My Short Story
eyayoooow! alohaaa! lama gak ngepost nih. ya maklum, saya sibuk. kan saya pelajar papan triplek, eh pelajar papan catur-_- gak lah. aku gak ada waktu buat blogging karena sibuk sekolah. cukup kecewa dengan hasil mid! ish payah aku ya. oke, nggak papa. jadiin pelajaran dan jadiin motivasi buat jadi lebih baik aja. semangat mel!!!! well, aku mau ngepost cerpenku nih. aku gak tau ya ini cerpen bermutu ato nggak. setelah sekitar sebulan akhirnya selesai jugak *bikin cerpen kelamaan* (y) judulnya..... aku gak tau. yang penting ceritanya bukan judulnya kan? iya kan? (iyaaaaa!!! *suara-suara manusia di belahan bumi utara*) oke, cekidot-->
From: Aris
Rin ak ga bs dtg.
Maaf. Ada ursn
mnddk. Kalian brkt
aj tnp aku. Maaf.
“Sial!” umpat Arin.
Seketika semua temannya menengok ke arah Arin yang berada di tangga. Mereka heran dengan Arin yang tiba-tiba mengumpat. Ryan, Anan, Uzie, dan Arta segera mendekati Arin.
“Rin, kenapa?” tanya Arta.
“Aris nggak jadi dateng. Ih, tu anak bener-bener, ya! Padahal semua acara ini dia yang rencanain!”
“Lho, kita bisa berpesta tanpa dia. Nggak harus ada Aris, Rin.” hibur Anan.
“Iya. Aku tau! Tapi... Ah! Oke, aku udah cukup nyembunyiin perasaan ini dari kalian semua. Sekarang saatnya aku jujur sama kalian.”
“Tunggu bentar. Kamu suka Aris, ya?” Ryan coba menebak.
Arin menghela napas kemudian menghembuskannya perlahan. Akhirnya, ia mengangguk.
Semua kaget. Mereka tercekat dalam ketidakpercayaan.
“Rin, kamu nggak bercanda?” Arta memastikan.
Arin menggeleng. “Udah sejak pertama kita bersahabat aku ngerasain ada sesuatu yang spesial tiap aku ketemu Aris. Semua itu aku sadari dan aku simpen baik-baik dari kalian. Sekarang, satu-satunya alasan kenapa aku marah adalah karena aku batal berduaan sama Aris di pantai nanti!”
Semua tertawa. Uzie bahkan tertawa terpingkal-pingkal. Arin sebal ditertawai begini. Memangnya apa yang lucu??
RUMAH megah berlantai dua itu mulai ramai didatangi para tamu undangan. Halaman depan rumah dipenuhi oleh mobil-mobil mewah yang didominasi oleh warna hitma metalik. Aris tak pernah menginginkan semua ini terjadi dalam hidupnya. Perjodohan ini sangat bertolak belakang dengan hati nuraninya. Bertunangan dengan Adin, anak gadis dari rekan kerja Papa, adalah mimpi buruk terbesar bagi Aris. Aris berharap Adin juga tidak setuju dengan pertunangan ini. Gara-gara pertunangan ini, acara ke pantai bersama teman-temannya batal.
Dengan jas abu-abu Aris bersiap di ruang rias laki-laki. Satu-satunya alasan mengapa Aris menolak pertunangan ini adalah Arin. Dua nama yang nyaris serupa, seperti namanya dengan Arin. Ya, Arin satu-satunya wanita yang ia sayangi dengan sepenuh hati. Arin dan temannya yang lain memang belum mengetahui semua ini, termasuk pertunangan ini. Mungkin belum ada waktu yang tepat untuk membicarakannya.
“Mas Aris sudah siap?” tanya Dion, adik Adin.
“Entah. Kayanya aku belum siap, Di.”
“Mas, kalau misalnya kalian nggak berjodoh Tuhan pasti menjauhkan kalian. Percaya, Mas.”
Dion ada benarnya. Tapi...
“Kalau aku jodoh gimana?”
Dion mengangkat bahunya. “Hanya Tuhan yang tau. Mbak Adin sebenernya nggak setuju sama pertunangan kalian. Mbak Adin tetep menjalaninya karena dia menyerahkan semua sepenuhnya sama Tuhan. Mbak Adin yakin kalau kalian nggak jodoh pasti pertunangan ini gagal.” tutur Dion.
Ya. Semua benar. Aris memantapkan hatinya. Semua harus ia jalani.
“RIS, bercanda banget.”
“Nggak. Aku serius.”
“Tapi, Arin gimana?”
Aris menggeleng.
“Hei, cowok itu harus tegas! Jangan lembek gini!”
“Zie, susah ambil keputusan saat situasi kaya gini.”
Uzie agak kesal mendengar perkataan Aris. “Sekarang kalo kamu ngegantung hati kamu gini kamu bakal menyesal kalo hati kamu jatuh ke tempat yang salah.”
“Zie, ini susah. Di satu sisi, aku sayang Arin. Tapi di sisi lain, aku nggak bisa nolak pertunangan ini.”
“Kenapa!?”
“Karena... karena... karena aku udah kebanyakan nyusahin orangtuaku. Ini satu-satunya cara bagi aku buat balas budi sama mereka.”
“Tapi kamu bisa jadiin Arin pacarmu dan anggap aja pertunangan itu nggak pernah terjadi.”
“Nggak segampang itu. Aku nggak mau ada yang sakit hati karena urusan ini. Lagian belum tentu Arin sehati sama aku.” Aris jadi pesimis.
“Iya.”
“Apanya yang iya?”
“Soal sehati sama Arin.”
“Maksudnya?”
“Kemarin waktu kamu batalin acara ke pantai, Arin blak-blakan di depan anak-anak. Dia kecewa karena kamu nggak ikut. Dia bilang dia suka kamu.”
Aris tercengang. Arin. Arin. Arin.
From: Aris
Aku tgg km di
Metropolitan Cafe.
NOW!!
Arin langsung bangkit berdiri dari kasurnya begitu membuka pesan singkat dari Aris. Mau apa Aris di sana? Kenapa harus sekarang juga? Ah, berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Arin. Baiklah, ada apa ini?
Sementara itu, Aris menunggu dengan gelisah di kafe. Dua pilihan yang menyusahkan masih terus ia pikirkan. Entah ini jalan terbaik untuk semua atau hanya untuk dirinya sendiri. Entah ini satu-satunya keputusan bagi semua orang atau hanya demi egonya semata. Kalau harus mengorbankan materi Aris masih rela. Tapi ini? Apakah Aris harus rela untuk mengorbankan Arin? Sepertinya tidak. Dan pertunangan itu. Ah, sungguh! Aris frustasi!
Selama ini Aris sudah cukup menderita dengan perasaannya sendiri. Terlalu lama perasaan ini ia sembunyikan dari dunia. Oke, tidak harus dunia. Teman-temannya harus tahu. Oh, mungkin Arin setelah itu teman-temannya.
Dua puluh menit kemudian Arin tiba. Kaos longgar dengan lengan panjang berwarna abu-abu membalut tubuhnya. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai begitu saja. Poninya nyaris menutupi matanya.
Aris kaget medapati Arin sudah tiba. Semoga saja Aris sudah siap dengan segala kemungkinan. Ia melambai-lambaikan tangannya ke arah Arin agar Arin mudah mencarinya. Begitu mata Arin menangkap lambaian tangan Aris ia segera melangkah menghampiri Aris.
“Ris, maaf lama.”
“Iya, nggak apa-apa. Duduk sini.”
Arin menarik kursi yang berada tepat di samping Aris.
“Eh, ada apa, Ris?” Arin membuka percakapan.
Ya, Aris siap.
“Rin,” Aris menggenggam tangan Arin. “Aku dah cukup tersiksa selama kita bersahabat. Aku Cuma mau ngutarain perasaanku yang bilang kalo aku sayang sama kamu.” Tidak perlu bertele-tele, Aris menentukan pilihannya. Arin, bukan Adin.
Ma, Pa, maafin Aris. Hati Aris nggak bisa dipaksain.
Arin terpaku. Tangan dan kakinya lemas seketika. Ia hanya mengharapkan agar Aris tak merasakan betapa gemetarannya tangan Arin.
“Ris, aku juga sayang kamu.”
Keduanya menerawang jauh ke dalam mata, baik Aris menatap Arin ataupun Arin menatap Aris. Keduanya mencari keseriusan dalam ucapan tadi.
“Ris,” panggil Arin.
“Ya?”
“Mulai sekarang kita harus saling terbuka. Jangan ada yang ditutup-tutupi kita harus jujur dan nggak boleh bohong. Ya?”
Ini dia. Aris tak pernah mau Arin menagih janji itu. Aris belum yakin tentang Adin dan orangtuanya. Kenapa ia terlalu cepat bicara? Ternyata Aris belum cukup dewasa saat ini. Rasa takut itu selalu menghantuinya. Takut menyakiti dan takut disakiti.
“Ris?”
Aris menoleh. Ia tak bisa bilang iya, siap, oke, atau tidak dan belum. Hanya sebuah senyum keraguan yang bisa ia lemparkan pada Arin. Semoga Arin tak bisa membaca arti senyumnya itu.
oh, kenapa Aris begitu tega? Seharusnya ia tak mengatakannya saat ini juga. Bodoh! Aris bodoh! Seandainya waktu bisa berputar kembali seperti saat sebeleum ia mengirimkan oesan itu kepada Arin, pasti Aris takkan mengirimkan pesan itu. Sayang, waktu terus berputar. Tak bisa seperti yang ia harapkan.
oh, kenapa Aris begitu tega? Seharusnya ia tak mengatakannya saat ini juga. Bodoh! Aris bodoh! Seandainya waktu bisa berputar kembali seperti saat sebeleum ia mengirimkan oesan itu kepada Arin, pasti Aris takkan mengirimkan pesan itu. Sayang, waktu terus berputar. Tak bisa seperti yang ia harapkan.
Dari kejauhan terdengar derap langkah beberapa orang diinringi celotehan khas yang ringan. Tibalah di ruang tamu tersebut seorang laki-laki paruh baya bersama istrinya dan seorang anak laki-laki yang tak lain adalah Aris. Senyum ramah dilemparkan oleh Pak Bari, ayah Aris, yang kemudian disusul oleh senyum lembut dari Bu Isna.
“Pagi, Om, Tante!” sapa Arin.
“Ah, Arin! Silakan duduk!” Suara Pak Bari yang tegas jadi menggelegar ke seluruh ruangan. Beliau bersama istrinya kemudian duduk di hadapan Arin. Sementara Aris mendampingi Arin.
“Eh, Pa, Aris mau bicara.”
“Silakan. Bicara apa?”
Aris menjelaskan semuanya. Semakin lama Aris menjelaskan, wajah Pak Bari makin kecut seakan menahan marah. Ujung bibirnya yang tadi membentuk sebuah senyum hangat dan mendamaikan kini mulai turun dan membentuk muka marah. Sepertinya Pak Bari bisa menebak ke mana arah ulasan Aris.
“Stop!” teriak Pak Bari. Suaranya lagi-lagi menggema.
Aris diam.
“Kamu sama Aris pacaran?” tebak Pak Bari.
“Maaf, Pa. Aris nggak bisa paksain hati Aris.” Aris berucap lirih.
“Aris, Papa kira hubungan kalian tidak akan lebih dari sekedar sahabat. Papa setuju kalau kalian hanya bersahabat. Tapi ini sudah kelewatan. Papa bisa malu sama keluarganya Adin! Pertunangan kamu mau dibagaimanakan, Aris?”
Adin? Pertunangan? Adin siapa? Pertunangan apa? Arin tak paham.
“Adin itu siapa, Om? Siapa yang tunangan?” Aris merasa jadi orang paling bodoh di situasi ini.
“Adin itu tunangan Aris. Om harap kamu tidak mengganggu hubungan mereka.” Pak Bari mengatakannya dengan penuh emosi.
Tunangan?? Aris tunangan?? Arin bangkit cepat kemudian menengok Aris. “Jelasin ke aku!”
“Maaf, aku belum bisa npatin janjiku. Aku pengecut, Rin. Maaf.”
Baik, ini akhrinya. Semua kepercayaan yang selama ini ia bangun terhadap Aris pupus sudah. Jujur itu memang sulit, tapi setidaknya Aris bilang dari awal kalau ia sudah berstatus sebagai tuangan dari orang lain. Kalau sudah terlanjur seperti ini semua akan merasa sakit.
Sekarang Arin tak bisa bicara banyak. Mungkin ia harus pergi dari sana. Saat ini dan secepatnya.
“Aku pulang dulu, Ris. Janji sama aku jangan kamu nyusul aku. Kita udah nggak ada apa-apa lagi. Permisi.”
Air di pelupuk matanya sudah tak dapat dibendung lagi. Aris tak tahu harus kemana dan bagaimana. Ah, biarlah pulang dulu ke rumah dan menenangkan diri, mungkin bercerita kepada Arta lewat telepon akan sedikit mengurangin beban pikirannya.
SATU minggu kemudian, Arin datang ke sebuah kafe yang tak begitu jauh dari rumahnya. Dengan kaos merah gelap Arin bergegas menuju kafe tersebut. Taksi sudah menunggu di depan rumah dan siap mengantar Arin.
Bicara soal Aris, Arin masih berpikir. Perasaannya pada Aris sudah terlampau jauh sepertinya. Sejak kejadian seminggu lalu, Arin masih sukar untuk menerima kenyataannya. Tapi, entah ada apa Arin tak bisa membenci Aris. Dibilang sayang, sepertinya Arin masih sayang. Dibilang benci, ah, lupakan. Kacau!
Lima hari setlah kejadian di rumah Aris, Arta mengajak Arin untuk potong rambut. Alhasil, rambut Arin sekarang panjangnya hanya lebih lima sentimeter dari bahu. Semua itu Arta lakukan untuk pencegahan dini bila Arin diserang frustasi tiba-tiba tentang Aris. Bisa jadi Arin menjambak-jambak rambutnya sendiri karena begitu stres. Sungguh berbahaya.
“Ta, ada apa?” tembak Arin langsung begitu duduk di samping Arta.
“Ada kabar penting.”
Deg. Arta jadi lemas. Ia tidak tega mengatakan ini semua. Bicara tentang Aris kepada Arin. Apa ia mau mendengar?
“Bener mau denger?”
“Ah, basa-basi. Cepet!”
“Oke. Aku Cuma mau bilang kalo Aris bakal lanjut sekolah S2 di Amerika. Kata dia, dia bakal stay di sana sampai sekitar lima tahun. Jam satu dia take off.”
Arin tercekat. Aris? Amerika? Jam satu? Ditengoknya jam di dinding kafe. Jam dua belas!?
“Ta, kamu harus anter aku ke bandara sekarang!” Ditariknya Arta menuju mobil sedan silver milik Arta di halaman parkir.
“Tapi, Rin,”
“Nggak ada tapi. Anterin aku, Ta!”
Aris tak boleh pergi! Tidak! hatinya menjerit. Arin tak mau Aris pergi. Sungguh, hati kecilnya tak mau itu terjadi!
Mobil sedan itu melaju kencang di jalanan. Beruntung, hari tu jalanan tidak macet. Arin cemas. Arta memfokuskan konsentrasinya ke jalanan. Perasaan Arin tak karusan. Baginya, memohon agar Aris tetap tinggal di Indonesia adalah hal yang sangat penting!
Bandara sangat penuh. Ramai dengan orang-orang yang akan pergi dan baru datang dari jauh. Arin berlari semampunya menuju terminal keberangkatan. Lokasinya cukup jauh dengan area parkir mobil. Diliriknya jam tangan yang melingkar di tangannya. Jam satu kurang lima belas menit!!
Aris jangan pergi!!!
Arta lari tergopoh-gopoh membuntuti Arin. Beberapa orang tertabrak dan memandangi Arta dengan aneh seperti melontarkan pandangan apa-masalahmu-bung.
Petugas di depan pintu masuk terlihat sangar dengan posturnya yang tingi besar, siap mencegah Arin menerobos ke pintu keberangkatan tanpa tiket. Sialnya, petugas itu benar-benar siap mecegah Arin.
“Pak, tolong! Saya Cuma mau bicara sebentar sama temen saya, Pak. Sebentar aja, Pak!” pinta Arin. Rasanya ia mau menangis. Ia belum siap dengan hari ini.
“Maaf, pesawat tujuan mana?”
“Amerika.” Sebulir, dua bulir, tiga bulir air mata membasahi pipi Arin. Air mata itu semakin deras mengalir.
“Pesawatnya sudah mau take off. Itu pesawatnya sudah siap. Mohon maaf, Mbak.” Penjaga tersebut menunjuk ke arah jedela kaca besar di arah utara.
Suara bising pesawat menyeruak ke dalam telinga Arin. Take off? Aris pergi? Tubuh Arin lemas. Ia berjalan sempoyongan ke arah kaca besar yang menghadap ke arah area landasan pesawat.
Di sana. Pesawat Aris. Pesawat tersebut berpacu dengan waktu dan melawan kemauan hati Arin. Pundaknya naik-turun tak beraturan.
“Aris,” ucapnya lirih. “Jangan pergi, Ris. Please!” suaranya masih lirih dan diiringi isak tangis. Tubuhnya melorot. Akhrinya ia terduduk di lantai sembari meratapi kepergian Aris.
“Rin, ayo pulang.” Arta yan sudah tiba di belakang Arin menggenggam erat pundak Arin. Mencoba menguatkan Arin.
“Rin, Aris juga pasti sedih ninggalin kamu. Ayo bangun! Jangan begini. Aris pasti pulang. Tapi nggak sekarang.”
“Nggak! Aris jahat! Kenapa dia nggak pamit sama aku!? Apa aku nggak penting buat dia!?” bentak Arin. Sisa tenaganya ia kerahkan untuk membentak barusan.
“Bukan gitu, dia nggak pamit karena dia ngira kamu nggak peduli lagi sama dia, Rin. Dia titip pamit sama aku sama Uzie.”
“Nggak peduli!? Aku peduli! Dia pengecut! Apa-apa serba takut!”
“Rin, iya aku tau Aris pengecut. Udahlah, Aris pasti pulang.”
“Pasti! Tapi apa aku harus nunggu dia lima tahun!? Keburu hambar!”
Deg. Arta diam. Arin menangis makin kencang. Dipeluknya Arin agar lebih tenang. Arin benar-benar hancur. Sekarang tinggal menunggu bagaimana perasaannya kepada Aris lima tahun lagi.
-THE END-
nggantung ya ceritanya? iyadong. kalo cerita happy ending mulu kan ngebosenin. mending nggantung. kan bikin penasaran:D maaf ya kalo radak nggak bermutu. tengakyu sobaaat:D
Komentar
Posting Komentar