngelingkarin tangannya di leherku. Bayangan kalian kayak apa terserah, yang jelas malu-maluin.
“Aku nggak berpikir kalo mereka kenal sama kamu.” Aras langsung geret kepalaku kayak kambing. Aras sialan!
Selama jalan ke kelas, aku denger berbagai macam tanggapan. Ada yang tanya itu siapa terus di jawab kalo itu aku. Ada yang teriak histeris, ada yang ngomong kasar, ada yang ketawa dan lain sebagainya. Aku paling benci sama dia yang ketawa. Siapapun itu, aku pengen banget bilang kalo ini bukan lelucon yang pantes diketawain. Aku juga lagi nggak main teater komedi jadi jangan ketawa.
Entah Aras sekarang ekspresinya gimana aku nggak tau. Mungkin dia seneng karena udah bikin aku malu, mungkin dia seneng karena aku keliatan konyol karena kayak gini. Atau mungkin dia itu malu juga karena diketawain, malu karena dia berbuat hal yang konyol kayak gini. Aku nggak peduli, ah. Aku cuma peduli sama harga diriku dan namaku yang bakalan semakin buruk di mata mereka. Aras jahat banget, ya.
Aku rasa ini udah di kelas. Aras langsung jatuhin aku ke tempat duduk—bangku pojok belakang—dan ngebuka identitasku. Sebentar aku ngasih pandangan sebel ke Aras. Pengen banget aku bejek-bejek rambutnya, aku pukulin mukanya, terus aku patahin kacamatanya biar dia nggak bisa liat. Sebentar lagi, aku sadar Aras ngasih sinyal kalo anak-anak kelasku pada ngeliatin ke arahku sama Aras. Tatapan kali ini, itu lebih ganas. Mereka ngeliatnya kayak kami-bakalan-bener-bener-bikin-kamu-nggak-selamat-hari-ini. Aku takut kalo yang sekarang. Sumpah!
Aku langsung balik badan dan nutup mukaku di meja. Aku malu, takut, dan bingung tentang apa yang harus aku lakuin kalo mereka bakal bener-bener ngelaporin aku ke polisi. Nggak lucu banget kalo aku harus kehilangan masa depanku saat ini. Sekarang, aku pasti bakal jadi manusia terbuang di sekolah ini. Dibuang sama temen sendiri, dibuang sama anggota FPA. Aku jadi nggak punya temen. Sendirian.
Memang ada Aras. Tapi, nggak seru banget kalo tiap hari aku mainnya sama Aras. Pasti garing dan ngebosenin. Dan lagi, kalo aku main sama Aras terus, aku bakal tambah dibuang dan tambah tersingkirkan lagi. Apa iya aku harus jauh-jauh dari Aras sementara aku butuh perlindungan dari dia?
“Teeeettttt!!! Teeeetttt!!! Teeeeettt!!!” Bel masuk udah bunyi. Aku harus ke lapangan upacara artinya. Tapi, aku nggak boleh jalan lebih dulu dari anggota FPA. Aku bisa ditusuk dari belakang kalo gitu caranya.
Upacara sekarang berjalan kayak sebelum-sebelumnya. Ngomong-ngomong, ini upacara terakhir di semester satu. Maklum lah, minggu depan udah ujian akhir semester satu. Aku pengen di ujian nanti aku nggak keganggu sama semua pikiranku tentang FPA yang makin beringas atau FPA yang mau jatuhin aku. Aku pengen fokus soal ujian dan bisa bikin Ibu sama Ayah bangga sama hasil ujianku.
Aku sama Aras lebih milih buat baris dibarisan paling belakang. Terserah, badanku emang kecil dan aku nggak bisa liat depan. Tapi sekali lagi, aku nggak mau ditusuk dari belakang kayak yang tadi aku pikirin. Aku masih mau ujian.
Sehabis upacara, lagi-lagi aku sama Aras milih buat balik ke kelas paling akhir. Selain menghindari keruwetan lalu-lintas pasca-upacara aku juga nggak mau dengan sengaja didorong terus jatuh kayak hari pertama di kelas dua belas. Kalo itu terjadi aku pasti bakal jadi bahan tertawaan satu sekolah dan anggota FPA bakalan puas banget.
Di kelas, aku nggak tau apa yang udah terjadi. Anak cowok nggak pada masuk kelas, sedangkan yang cewek lagi pada forum—kayaknya. Apa mungkin mereka lagi nyusun strategi buat ngehancurin aku? Dengan cuek, Aras narik aku buat cepet-cepet duduk. Maksudnya apa ini?
“Ras, aku nggak mau.”
Tiba-tiba Aras berhenti tepat di depan forum anak-anak cewek dan nengok ke aku. Dia jalan ke arahku sambil ngeliatin aku dari balik kacamata cupunya. Terus dia senyum dan narik aku lagi ke tempat duduk. Mau apa dia? Mau aku celaka? Dia bukannya ngelindungin aku malah bikin aku makin terancam. Bukannya dia udah minta maaf karena malah dia yang jadi ancaman buat aku? lucu banget dia mau jadi ancaman buat aku. Apa dia udah mulai besekongkol sama FPA buat ngebunuh aku?
Anak-anak cewek langsung ngasih tatapan beringas itu lagi. Aku mulai nggak nyaman lagi sama situasi ini. Aku ngerasa kalo Aras itu udah keterlaluan.
“Ras, tentang apa ini semua?”
“Aku bilang aku nggak peduli. Jadi, aku cuek aja mau aku ngapain sama kamu. Iya, kan?”
“Tapi, nggak gini juga! Seenggakpedulinya kamu, kamu nggak harus gini.”
“Ada yang salah?”
“Ini keterlaluan, Ras. Aku nggak mau tambah dibenci mereka.”
“Nggak akan ada yang benci kamu.”
“Ras, biar aku jelasin, ya. Yang aku maksud kamu nggak peduli itu bukan nggak peduli macam tadi. Maksudnya tu kamu nggak perlu kabur atau sembunyi kalo ketemu mereka waktu kita lagi pergi berdua. Bukan ini. Aku nggak mau nambah musuh lagi, Ras. Aku nggak mau ngebuat anggota FPA yang awalnya nganggep aku bukan ancaman serius jadi nganggep aku serius. Mereka makin benci sama aku, Ras. Aku nggak nyaman.”
“Kamu terlalu khawatir.”
“Ras...”
“Santai aja. Ini nggak seburuk yang kamu pikirin.”
Aras udah nggak bisa dibilangin. Dia ini aneh atau emang idiot dan keras kepala jadi kalo dibilangin nggak ngerti?
“Aku capek, Ras. Aku ngerasa kalo aku itu masalah bagi semua orang. Aku tu nggak berguna. Aku bahkan nggak punya temen di sekolah. Semua orang benci aku, aku kayak sampah. Aku dibuang sama temenku sendiri. Kamu ngerti, kan, gimana rasanya jadi aku? Jadi orang yang paling dibenci. Sekalipun aku nggak peduli, sejak kejadian sehabis nonton itu, aku mikir lagi. Aku bikin kamu susah, aku bikin Lulu dan yang lainnya jadi benci sama aku, bahkan aku bikin orang tuaku susah juga dengan harus ngebiayain aku operasi. Kamu juga, demi ngebuat aku nggak ngerasa bersalah, kamu rela bohong sama aku soal apa yang kamu rasain.”
Aku butuh ngambil napas. Udah lama aku pengen ngungkapin ini semua. Rasanya jadi orang yang paling dibenci sama seluruh penjuru sekolah. Itu nyakitin.
“Denger, ya. Aku tu nggak pernah kayak gini sebelumnya. Dianggep sebagai musuh besar itu nggak enak, Ras. Aku yang awalnya seorang temen baik di mata mereka, tiba-tiba aku berubah seratus delapan puluh derajat jadi musuh yang harus disingkirkan. Aku nggak suka sama semua ini, Ras. Kamu harusnya ngerti kalo aku nggak harus begini. Kamu juga sebaiknya jujur tentang semua yang kamu pikirin. Aku jadi tambah bersalah sama kamu dan mereka.”
Aras Cuma diem. Nggak ada tanggapan selama beberapa detik.
“Aku seneng kamu ngejagain aku dengan baik. Aku seneng banget. Aku jadi ngerasa aman, tapi bukan kayak gini. Ini udah berlebihan, kamu juga udah ngeganggu zona nyamanku. Mulai sekarang, aku berharap kamu nggak ngulangi hal-hal macem ini lagi. aku juga berharap kalo kamu biasa aja ngejagainnya.”
Dan kita nggak bicara apa-apa lagi sampe pulang sekolah. Hari ini, Aras langsung ngeloyor pergi padahal aku belum ngasih dia makan siang. Jadi deh aku pulang dijemput sama Mas Ardi. Beberapa cewek ngeliatin aku waktu dijemput Mas Ardi. Aku nggak yakin kalo mereka nggak akan salah paham. Gosip sekecil apapun itu, pasti mereka bakal sebarin. Nyebelin.
Senengnya Mas Aras ngajakin makan siang dulu. Kebetulan aku juga lagi laper banget ini.
“Dek, kamu berantem, ya, sama Aras?”
“Kenapa, Mas?”
“Aneh aja kamu nggak pulang bareng dia. Padahal, tadi pagi berangkat bareng.”
Aku cuma senyum terus nyedot es jerukku.
“Oh, tadi waktu Mas lagi siap-siap buat jemput kamu, Aras dateng buat ambil barang-barangnya. Sempet ngobrol bentar tapi pas Mas tanya kenapa nggak bareng kamu dia nggak jawab. Kalian beneran berantem, ya?”
“Tau, Mas.” Aku nggak peduli.
“Kenapa, sih?”
Aku tarik napas. “Aku cuma nggak suka aja sama cara dia ngejagain aku. Terlalu berlebihan dan malah bikin aku terancam gara-gara dia, bukan anggota FPA. Aku juga nggak ngerti gimana cara dia berpikir soal dia peduli apa nggak sama semua perbuatan FPA.”
“Emang gimana?”
“Dia bilang sama aku kalo dia nggak peduli. Bukannya kalo nggak peduli dia nggak perlu ngajak aku sembunyi atau kabur kalo ketemu sama anggota FPA? Nah, ini. dia tu nyari alesan terus kalo ngajak aku sembunyi. Setelah aku bilangin, tadi dia malah bertindak yang bener-bener nggak peduli. Narik tanganku di depan anggota FPA. Aku sebel banget, Mas. Ini tu malah kayak dia sengaja jatuhin aku ke lubang buaya dengan sengaja.”
“Dia cuma khawatir, Dek.”
“Khawatir apa? Ini nggak keliatan kayak aku itu manusia yang tulangnya terbuat dari kaca jadi harus dijagain tiap waktu, kan? Aras tu over protective, Mas. Aku nggak suka.”
“Mungkin, semacam trauma. Entah.”
Trauma apa lagi coba? Kurang kerjaan banget nebak-nebak punya trauma segala.
***
“Ada titipan buat kamu. Nih!” Mas Ardi ngasih amplop tipis banget. Kayak nggak ada isinya.
“Apa ini, Mas?”
“Nggak tau. Dari Mas Aris. Buat kamu katanya.”
Mas Aris? Ngapain coba pake ngirim surat segala? Naksir sama aku, ya? Ngarang.
“Apaan, sih?”
“Buka aja, Dek.”
Pas aku buka dan aku baca isinya.
Ririn, aku bikin e-mail buat kamu. Kamu pernah bilang kalo kamu nggak punya, jadi aku bikinin. User-nya ririnmaulida@yahoo.co.id, password-nya ririnmaulida. Dipake sebaik-baiknya, ya:D Soal yang aku narik tanganmu, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud bikin kamu tambah dibenci. Maaf, Rin.
-Aras-
Apa-apaan ini? Dia minta maaf dengan bikinin e-mail? Lucu.
“Isinya apa?” Mas Ardi yang lagi sibuk nonton tv sambil ngemil ngagetin aku yang lagi sebel-sebelnya sama Aras.
Dari hari Senin, sejak Aras aku marahin, aku sama Aras jadi jarang banget ngomong. Kalo aku kasih Aras makan siang pun kita jarang ngomong. Kita cuma sibuk sama makanan masing-masing. Kalo udah selesai, aku yang bayar ditemenin Aras tanpa ada sepatah kata pun, terus kita pulang dengan kendaraan masing-masing. Aras naik motornya, aku naik bus.
Aku agak ngerasa aneh kalo gitu caranya. Suasanya anatar aku sama Aras emang lagi nggak begitu baik, tapi Aras nggak harus segitunya juga, kan?
“Woy! Ditanyain malah diem. Isinya apa?”
Sial. Mas Ardi bikin kaget. “Ini, Aras bikinin aku e-mail sekalian minta maaf. Aneh, ya?”
“Tuhan! Segitu prihatinnya kah dia sama kamu karena kamu nggak punya e-mail!?” Mas Ardi ngeledeknya nggak bener.
“Ya, bukan gitu juga, Mas. Tolong bukain dong, Mas.”
Mas Ardi ketawa nggak jelas saking puasnya aku dihina sama sepucuk surat kecil gini. Aras ini mau apa, sih? Kalo nggak nyusahin pasti bikin aku malu.
“Bentar. Mas ambil laptop dulu.” Sambil ketawa, Mas Ardi jalan ke kamar.
Nggak lama, Mas Ardi udah balik lagi sambil bawa laptop yang selalu dia posisikan standby.
“Sini liat.”
Aras! Liat aja besok! Aku bakal ngebejek-bejek dia!
***
Ujian akhir semester dah selesai. Aku sama Aras juga udah mulai membaik. Aku jadi suka buka e-mail bareng Aras. Ngobrolin tentang apa aja kalo lagi bosen. Ternyata, kalo di dunia maya Aras bakal berubah seratus delapan puluh derajat jadi orang yang suka ngomong sama lebih ekspresif. Beda banget sama kesehariannya.
Untungnya, tugas kuliah Mas Ardi udah selesai jadi aku bisa pake laptopnya sampe puas buat ngobrol sama Aras lewat e-mail. Selama aku punya e-mail, aku cuma punya satu temen doang—Aras. Maklum, baru belajar. Aku belum berani nambah banyak temen. Kalo jadiin Mas Ardi sebagai temen ngobrol di dunia maya, itu nggak akan berhasil. Secara, Mas Ardi udah sering banget aku ajak ngobrol di rumah. Dan kalo jadiin Mas Aris sebagai temen ngobrol, itu juga nggak berhasil. Mas Aris itu suka main ke rumahku dan kita juga lumayan sering ngobrol bertiga—aku, Mas Aris, sama Mas Ardi. Apalagi kalo jadiin temen-temen kelas jadi temen ngobrol di dunia nyata. Mereka bakalan tambah berani nge-bully aku. Nggak mau!
Hari ini nggak ada kegiatan apa-apa di sekolah. Aku jadi bisa santai di rumah. Ngobrol sama Aras lewat e-mail. Aku nggak sendiri, ada Ibu yang sekarang lagi nonton tv di ruang tamu depan. Mas Ardi juga ada di kamarnya. Hari ini dia nggak kuliah. Kata Aras, Mas Aris mau main ke rumah jam sebelas sambil ngerjain beberapa tugas kuliah—lagi. Maklum aja, mereka udah semester terakhir. Aku sekarang punya pertanyaan, kenapa Aras nggak ikut ke rumahku aja, ya? Aku sama Aras jadi nggak perlu ngobrol lewat e-mail yang aku masih belum ngerti sepenuhnya kayak gini.
Tapi, jangan! Ibu bakalan tanya yang macem-macem kalo caranya gitu. Aras bakalan capek sama pertanyaan-pertanyaan Ibu yang kadang-kadang ngawur dan nggak nyambung. Jangan pokoknya.
Tiba-tiba Aras ngirim sebuah kalimat yang nggak aku sangka.
Aku ikut ke rumahmu sama Mas Aris, ya?
Apa ini? Aku baru aja mikirin itu dan tiba-tiba dia ngomongin itu. Aku harus buru-buru ngelarang dia sebelum dia bener-bener capek sama Ibu. Tapi, tiba-tiba offline!? Apa coba!?
Ah, bener! Sms Aras! Tapi Aras itu nggak peka sama sms. Jarang dibales juga kalo sms. Apa telepon? Bener! Telepon!
Nggak diangkat coba!? Ini maunya apa!? Dan ini udah jam sebelas! Bentar lagi Mas Aris dateng. Ayo kita liat, Aras dateng apa nggak. Aku berharapnya nggak. Aku yakin banget kalo Ibu pasti bakalan godain aku terus tanya-tanya Aras yang macem-macem dan nggak masuk akal.
Jadi gini, dulu waktu kelas sebelas, aku punya temen deket cowok. Ceritanya, dia itu lagi pedekate sama aku. Terus dia pernah dateng ke rumahku sekali buat main. Waktu itu, Ibu lagi di rumah dan aku biasa aja karena aku nggak tau kalo Ibu bakalan tanya yang macem-macem. Aku sama tu cowok biasa aja pertamanya. Ngobrol-ngobrol di depan rumah sambil ngemil gitu. Tiba-tiba Ibu dateng dan nyuruh ngobrol di dalem. Terus kita mindahin minum sama camilannya ke dalem. Beberapa saat sehabis mindahin, Ibu dateng. Ibu ikut ngobrol coba!?
Awalnya biasa aja waktu Ibu ikut ngobrol. Aku malah seneng soalnya Ibu kayak setuju gitu jadi aku berpikir kalo hubunganku sama tu cowok makin lancar kayak di jalan tol. Dan setelah sepuluh menit bicara, Ibu makin nanya yang macem-macem. Nanyain nama orang tuanya, dulu sekolah di mana, makanan kesukaannya apa, pokoknya udah kayak calon mertua. Ibu juga malah cerita soal kehidupanku sebelumnya. Ibu juga malah ngebocorin rahasia gelapku yang emang bener-bener gelap: pernah dandan mirip badut ancol dan minta Ibu pamerin aku ke semua warga kampung naik becak. Itu waktu aku masih kecil, jadi aku nggak malu. Nah, ini aku udah gede. Aku punya harga diri sekarang.
Setelah selesai ngobrol, rencananya tu cowok mau ngajakin aku jalan-jalan sama nonton film. Tapi, tiba-tiba semuanya batal dengan alasan yang nggak jelas. Dia bilang kalo pembantunya pulang ke kampung halaman terus dia disuruh nyuci karpet sama beli beras di warung sebelah rumahnya. Apapun itu, aku tau kalo dia kapok dan nyoba buat ngehindari ketemu sama Ibu lagi. dan sejak itu, aku nggak pernah ada komunikasi sedikitpun sama dia. Nomernya ganti, dia pindah rumah, dan pindah sekolah. Separah itu, ya?
Maka dari itu, aku pengen Aras nggak punya nasib sama kayak tu cowok. Nggak lucu banget kalo Aras pindah sekolah padahal baru satu semester dia pindah sekolah. Juga nggak lucu kalo dia non-aktif-in e-mail-nya, ganti nomer, ganti identitas, pindah rumah dan jauh dari Mas Aris, cuci otak biar lupa sama semua pertanyaan Ibu. Ah, aku gila. Aku bakal mati kalo gini caranya.
Suara motor cowok—punya Mas Aris—udah kedengeran dari dalem kamarku. Mas Ardi yang kamarnya di sebelah kamarku kayaknya juga denger. Dia langsung buka pintu kamar dan lari ke luar. Aku cuma nunggu apa yang bakalan terjadi nanti pas Mas Ardi udah masuk lagi sambil bawa tamu. Apakah itu dua orang atau cuma Mas Aris yang dateng. Tuhan! Bantu aku ngelewatin situasi ini! aku bisa habis kalo Ibu bertingkah kayak dulu lagi. Apa yang harus aku lakukan? God, help me!
Sekarang, yang kedengeran cuma suara laki-laki yang berat. Aku sama sekali nggak denger ada suara Aras di sana. Oh, aku baru inget! Ibu lagi nonton tv di ruang depan dan itu dilewatin sama Mas Ardi. Aku harus gimana ini!? Apa jangan nggak kedengeran suara Aras karena Ibu nahan dia di ruang depan buat ditanya-tanyain? Nggak mungkin terjadi dan nggak boleh terjadi! Gimana!?
Oke, aku harus ambil tindakan! Aku harus narik Aras masuk ke kamarnya Mas Ardi dan nyelametin dia dari siksaan yang berkelanjutan. Harus!
Aku buru-buru buka pintu dan...
Brukk!!
Aku nabrak seseorang yang berhenti di depan pintu kamarku. Aku jatuh dan kepalaku kepentok tembok. Pas aku nengok ke atas, aku liat Aras lagi berdiri sambil nyoba buat ngebantu aku berdiri. Aku jadi inget sebuah kejadian yang malu-maluin waktu upacara hari pertama. Yap! Insiden tabrakan sama seorang cowok-berkacamata-bingkai-penuh alias Aras. Kejadian ini sama persis.
Aku langsung nyambut tangannya Aras buat berdiri. Sementara di sisi lain ada Mas Ardi sama Mas Aris yang lagi ketawa dengan puas karena ngeliat aku sengsara—lagi.
“Malu-maluin.” Aku ngomong sendiri sambil bersihin pantatku.
“Kamu nggak pa-pa, kan?”
“Nggak.”
“Makanya, Dek, kalo kamu buka pintu pelan-pelan. Jangan asal gitu. Kan, kalo nabrak orang malu-maluin.” Mas Ardi ngeledek lagi dan ketawa lagi terus masuk kamar bareng Mas Aris. Nyebelin banget mereka berdua.
“Ini yang kedua kalinya.” Aras tiba-tiba ngomong nggak jelas.
“Apa?”
“Bukan apa-apa.”
Kita diem selama beberapa detik di depan pintu. Sampai...
“Kamu mau minum apa? Tunggu di situ, ya.” Aku nunjuk ruang ke ruang keluarga yang persis di depan kamarku sama kamarnya Mas Ardi.
“Oke.”
“Ya, udah. Aku ambil minum dulu, ya.”
“Eh, nggak usah.” Aras narik tanganku sampe di telapak tangan.
Ada yang nggak beres. Sesuatu yang meluap-luap itu dateng lagi. Tapi, kali ini aku nggak pengen neriakin ke telinganya Aras. Aku malah lebih pengen buat ngebales pegangan tangannya Aras seerat mungkin dan nggak pengen ngelepas lagi. Cuma buat apa? Nggak ada gunanya.
Aku langsung liatin Aras dan berharap dia mau ngelepas tanganku. Begitu dia sadar, dia ngelepas tanganku sambil salah tingkah. Apa ini? aku lagi dalem situasi macem apa? Cupu-payah ini, ada apa sama dia?
“Maaf.”
Aku sama Aras langsung jalan ke ruang keluarga dan nyalain tv. Kita Cuma diem selama beberapa menit. Aku nggak nyaman sama situasi kayak gini. Aku nggak suka diem. Tapi, kalo mau ngomong kok nggak tau apa yang mau diomongin. Serba salah jadinya.
Oh, iya! Aku harus tanya kenapa Aras ke sini!
“Kamu ngapain ke sini?”
“Nggak suka?”
“Yah, gitu banget. Kan cuma tanya, Ras.”
“Kan tadi aku bilang aku mau ikut Mas Aris. Lagian kalo di rumah doang itu nggak seru. Apalagi sendirian, nggak ada temen. Aku juga bosen banget cuma ngobrol sama kamu. Itu aja ngobrolnya nggak langsung.”
“Nyebelin. Emang kamu nggak pernah ngobrol sama Mas Aris?”
“Jarang. Kita sama-sama cowok. Punya kesukaannya masing-masing dan itu beda, jadi kalo diajak ngobrol nggak nyambung satu sama lain. Mungkin kalo ngobrol Cuma sekadar tanya mau ke mana, pulang jam berapa, udah makan belum. Ngobrol panjang itu kalo kita lagi sama-sama liat bola. Kita debat soal tim yang kita jagoin. Aku pasti kalah kalo debat sama Mas Aris.”
Gila! Ternyata komunikasi antara Aras sama Mas Aris nggak begitu lancar. Pantes aja Mas Aris lebih suka dateng ke sini dibanding ngobrol sama adeknya sendiri. Ini tu beda banget kalo aku lagi ngobrol sama Mas Ardi. Kita bisa ngobrolin apa aja sekalipun itu nggak logis tapi tetep nyambung. Kalo soal debat, aku yang lebih sering menang ketimbang Mas Ardi.
“Tapi, pernah ada salah paham nggak antara kalian?”
“Ya, pasti pernah. Tapi, itu udah jadi kebiasaan. Jadi setiap ada masalah, kita nggak langsung nuduh macem-macem. Selain itu karena kita tinggalnya cuma berdua dan jauh dari orang tua, aku sama Mas Aris harus ngerti gimana percaya satu sama lain jadi nggak akan ada kesalahpahaman lagi. Cuma itu.”
Wah, ini keren! Aku mulai tertarik sama kisahnya Aras. “Terus?”
“Terus apa?”
“Terus kamu gimana rasanya cuma tinggal berdua sama Mas Aris?”
“Biasa aja. Cuma, waktu pertama pindah ke sini aku agak canggung. Udah dua tahun nggak ketemu Mas Aris tiba-tiba harus tinggal berdua selama setahun. Yah, tapi itu semua teratasi dengan baik kok pada akhirnya.”
Aku ngangguk-ngangguk.
“Oh, aku boleh liat-liat kamarmu nggak?”
“Jangan. Nggak sopan tau ada anak cowok masuk kamar cewek.”
“Yah, padahal pengen liat.” Aras agak kecewa.
Aku inget satu kotak di kamarku yang harus aku tunjukin ke Aras. Seenggaknya dia harus tau gimana kehidupanku juga. “Ras, tunggu bentar.”
Aku ngeloyor masuk kamar dan nyari-nyari kotak bersejarah itu. Aku simpen di lemari baju. Ukurannya nggak terlalu gede. Cuma sebesar kotak sepatu. Udah butut dan warnanya putih kusam. Tapi, aku punya banyak cerita berharga soal kotak itu.
Aku balik ke ruang keluarga dan duduk di samping Aras. “Ini. kotak ini tu spesial banget buat aku. Masa-masa putih-biru aku simpen semuanya di kotak ini.”
Aras ngebuka kotak itu dan dia ngeluarin slayer warna oren. “Ini apa?”
“Waktu aku kelas tujuh, angkatanku jalan-jalan ke Bali. Kita harus pake itu buat ngenalin satu sama lain dan biar nggak ilang. Sampe sekarang aku nggak bisa lupa sama semua ceritaku di Bali. Aku juga sering kangen masa-masa SMP.”
Ara ngeluarin kotak kecil. Kotak kado. Dia buka kotak itu. “Kalo ini?”
“Ini kotak kado dari temen-temenku waktu kelas delapan. Aku sama sekali nggak nyangka kalo aku bakal dikasih kado. Apa aku yang ggak peka? Pokoknya, waktu itu udah lewat lama dari hari ulang tahunku. Tapi, aku nggak bisa nggambarin gimana senengnya aku.”
“Ceritain!”
“Jadi, pulang sekolah aku langsung main ke kelas sebelah. Nah, tapi sama temenku dari kelas sebelah malah diajak buat masuk kelasku lagi. Saat itu keadaan kelas udah sepi. Aku nggak tau kok tiba-tiba mereka mau main di kelasku. Dan nggak lama, ada lagu selamat ulang tahun. Pas aku nengok, ternyata itu temenku yang nyanyi sambil bawa kotak ini. Isinya tu dompet yang sampe sekarang masih aku pake.”
“Yang ini?” Aras nunjukin gelang warna merah-cokelat sama hijau-pink-cokelat.
“Gelang itu punya arti meskipun cuma gelang. Gelang itu, kembar sama temenku yang dari kelas sebelah. Aku emang nggak pernah pake lagi. Tapi, dengan aku nyimpen itu, aku masih pengen nunjukin kalo aku itu nggak bisa ngelupain kenangan selama SMP. Kalo name tag, itu aku pake waktu pentas musik kelas sembilan. Lembar musiknya juga ada di dalem. Yang ditekuk itu.”
“Dan yang ini?” Aras ngeluarin tempat pensil warna emas-hitam benrbentuk sarung tinju.
“Itu kado ulang tahunku waktu aku kelas sembilan. Aku seneng banget waktu dikasih. Sama anak kelas malah dipake buat main tinju-tinjuan. Aku juga sering mainan pake itu, sih.”
“Wah, kayaknya seru banget, ya. Kalo jadi kamu, mungkin aku juga nggak bisa lupa sama yang udah terjadi.”
“Ya, begitulah.”
Aras balikin kotak itu ke aku dan diem. Kayaknya dia mikir sesuatu.
“Apa yang harus aku kasih ke kamu buat kamu masukin ke kotak itu?”
“Apa?”
“Kamu mau aku ngasih apa buat kenang-kenangan?”
“Apa, ya? Besok-besok aja kalo udah hampir lulus. Lagian kamu udah bikinin aku e-mail. Itu kenang-kenangan juga meskipun nggak dalam wujud yang nyata.”
Aras diem dan kembali fokus sama tv.
***
Hari pertama di semester dua dimulai sama upacara. Aku berharap aku nggak jatuh lagi pas habis upacara kayak dulu. Tiga bulan di semester dua dan aku harus ngadepin ujian nasional. Rasanya cepet banget. Padahal kayaknya baru kemarin jadi siswa baru yang cupu dan kudet yang hobinya disiksa sama kakak kelas. Tapi, sekarang, aku udah mau UN. Nggak nyangka.
Setelah UN aku akan bebas kemana-mana. Terserah mau di rumah, mau di luar negeri, nggak papa. Aku bakalan bebas! Wah, merdekanya!
“Ras, kita bakalan merdeka setelah UN! Hore!!”
Aras diem aja. Nggak ngasih tanggepan apapun dan mukanya nyebelin. Idiot.
“Ras, kamu kok nggak seneng?”
“Oh, seneng. Cuma, aku mikirin UN-nya kayak gimana.”
“Udah, bawa santai aja. Tapi jangan nyepele-in juga. Rileks aja.”
“Oke.”
Aku nggak sabar pengen cepet-cepet UN. Pengen bebas terus pengen ngobrol sama Aras lewat e-mail terus ngobrol-ngobrol sama Aras, masak banyak makanan buat Mas Ardi sama Mas Aris yang hampir skripsi, tapi sebelumnya belanja dulu di supermarket. Oh, nggak udah ke rumah sakit. Aku udah sembuh.
Satu hal yang aku senengin kalo aku udah nggak UN, aku bakal dengan bebas ngehindari anggota FPA yang nyebelinnya makin nggak karuan. Ah, senangnya!
Tunggu! Tapi, hari terakhir UN-kan hari terakhirnya Aras jadi bodyguard-ku. Wah, nggak bener ini. Cuma, Aras kan bisa jadi temenku. Bukan bodyguard yang selalu ngejagain aku dengan perlindungan kelas kakap. Itu lebih menyenangkan.
***
“Ras, udah siap buat besok Senin?”
Di telepon, Aras kedengeran ngambil napas. “Nggak tau, Rin. Kamu gimana?”
“Lumayan. Aku cuma butuh belajar dan tenang.”
“Kamu mau belajar?”
“Rencananya gitu. Kenapa? Mau belajar bareng?”
“Nggak kok. Aku tutup teleponnya, ya? Aku nggak mau ganggu kamu belajar buat UN. Sampai jumpa Senin.”
Langsung putus. Aku heran sama apa yang udah terjadi sama Aras belakangan ini. Akhir-akhir ini dia lebih jarang ngomong. Kalo aku ajak ketawa dia cuma senyum. Nggak pernah ketawa lagi. aku takut sesuatu yang buruk terjadi sama dia dan dia jadi pemurung gitu. Kalo aku tanyain dia kenapa, dia pasti jawab nggak pa-pa atau aku nggak perlu khawatir. Aku takut banget kalo Aras terlalu mikirin sesuatu sampe bikin dia nggak fokus sama UN yang tinggal besok.
Pernah aku tanya Mas Aris, tapi Mas Aris bilang kalo Aras baik-baik aja. Di rumah dia kayak biasanya, jarang ngomong dan kalo ada pertandingan bola dia debat sama Mas Aris. Nggak ada yang terjadi sama Aras. Tapi aku nggak puas sama jawaban itu. Sekalipun aku ngecek gimana Aras, aku tetep nggak bisa nemuin masalah yang terjadi sama Aras sampe bikin dia kayak gitu. Dia juga jadi nggak mau terbuka sama aku belakangan ini. Aras kenapa?
Oh, di telepon tadi, Aras juga kedengeran lemes dan nggak semangat aku tambah khawatir. Aku takut kalo besok Aras nggak konsen ngerjain UN.
Ah! Kok aku jadi mikir yang nggak-nggak gini? Aras pasti bisa! aku yakin!
***
Soal UN hari ini udah bisa aku lalui dengan baik. Aku masih penasaran gimana Aras. Apa dia bisa? Hari ini dia keliatan lebih nggak bersemangat dari kemaren. Aku bener-bener khawatir soal dia sekarang. Waktu aku datengin dan ajak makan siang juga dia nggak banyak bicara. Ya, emang Aras tu nggak banyak bicara, bedanya sekarang tu dia lebih suka ngelamun jadi aku lebih sering ngomong buat nyadarin dia. Dia juga jarang ngasih tanggepan waktu aku tanya. Mungkin cuma senyum atau ngangguk-angguk. Ini sama persis kayak waktu kita marahan beberapa bulan lalu.
Jangan-jangan, aku bikin kesalahan lagi jadi dia marah sama aku? Mungkin aku bikin tu kesalahan secara nggak sengaja jadi aku nggak sadar. Tapi apa? Aku nggak bisa nebak. Nginget semuanya yang aku lakuin bareng Aras, kayaknya nggak ada yang salah deh. Apa coba? Aku nggak bisa nemu kesalahanku itu. Apa sebaiknya aku tanya Aras aja? Bener! Tanya Aras!
“Halo!” suaranya Aras kedengeran males banget.
“Halo, Ras. Ini Ririn.”
“Oh, ada apa?”
“Aku mau tanya. Ini soal kamu. Aku perhatiin, kamu makin berubah akhir-akhir ini. Ada apa sebenernya sama kamu?”
“Aku udah bilang aku nggak pa-pa. Aku nggak berubah dan aku masih kayak dulu. Ada yang aneh?”
Jelas-jelas ada yang aneh masih tanya. Apa coba? “Ada. Banyak banget.”
“Apa aja?”
“Pertama, kamu tu jadi jarang banget ketawa kalo aku bikin lelucon. Terus kamu jadi lebih sering ngelamun ketimbang nanggepin omonganku. Kamu jadi lebih diem lagi dan tambah nggak banyak omong. Kamu jadi tertutup dan susah banget kalo diajak sharing. Kamu lebih keliatan nggak bersemangat kalo lagi jagain aku. Terakhir, kamu susah banget kalo disuruh fokus. Aku sebenernya bingung. Di sini tu kamu begitu karena kamu emang berubah apa karena aku ngelakuin kesalahan. Kamu jujur, deh?”
“Ririn, biar aku jelasin. Di sini aku nggak bisa nyalahin siapapun. Aku juga bingung kenapa aku jadi kayak gini. Mungkin karena suasana hatiku lagi buruk atau semacamnya aku nggak tau. Tapi, kamu nggak usah khawatir. Ada Mas Aris yang ngawasin aku dari deket.”
Itu nggak bisa muasin apa yang pengen aku tau. Okelah, dia ngomong kayak gitu. Aku cuma nggak yakin aja dia itu jujur apa nggak. Aku nggak bisa nebak kalo cuma lewat telepon. Tapi, nggak bisa nyalahin siapapun, maksudnya apa?
“Tunggu. Kamu nggak bisa nyalahin siapapun. Maksudnya apa? Berarti aku punya salah gitu?”
“Enggak. Bukan kayak gitu maksudnya. Kamu nggak akan ngerti sekalipun aku jelasin.”
Susah, ya, kalo gini situasinya. Aku dapet ide. Buat ngilangin suasana hari Aras yang buruk, hari terakhir UN aku bakal ngajak dia main sampe malem sekalian ngerayain kebebasannya karena udah selesai jadi bodyguard-ku.
“Ras, aku punya semacam ide atau usul yang wajib kamu terima dan nggak boleh nolak. Hari terakhir UN, kita main sampe malem. Aku pengen ngilangin suasana hatimu yang buruk sambil ngerayain kebebasanmu dari tugas sebagai bodyguard-ku. Pulang sekolah, kamu harus langsung ke parkiran bareng aku. Jangan lupa isi bensin sampe penuh. Awas kalo nggak! Aku tutup teleponnya. Jumpa besok!”
Aku harus langsung nutup tu telepon biar Aras nggak nolak dengan alesan yang macem-macem dan nggak masuk akal lagi kayak waktu pertama kali aku ajak nonton.
Soal nonton, aku inget sesuatu. Tiketnya. Aku pengen nyimpen tu tiket buat kenang-kenangan dari Aras. Yah, semacam nonton bareng Aras pertama kali. Mungkin, itu juga bakal jadi saksi sejarah gimana semangatnya aku sama Aras buat kabur dari Rara. Mungkin juga, itu bisa jadi saksi gimana Aras ngerusak tanganku.
Sekarang, aku harus belajar. Masih ada beberapa hari lagi tersisa buat ngejalanin UN. Fighting!
***
Oke, the last day! Seneng banget udah hari terakhir. Hari ini rencanaku nggak boleh gagal buat ngajak Aras jalan-jalan dan ngerayain kebebasannya.
Selesai UN, aku langsung narik Aras ke parkiran. Masa bodoh sama semua FPA yang nggak suka. Kali ini aku mau bener-bener ngelepas semua beban pikiranku sama mereka. Mau refreshing dan nggak ada satupun anggota FPA yang boleh ganggu.
Tujuan pertama ke bioskop. Aku nggak tau mau nonton apa. Aku serahin semuanya sama Aras tapi aku yang bayarin. Lagi banyak duit tu gini. Makanan juga aku yang bayarin. Di bioskop, aku nggak ketemu sama anggota FPA kayak dulu. Mereka bakal bener-bener nyusahin kalo ngejar-ngejar aku kayak dulu. Juga, aku nggak mau lagi tanganku remuk karena harus kabur dari mereka terus nggak punya harga diri karena sambil ngos-ngosan masuk ke minimarket terus minta minum dan setelah minumnya habis baru bayar. Itu nggak akan terulang lagi.
Tujuan kedua ke mall. Aku pengen beliin Aras baju yang agak keren biar dia nggak keliatan cupu lagi. aku juga mau sekalian beli baju buat ganti karena nggak enak kalo pake seragam tapi keluyuran. Nanti dikira bolos. Tapi, bukannya kalo UN gini nggak ada anak kelas sepuluh sama sebelas yang masuk, ya? Bodo amat. Aku mau ganti baju pokoknya.
Mikirin yang satu ini, aku nggak tau harus milihin Aras baju kayak apa. Aku nggak mungkin biarin Aras milih sendiri karena aku takut dia bakalan milih baju yang cupu lagi. akhirnya, aku milih kardigan cowok warna abu-abu sama kaos warna putih biar pas, sama celana jeans yang bener-bener bikin aku jatuh cinta.
Awalnya, aku mikir kalo sebaiknya Aras yang milihin baju buat aku. ternyata setelah Aras milih, modelnya cupu banget, kayak seleranya. Tapi, aku tolak dan aku milih sendiri. Aku dapet kemeja kotak-kotak warna hijau yang modelnya kayak buat cowok terus sama rok warna abu-abu. Aku pikir, baju sama rok yang aku pilih bakal cocok. Beruntungnya, waktu aku sama Aras beli, itu lagi ada diskon gede-gedean. Nggak lupa, Aras sama aku ganti baju di mall itu sambil makan siang.
Tujuan ketiga ke taman rekreasi yang buka dari jam sepuluh pagi sampe tengah malem. Aku yakin bakal jadi hal yang menyenangkan kalo aku ngajak Aras main segala macem permainan anak-anak yang ada di sana. Aku cuma pengen bikin suasanan hati Aras membaik setelah semua tekanan yang udah terjadi sama dia. Bukannya selama ini dia udah bekerja keras buat ngelindungi aku dari anggota FPA? Aku rasa, makan siang bukan imbalan yang cukup.
Habis beli tiket masuk, aku sama Aras pake gelang yang wajib dipake sebagai tanda kalo udah bayar. Lucu banget liat Aras pake gelang itu. Jadi inget sama masa-masa dulu waktu masih bayi. Pake gelang yang ada nama kita sama nama orang tua kita.
Permainan pertama yang bakal aku datengin sama Aras yaitu komedi putar! Aku udah lama banget nggak naik ini permainan. Sekitar sepuluh tahun lalu. Aras agak malu waktu aku ajak naik komedi putar. Dia ogah-ogahan dan sempet nggak mau naik karena jaga image. Image apa coba yang harus dia jaga? Dia harusnya ngebenerin jadi yang lebih baik. Apa dia nggak nyadar kalo dia itu punya image yang cupu? Aneh.
Permainan kedua haunted house! Aku bener-bener takut sumpah. Tapi cupu-payah ini, nggak sama sekali. Dengan cuek dia narik aku buat masuk ke dalem tu rumah hantu dan dengan cuek juga dia jalan dan nggak merhatiin aku yang nahan pipis saking takutnya. Dia, kan, tau kalo aku paling parno sama hantu. Kenapa dia ngajak aku ke sini coba!? Mau bikin aku mati!?
“Eh, gila! Aku nggak mau, ya, kamu ajak ke situ lagi!”
“Aku pengen banget ketawa. Liat kamu yang nyaris nangis di dalem tu lucu. Sayangnya aku masih belum punya suasana hati yang baik.”
Ha!? Masih belum!? Terus tadi, dengan nyiksa aku, dia nggak puas!? Oke. Liat aja!
“Ras, naik roller coaster, yuk?”
“Roller coaster!?”
“Udah, ah. Ayo ikut!”
Dendamku terbalaskan! Aras teriak-teriak nggak karuan selama naik roller coaster dan setelahnya, dia lemes banget. Cupu-payah yang ini, ternyata punya ketakutan yang berlebihan sama permainan kayak gini. Oke, aku bakal bikin dia mabuk sampe nggak bisa tidur tujuh hari tujuh malem sekalipun dia udah dateng dari dukun ilmu hitam sampe dukun beranak. Aku nggak akan ngebiarin Aras main dengan tenang karena Aras udah bikin aku masuk ke haunted house.
Permainan setelahnya itu naik Tornado ukuran mini yang muat buat sepuluh orang aja. Aku nggak boleh naik sama petugasnya karena aku pake rok. Jadi, yang naik cuma Aras. Demi Tuhan, Aras kayaknya bener-bener takut sama permainan kayak gini! Diliat dari ekspesinya sebelum dapet giliran naik, aku bisa tau kalo dia pengen buang air besar dan muntah-muntah. Aku bahagia banget liat Aras tersiksa gitu. Dan setelah naik ini, aku bakal ngajak dia ke teater empat dimensi dan nyari fil yang bikin dia tambah pengen buang air besar, kalo perlu sampe bikin dia diare tujuh turunan.
“Empat dimensi? Kayaknya seru. Ayo!”
Cupu-payah ini lagi lengah. Dia nggak tau kalo aku bakal nyiksa dia lewat empat dimensi. Ini peringatan buat kamu, Ras!
Kursi ini goyang terus nggak karuan. Aras teriak-teriak nggak jelas lagi. Aku rasa ini udah cukup buat bikin dia diare dan nggak bisa tidur. Setelah ini, rasanya aku pengen beli minum karena haus karena teriak-teriak terus dari tadi. Aduh, aku juga kena.
“Gila! Aku nggak mau main ke sini lagi. Bisa keluar semua isi perutku.” Aras udah ceria lagi. Tapi, menurutku masih ada sesuatu yang ngganjel yang bikin dia nggak sepenuhnya ceria. Aku tau dari matanya.
“Ya, maaf. Habisnya kamu pake ngajakin aku masuk ke rumah hantu. Nyebelin!”
“Nggak harus tiga juga, kan, balas dendamnya?”
Aku cuma bisa meringis sambil liat ekspresi Aras. Dia emang belum ceria sepenuhnya. Ah, aku lupa sama rencanaku mau beli minum.
“Ras, mau beli minum?”
“Boleh.”
Aku sama Aras jalan ke sebuah kedai minuman yang nggak jauh dari teater empat dimensi. Aku pesen jus apel dan Aras pesen es jeruk. Bener-bener senjang. Aku kayak orang kaya yang punya perusahaan berlian di mana-mana sedangkan Aras jadi supir yang tiap hari kerjanya cuma nganter aku buat bolak-balik dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lainnya. Tragis banget nasibnya Aras. Maaf, Ras.
Oh, iya. Ini tanggal berapa, sih? Kalo ini tanggal dua puluh satu berarti besok aku ulang tahun. Aras tau nggak, ya?
“Ras, ini tanggal dua-satu bukan?” Aku nyoba buat mancing Aras.
“Iya. Kenapa?”
Cupu-payah ini nggak tau jadi? Apa aku belum pernah bilang kalo aku ulang taun tanggal dua puluh dua? Kayaknya udah pernah. Lagipula, kalo Aras nggak tau ulang taunku kapan, nggak mungkin dia bisa bikinin aku e-mail. Tapi, masa dia nggak nyadar kalo aku nyoba buat bikin dia inget kalo aku besok ulang taun?
“Kamu nggak inget besok ada apa?”
“Apa, ya? Aku nggak jadi bodyguard-mu lagi mungkin.”
“Araaas! Besok aku ulang taun!”
“Oh, iya? Aku lupa. Terus kamu mau aku beliin apa?” Nadanya datar. Nyebelin. Nggak bersikap excited atau ikut seneng gitu.
Tapi nggak pa-pa. Dia bilang lupa, berarti dia pernah tau sebelumnya.
Aku langsung liat sekitar buat nyari sesuatu yang aku pengen Aras beli buat aku. tapi aku nggak liat ada sesuatu yang menarik yang aku pengen Aras beliin buat aku. Kalo boneka aku nggak suka. Ya, suka. Tapi, udah terlalu banyak boneka di kamarku. Jadi aku bosen. Liat, liat, liat, dan aku nemu sesuatu yang oke banget. Photobox!
Aku pengen banget foto sebanyak-banyaknya dengan berbagai gaya. Mulai dari yang kalem sampe yang bikin Ibu muak dan ngusir aku dari rumah atu malah nggak nganggep aku sebagai anaknya lagi. Tapi, itu semua harus Aras yang bayar.
“Aku tau! Ayo kita foto-foto sebanyak mungkin. Kamu yang bayar! Di sana!” Aku nunjuk sebuah kotak kecil yang macem-macem gambarnya. Itu photobox.
“Itu?”
“Iya!” Aku nganggung-angguk penuh semangat.
“Kalo itu, gimana, ya? Aku bukan tipe orang yang suka di foto, Rin.”
Hopeless! Aras nggak mau artinya?
“Artinya, kamu nggak mau?” Aku pasang muka sedih. Biar sewaktu-waktu Aras berubah pikiran dan berubah jadi orang yang super-narsis.
“Mmm, karena kamu ulang taun, aku bakal berubah jadi orang yang narsis. Tapi, kali ini aja!”
“Oke! Ayo!” Aku narik Aras sambil lari.
Aku yang mutusin berapa foto yang bakalan diambil. Dan pada akhirnya, aku minta dua puluh dua lembar—sesuai tanggal ulang taunku. Oh, aku juga minta sama petugasnya buat cetak fotonya dua kali lipat buat aku sama Aras.
Selama hampir dua puluh menit aku sama Aras foto-foto nggak jelas. Pas udah selesai, aku sama Aras liat foto-foto yang udah jadi. Sumpah! Aku ketawa terus sama Aras waktu liat-liat foto itu. Mau tau kayak apa?
Ada satu foto yang kalem banget. Aku sama Aras cuma senyum dan difoto kayak anak SD mau ambil foto buat ijazah mereka. Itu foto pertama kita. Dimulai dari hal yang paling sederhana. Ada satu foto lagi yang tangan Aras ngelingkarin leherku. Mau sok akrab tapi itu seru. Satu foto dengan pose kita yang sama. Satu foto yang nunjukin kalo Aras berlagak jadi kakak cowokku. Satu foto yang paling aku benci. Yap! Muka jelek. Mukaku jelek banget. Aras juga tambah cupu di foto itu.
Satu foto yang aku paling suka. Aras sama aku bikin angka dua pake tangan kami masing-masing. Kalo digabungin, itu jadi angka dua puluh dua—tanggal lahirku. Satu foto lagi yang aku paling suka, Aras lagi ngacak-acak rambutku dan itu lucu. Ternyata, Aras keliatan lebih keren kalo pake kardigan abu-abu itu. Tapi, aku makin keliatan kayak anak kecil kalo pake baju sama rok ini. Kasiannya aku.
“Wah, makasih ,ya, Ras.” Aku ngasih senyum termanisku.
“Iya. Disimpen baik-baik, ya.”
“Siap!”
“Pinter! Makan, yuk? Terus aku anter kamu pulang. Udah malem.”
“Oke. Eh, kenapa kamu nggak makan di rumahku? Ibu...”
“Nggak usah. Aku nggak enak.”
“Oh.”
Aku, kan, belum selesai ngomong. Aras udah main potong-potong aja.
Kita makan di pinggir jalan di deket taman rekreasi tadi. Kata Aras, makanan di warung ini tu enak banget. Aku kayaknya belum pernah nyoba. Tapi, dari baunya kayaknya emang enak. Mari dicoba! Aku pesen burung puyuh bakar sama terong goreng, Aras pesen pecel lele sama tempe goreng. Setelah pesenannya dateng, aku ngerasain sesuatu bergejolak. Perutku. Aku laper.
“Ras, mau?” Aku nawarin terong goreng.
Aras ambil satu tanpa ngomong ‘boleh’ atau ‘makasih’ kayak biasanya. Ini perasaanku aja atau emang Aras bener-bener berubah dalam waktu sekejap? Tadi waktu habis dari taman dia masih oke-oke aja. Sekarang dia langsung nyeremin gini. Apa mungkin karena lagi makan jadi dia nggak ngomong? Tapi, waktu di rumahku dia masih sempet ngomong walaupun cuma sepatah dua patah kata. Cupu-payah ini punya dua kepribadian, ya?
Aku sama Aras makan sambil diem-dieman. Aku nggak suka kalo aku nggak punya temen ngobrol gini. Ini bikin aku nggak nyaman. Serius, deh.
“Eh, kamu nggak pa-pa, kan?”
“Kenapa?”
“Aneh aja. Tadi kamu keliatan seneng banget, tiba-tiba berubah drasti jadi nyeremin gini. Kamu bukan orang yang berkepribadian ganda, kan?”
“Nggak. Tenang aja.”
“Oke.”
Di jalan, kita juga cuma diem-dieman. Aku nggak berani ngajak Aras ngomong. Aku taku kalo tiba-tiba dia marah terus nurunin aku di jalan. Jelas-jelas aku nggak berani kalo disuruh pulang sendiri malem-malem gini, jalan pula. Ntar kalo aku dirampok gimana? Aku masih butuh uang-uang itu buat beli keperluan buat kuliah nanti.
Sampe di rumah, keadaan udah sepi. Maklum aja, ini udah jam sembilan malem. Tetangga pasti udah pada tidur nyenyak bersama bantal-bantal mereka yang empuk dan wangi. Nggak kayak bantalku yang apek dan nggak enak buat dipeluk. Bukan bantal yang penting sekarang.
“Buat hari ini, makasih. Besok aku traktir kamu makan, ya.”
Aras cuma senyum. Itu senyum kecut.
“Aku masuk dulu. Jumpa besok.”
Aku jalan dan baru satu langkah tiba-tiba tanganku ditarik. Aku langsung ngerasa kalo aku dipeluk, sama Aras. beberapa detik aku nyadar kalo pelukan ini nyaman. Sesuatu yang meluap-luap itu sekarang udah meledak jadi rasa yang aku nggak kenal. Aku cuma tau kalo aku nggak pengen ngelepas pelukan ini. Aku bener-bener bahagia.
Jujur, aku belum pernah ngerasain kayak gini. Dipeluk udah pernah tapi sama Ayah, Ibu, sama Mas Ardi dan rasanya nggak gini. Biasa aja dan nggak ada sesuatu yang meluap-luap macam ini. Beda dan aku lebih nyaman sama yang sekarang. Aku nggak tau pelukan ini buat apa, tapi aku belum mau ngelepas ini semua.
“Untuk yang hari ini, aku juga mau bilang makasih. Untuk besok, selamat ulang taun, Ririn.”
Aku bisa denger detak jantung Aras yang nggak karuan sekarang. Dia juga ngerasain sesuatu yang meluap-luap itu juga. Bedanya, aku nggak tau sesuatu itu udah meledak apa belum.
Aras pelan-pelan ngelepas aku dari pelukannya dia. Aku nggak mau. Aku masih mau ngerasain kenyamanan kayak tadi. Aku masih mau ngerasain detak jantung Aras. tapi, nggak wajar rasanya kalo aku bilang ke Aras buat nggak ngelepas.
Aras senyum. “Selamat malam. Mimpi indah.” Dan dia cium jidatku!!
Apa ini? Aku nggak bisa gerak dan rasanya kaku. Aku cuma bisa ngerasain kalo aku itu senyum dan nelen ludah beberapa kali. Ada yang berontak dan pengen bilang ke Aras buat jangan pergi dulu. Tuhan! Ini bukan mimpi, kan? Kalo ini mimpi, jangan bangunin aku dulu! Aku belum mau bangun! Aku masih mau ngerasain kebahagiaan ini! aku masih belum mau banguuuun!
“Aku pulang dulu.”
Dan motor Aras berlalu.
***
Ini hari ulang taunku!
Seneng deh udah tambah umur jadi delapan belas. Makin tua tapi nggak gede-gede badannya.
Orang yang pertama ngucapin tu Mas Ardi. Belum ada jam empat pagi, Mas Ardi udah langsung buka pintu kamar dan bangunin aku kayak orang gila. Ibu sama Ayah lagi lagi tidur di lantai atas langsung geger denger Mas Ardi teriak-teriak nggak jelas. Aku aja kaget. Aku kira ada kebakaran pertamanya, ternyata cuma mau ngucapin selamat ulang taun doang. Tapi, makasih.
Orang kedua dan ketiga yang ngucapin, ya, Ibu sama Ayah. Kayak biasanya, aku cipika-cipiki dan didoain yang amat banyak. Aku bilang amin dan setelah selesai, aku ngecek hp.
Nggak ada sms dari Aras. Adanya dari Mas Aris yang sampe jam empat lebih dua belas.
Ririiiiin!!! Selamat ulang tauuuuun!!! Yang ke-18, ya? Semoga panjang umur, sehat selalu, tambah cantik, badannya tambah gede, segala yang diinginkan tercapai, bisa lulus dengan nilai bagus, keterima di ITB, jadi arsitek sukses, bisa bangun rumah sendiri, dan lain lain. Pokoknya, Mas doain yang terbaik buat kamu. Jangan lupa makan-makan, ya. Oh, Aras juga titip ngucapin. Pulsanya habis dan belum beli.
Kehabisan pulsa? Masa sih? Kayaknya Aras nggak pernah kehabisan pulsa. Aneh, deh.
Siangnya, aku nyoba buat telepon Aras buat aku ajak makan. Tapi, nggak aktif. Aku coba buat telepon Mas Aris tapi Mas Arisnya lagi kuliah. Aku nyoba buat buka e-mail dia lagi offline. Aduh, Aras kemana ini? Apa yang dia lakuin sekarang? Apa aku ke rumahnya aja? Iya, aku harus ke rumahnya!
Di rumahnya sepi. Nggak ada siapa-siapa. Jendela bening yang biasanya ditutup itu sekarang udah bener-bener ketutup sama kain. Ini sebenernya ada apa? Aras ke mana?
***
Delapan bulan kemudian...
Aku udah jadi Ririn yang baru. Ririn yang seorang mahasiswa ITB. Ririn yang udah mandiri. Dan Ririn yang nggak peduli lagi sama anggota FPA. Ngomong-ngomong soal itu, kayaknya FPA udah dibubarin. Secara, idola mereka ilang nggak tau kemana. Nggak pernah ada kabar dan nggak pernah ada yang liat sejak hari terakhir UN. Kata Lulu—yang sekarang udah baik sama aku—beberapa anggota FPA udah nyoba ngecek di rumahnya di Bandung, tapi hasilnya nihil.
Sejak hari itu, hari terakhir aku ketemu Aras, hari dimana aku sama Aras main ke taman rekreasi, aku juga nggak pernah liat Aras lagi. Setiap tanya Mas Aris, dia cuma jawab kalo Aras masih hidup dan dia baik-baik aja. Bukan itu yang aku mau tau. Tapi, keberadaan Aras sekarang. Dia di mana, kuliah di mana, aku pengen tau. Nggak cuma tau soal dia baik-baik aja atau nggak. Aku kadang-kadang sampe kalap nyariin Aras. Dia bener-bener hilang tanpa ninggalin jejak satupun. Nomernya nggak aktif, e-mail juga nggak pernah dipake lagi, pokoknya segala macam bentuk komunikasi yang dia punya itu ilang total. Nggak berbekas.
Apapun itu, yang jelas, Aras masih hidup. Meskipun itu sepele, seenggaknya aku masih bisa tau kalo dia itu ada di dunia ini. Tinggal bareng manusia-manusia yang aku nggak ketahui keberadaannya. Seenggaknya dia tau aku di mana sekarang. Kalo sewaktu-waktu dia berubah pikiran dari hilang tanpa jejak jadi pengen ketemu aku, dia bisa langsung telepon aku, ngirim e-mail, dan semacamnya.
Tentang itu, aku udah nggak pernah buka e-mail lagi sejak aku mulai masuk kuliah. Aku pengen lebih fokus kuliah dulu daripada ngurusin hal-hal yang nggak nyata macem itu. Aku juga masih punya hp buat komunikasi sama orang-orang rumah. Itu udah lebih dari cukup buat aku. dan lagi, aku nggak mau terus terusan kepikiran buat nyari Aras lewat e-mail dan jadi nggak fokus sama kuliah.
Mumpung hari Minggu dan lagi nggak ada kerjaan, apa baik kalo aku buka e-mail? Aku pengen baca-baca semua kalimat-kalimatku sama kalimatnya Aras.
Tapi, apa ini? Pesan? Dari Aras? Apa ini? Kenapa Aras bisa ngirim pesan gini? Dan, isinya...
Hai Ririn. Setelah UN hari terakhir aku nggak pernah liat kamu lagi. Jujur, ya. Aku kangen banget sama kamu. Aku juga nggak pernah lupa sama semua yang udah kita lewatin. Sedih memang harus pergi jauh dari kamu. Tapi, perjanjiannya bilang kalo aku jadi bodyguard-mu cuma sampe hari terakhir UN dan selanjutnya aku bakalan menghilang. Aku nggak tau kamu juga kangen aku apa nggak, aku sih berharapnya iya. Cuma, kalo kamu juga kangen aku pasti aku bakalan tambah tersiksa lagi. Aku bakalan ngerasa bersalah udah ninggalin kamu. Aku juga nggak bisa, kan, ngingkarin perjanjian itu. Laki-laki nggak boleh narik ucapannya lagi.
Ngomong-ngomong, gimana kabar kamu? Kata Mas Aris kamu keterima di ITB. Aku ikut seneng dengernya. Aku sebenernya pengen banget ngasih tau di mana aku kuliah sekarang, tapi aku nggak bisa. Aku takut kamu nyari aku terus kita ketemuan. Aku pede, ya? Aku nggak jadi hilang dari hidupmu kalo gitu. Dengan nulis e-mail ini aja aku udah termasuk ngelanggar perjanjiannya. Aku berpikir kalo kamu bakal langsung ngehapus ini dan remove aku. Mungkin kamu juga ngehapus kontakku di hp-mu, atau mungkin kamu cuci otak biar lupa sama semuanya tentang aku. Yah, itu nggak pa-pa. Aku ngerti kok.
Sebenernya, aku nggak bener-bener menghilang. Aku masih belum terima kalo harus ninggalin kamu dengan cara yang tragis kayak gini. Aku tertekan, Rin. Aku masih mau sama kamu lebih lama. Karena perjanjian yang aku buat sendiri, aku juga harus nepatin itu tapi malah bikin aku tertekan. Aku nggak tau gimana sama kamu tentang semua ini. Entah kamu seneng, sedih, marah, kecewa, aku nggak tau. Menurutku, kamu juga sedih sama kayak aku. Oh, aku emang nggak bener-bener menghilang. Mau tau aku ada di mana?
Jadi, aku itu ada di suatu tempat dimana kamu nggak bisa liat aku tapi aku bisa liat kamu. Jangan berpikir kalo aku udah mati. Aku masih hidup kok. Cuma aku selalu sembunyi aja dari kamu. Aku selalu ngawasin kamu dari jauh, ngeliatin senyummu, gerak-gerikmu, semua aku perhatiin. Aku selalu senyum ketika aku liat kamu senyum. Entah kamu senyum karena apa, aku ikut seneng. Kalo aku liat kamu nangis, rasanya pengen banget aku keluar dari persembunyianku dan nenangin kamu sebisa aku. Tapi, itu nggak mungkin rasanya. Mungkin kamu nggak paham sama maksud aku tentang aku ada di mana. Aku nggak bisa bikin kamu paham soal itu karena aku takut akmu bakal nemuin aku.
Masalah FPA, aku sebenernya peduli. Cuma karena aku nggak mau bikin kamu lebih khawatir lagi, aku pura-pura nggak peduli. Tapi, kayaknya kamu udah tau.
Mungkin, waktu kamu buka e-mail ini, saat itu kamu udah lama banget nggak buka e-mail. Aku malah nggak banyak berharap soal kamu buka apa nggak. Tapi, aku mau jujur sama kamu soal beberapa hal kecil di sini.
Pertama, soal ketua kelas. Aku nggak begitu becus kalo jadi ketua kelas. Waktu SMP, aku pernah jadi ketua kelas. Terus aku lengser karena aku orangnya penakut, nggak berani kalo disuruh kumpul. Sejak saat itu, aku nggak mau lagi jadi ketua kelas. Semua berubah saat aku terpilih jadi ketua kelas di kelas dua belas kemarin. Aku nggak pernah nyangka, bahkan berharap aja nggak. Berkat kamu dan perkataanmu waktu itu soal jangan pernah bilang nggak bisa sebelum nyoba, aku jadi berpikir dua kali. Dan waktu kamu pingsan, kamu ngajarin aku gimana harusnya seorang ketua kelas bertanggung jawab.
Kedua, soal aku tau segala sesuatu yang kamu pikirin. Meskipun kamu nggak pernah bilang, aku tau kalo kamu itu nyebut aku sebagai cupu-payah. Kamu nggak pernah sadar kalo waktu aku sama kamu cuma berdua, kamu selalu bisik-bisik soal segala sesuatu yang kamu pikirin. Kamu tau nggak betapa bosennya aku kamu bilangin cupu-payah? Sakit hati pasti. Tapi, itu bener-bener berkesan buat aku. Aku jadi tambah susah buat nggak kangen kamu.
Ketiga, kenapa aku selalu ngelindungi kamu dari FPA. Itu karena aku pernah kehilangan adik perempuanku. Aku nggak bisa cerita di sini. Aku juga yakin kamu nggak mau tau soal itu. Aku punya adik perempuan yang mirip sama kamu. Aku juga ngerasa kalo ketika aku liat kamu, aku kayak lagi liat adikku, Ara namanya. Aku kehilangan dia karena kecerobohanku. Aku trauma dan nggak mau ngelakuin hal-hal ceroboh macam itu buat yang kedua kalinya. Karena kamu, aku bisa belajar buat ngilangin traumaku. Karena kamu, aku bisa ngerasain gimana harusnya aku ngejagain Ara. Aku berterima kasih banget sama kamu.
Keempat, soal tanganmu aku minta maaf. Aku cuma berusaha buat ngelindungi kamu. Itu aja. Aku nggak tau kalo malah aku yang jadi ancaman buat kamu. Aku bener-bener nyesel tentang tanganmu. Aku selalu nyoba buat ngebantu kamu karena selain aku sayang kamu aku juga ngerasa bener-bener bersalah. Aku ngerasa kalo aku nyaris ngelakuin kecerobohan itu buat yang kedua kalinya. Maaf, ya, Rin.
Kelima, tentang aku yang selalu maksa kamu buat aku lindungi. Aku nggak tau kalo ternyata kamu nggak nyaman aku jadi orang yang over protective gitu. Aku cuma pengen ngelakuin yang terbaik buat ngelindungi kamu. Aku cuma pengen kamu nggak terluka aja. Aku cuma pengen nggak kehilangan kamu. Maaf banget, Rin, kalo itu bikin kamu nggak nyaman.
Keenam, tentang insiden sehabis upacara di hari pertama kelas dua belas. Aku udah bohong sama kamu soal itu semua. Aku sebenernya udah nyadar sejak awal kalo itu kamu. Aku nyadar kalo yang aku tabrak itu kamu waktu kita pertama ketemu di kelas. Rasanya lucu kalo inget-inget semua itu. Sesuatu yang nggak sengaja. Aku sebenernya ngerasa pengen banget minta maaf sama kamu soal tabrakan itu waktu ketemu pertama kali di kelas. Tapi, karena aku liat anak-anak cewek pada nggak suka kalo aku duduk di sebelahmu, aku batal buat minta maaf. Dan aku baru inget waktu aku ngetik pesan ini.
Ketujuh, soal hari terakhir kita ketemu. Aku ngerasa aku jadi orang yang paling beruntung hari itu. Bisa jalan sama cewek kayak kamu, meskipun aku dikerjain. Aku juga makasih banget soal bajunya. Sampe sekarang aku masih sering pake baju itu. Kalo nanti udah nggak muat, pasti bakalan tetep aku simpen kecuali kalo dimakan tikus, itu aku nggak jamin. Dan fotonya, aku masih simpen juga. Malah aku tempelin di dinding kamarku. Kalo pas aku lagi kangen banget sama kamu, aku pasti ngeliatin foto itu sambil ngomong-ngomong nggak jelas. Mungkin tanya kabarmu gimana, kamu lagi apa, udah punya pacar belum, udah tambah gede belum, dan lain sebagainya yang aku pengen banget tau.
Terakhir, masalah perjanjian. Jadi bodyguard itu karena aku pengen ngelindungi kamu kayak yang udah aku tulis sebelumnya. Kalo tentang aku harus pergi dari kehidupanmu itu semua karena sejak awal, aku tau kalo aku bakalan ngasih banyak kesulitan buat kamu. Jadi, daripada aku ngasih semakin banyak kesulitan buat kamu kalo semakin lama aku ada di deketmu, lebih baiknya aku pergi. Pergi dari penglihatanmu. Maaf kalo aku udah bikin kamu capek sama semuanya.
Oh, aku mau buat pengakuan di sini. Sebenernya aku suka kamu. Nggak tau sejak kapan itu dimulai, aku selalu ngerasa nyaman kalo sama kamu. Aku ngerasain kalo ada yang aneh sama aku kalo aku liat kamu. Sesuatu yang pengen meledak. Aku selalu seneng dan ngerasa bahagia kalo aku lagi sama kamu. Apalagi kalo lagi momen romantis kayak pas masak dulu. Cuma, di kasus ini, aku nggak punya keberanian buat ngungkapin ke kamu karena aku bakalan pergi dari hidupmu. Aku juga nggak mau bikin kamu sedih kalo kita jadian terus aku malah hilang nggak jelas gini. Lagipula, kamu juga belum tentu suka sama aku. Ya, kan?
Kalo masalah yang malem itu, aku ngelakuinnya diluar kesadaranku. Aku minta maaf, ya, kalo misalnya kamu nggak suka. Tapi, kamu suka nggak? Maaf juga waktu hari ulang taunmu aku nggak bisa ada buat kamu. Aku memang harus megang janjiku, Rin. Jadi, maaf banget.
Ternyata aku udah bikin banyak kesalahan sama kamu. Aku juga butuh banyak maaf dari kamu. Dari e-mail ini aku berharap kamu mau maafin aku setelah kamu baca. Makasih untuk banyak maaf yang kamu kasih. Sekalipun kamu nggak maafin, aku tetep makasih banget sama kamu, Rin. Karena aku udah ngerasain gimana berartinya hidup. Dan itu karena kamu.
Then, mungkin cukup sampe sini aja. Aku nggak akan ganggu kamu lebih lama lagi. Ada beberapa hal yang mau aku pake buat penutup. Aku minta maaf soal segala sesuatu yang kamu nggak sukai dari aku. Mulai dari hal sekecil apapun sampe sebesar apapun, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud bikin kamu muak. Maaf. Satu lagi, aku berterima kasih banget sama semuanya selama ini. Aku bener-bener berterima kasih karena kamu udah bikin hari-hariku lebih berkesan. Aku jadi lebih bisa ngerti apa yang dimaksud tentang kebahagiaan. Aku juga jadi paham sama arti saling ngejaga.
Kamu tenang aja. Aku nggak akan bener-bener pergi. Aku cuma pergi dari penglihatanmu aja. Aku nggak akan tega ngebiarin kamu ngerasain kesedihan sendirian. Pokoknya, aku ada di sini, di suatu tempat yang kamu nggak perlu tau dan selalu ngawasin kamu.
Makasih, ya. Ririn, aku sayang kamu. Selamanya.
-Aras-
Pesan itu dia akhiri dengan tragis. Tapi, aku seneng. Ternyata, dari kejauhan dia masih jagain aku. Dia masih peduli sama aku. Kalo dia ada di sini, aku pengen bilang kalo aku sayang dia juga. Apa mungkin, dengan itu dia bakalan balik ke tempat semula dan kembali ke aku? I hope so.
“Aku juga sayang kamu, Ras. Selamanya.”
Aku sadar kalo ada setitik air yang jatuh di pipiku. Aku nangis. Aku nangis cuma karena seorang cupu-payah. Sial!
-THE END-
Komentar
Posting Komentar